Jumat, 03 Januari 2014

Mohamad Habibi/FIK/UNESA METABOLIC ADAPTATION IN TRAINING (Adaptasi Metabolisme Selama Latihan)


METABOLIC ADAPTATION IN TRAINING
(Adaptasi Metabolisme Selama Latihan)


Pendahuluan
Adaptasi pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan level performan dan meningkatkan kemampuan motorik (motor abilities) untuk mencapai tujuan latihan secara efektif. Oleh karena itu untuk memahami bagaimana tubuh beradaptasi maka harus masuk ke dalam tubuh atlet (interior) itu sendiri agar dapat memahami secara detail proses adaptasi yang terjadi meskipun dalam kebanyakan indeks performan jarang membahas proses adaptasi. Sebagai ilustrasi, andaikan seorang atlet dengan performan tertentu memasuki sebuah kotak hitam yang isinya latihan (training/exercise) yang outcomenya peningkatan kapasitas performan atlet, baik kapasitas motorik maupun skillnya. Namun kotak hitam itu tidak diketahui bagaimana proses latihan tersebut sehingga dapat meningkatkan performan, bahkan terkesan proses adaptasi masih berupa rahasia.
Kajian ini akan berusaha mengungkap apa yang terjadi dalam kotak hitam tersebut selama latihan melalui proses-proses metabolik. Fokus utamanya pada adaptasi sintesis protein sebagai dasar peningkatan morfofungsional sel. Sebuah sistem kontrol yang disebut kontrol metabolik mengatur proses metabolisme selama latihan. Sistem inilah yang menjamin efektivitas penggunaan kapasitas sel dan tubuh secara keseluruhan. Peningkatan kontrol sendiri juga merupakan akibat dari latihan.

Peran Adaptasi Selama Training-Induced Changes
         Proses adaptasi tubuh melibatkan beberapa system organ dan mekanisme kontrolnya. Itulah sebabnya latihan endurance (daya tahan) meningkatkan kapasitas fungsional jantung sehingga dapat meningkatkan suplai darah ke otot-otot yang sedang bekerja. Sebetulnya hampir semua jenis latihan cenderung meningkatkan perubahan pada otot-otot (skeletal muscle). Perubahan tersebut adalah:
1.       Volume otot meningkat. Peningkatan ini biasanya tampak pada latihan dengan beban berat (heavy resistance training). Namun pada latihan endurance tidak tampak jelas perubahannya. Perubahan volume otot tersebut menunjukkan bahwa terjadi perubahan volume pada berbagai jenis serat otot. Latihan beban menyebabkan hypertrophy pada semua jenis serat otot terutama pada fast-twitch fiber (tipe II) yang ditandai oleh peningkatan area yang ditempati serat otot tersebut sebesar 90% (Dones et. al., 1978; Costill et. al., 1979) meskipun komposisinya masih dalam rentang normal (tesch & Karlsson, 1985.
2.      Peningkatan kecepatan atau power sebagai hasil latihan, hypertrophy terjadi secara selektif, yaitu hanya pada serat fast-twitch glikolitik (tipe IIb) atau serat fast-twitch oxidative-glikolitik (tipe IIa). Namun latihan power dan sebagian pada latihan kecepatan, perubahan tampak  pada myofibril ketika otot berkontraksi. Peningkatan ukuran myofibril tersebut terjadi karena tambahan protein-protein myofibril yang berhubungan dengan aktivitas kontraksi (Yakovlev, 1978). Perubahan-perubahan tersebut dibutuhkan untuk peningkatan kekuatan otot dan power.
3.      Peningkatan jumlah dan volume mitokondria serat-serat otot terutama pada serat tipe I merupakan hasil latihan endurance. Mitokondria merupakan tempat penting karena produksi energi secara oksidatif, yaitu ATP berlangsung dalam mitokondria. Peningkatan ini kemudian dikaitkan dengan peningkatan kapasitas endurance.
Dampak peningkatan struktur sel memungkinkan terjadinya peningkatan performan baik untuk sel maupun organ dan pada akhirnya untuk tubuh secara keseluruhan. Namun kemungkinan tersebut masih tergantung pada ketersediaan energi dan kondisi lainnya untuk kontraksi otot dan manivestasi fungsional lainnya, seperti enzim yang mengkatalisis proses-proses biokimia untuk produksi energi dan menyisintesis senyawa kaya energi (ATP). Peningkatan aktivitas enzim tersebut merupakan respon latihan.
4.      Latihan dapat meningkatkan jumlah pompa ionic yang berperan menginisiasi dan menghentikan fungsi sel.
Peningkatan intensitas atau durasi kerja sel menyebabkan meningkatnya kebutuhan sel dari luar, seperti oksigen dan substrat lainnya untuk segera diangkut masuk ke dalam sel untuk mendukung proses dalam sel. Demikian pula halnya dengan pengangkutan metabolit atau sisa metabolit yang tidak dibutuhkan diangkut ke organ tertentu untuk diubah atau dieliminasi dari tubuh.
         Peningkatan performan atlet ditemukan pada perubahan struktur dan kapasitas metabolik serat-serat otot skeletal yang memerlukan kolaborasi beberapa organ yang didukung oleh koordinasi terpadu dari aktivitas tubuh dan kontrolnya dari system organ, jaringan dan sel. Jadi, training-induced adaptasi sel melibatkan myocardial, hepatic, renal, neuronal, endokrin dan sel-sel lainnya.

Adaptasi Sintesis Protein              
            Mekanisme intraselular menghubungkan fungsi selular dengan aktivitas badan (apparatus) genetic selular. Melalui mekanisme struktur selular yang secara intensif berkerja dapat meningkatkan sintesis protein sesuai dengan manifestasinya, seperti: kontraksi otot, sintesis dan sekresi hormon. Protein-protein tersebut adalah (1) Material pembangun untuk memperbaharui dan meningkatkan struktur protein, (2) protein enzim untuk katalis proses metabolisme. Akibatnya, (1) struktur sel diperbesar dan (2) aktivitas enzim ditingkatkan karena jumlah molekul enzim meningkat.
            Diduga bahwa latihan menyebabkan akumulasi metabolit yang menginduksi adaptasi sintesis struktur dan protein enzim aktifnya banyak struktur sel dan jalur-jalur metabolisme. Banyak hormon dipengaruhi oleh training session akibat dari induksi metabolit-metabolit. Pengaruh hormon diperlukan untuk meningkatkan laju sintesis protein baik untuk memperbaiki struktur maupun untuk protein enzim.
            Banyak hasil studi membuktikan bahwa peningkatan laju sintesis protein dalam otot terjadi selama hypertrophy (Hamosh et. al., 1967; Goldberg, 1968; Poortmans, 1975). Laju sintesis protein didapatkan baik pada latihan strentgh maupun endurance. Hasil utama dari meningkatnya aktivitas gen produksi mRNA setelah latihan khusus untuk merespon aksi induktor (DNA-dependent polymerase) yang disebut fase transkripsi dari sintesis protein).
            Kontrol peningkatan aktivitas induksi dalam sistensis protein tidak hanya terjadi pada fase transkripsi tapi juga pada fase translasi dan postranslasi. Kontrol pada tahap transkripsi ditunjukkan oleh peningkatan a-aktin RNA dan kontrol pada tahap translasi ditandai dengan peningkatan total RNA sedangkan pada posttranslasi ditandai dengan peningkatan isi protein jika dibandingkan dengan peningkatan mRNA. Kontribusi kontrol postranslasi mengindikasikan degradasi protein secara signifikan selama adaptasi training-induced. Hal ini menunjukkan bahwa laju pertumbuhan otot skeletal sesuai dengan laju pemecahan protein. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa hanya 20% peningkatan laju sintesis protein untuk pertumbuhan otot sedang sisanya 80% untuk peningkatan pergantian protein. Jadi sintesis protein baru banyak digunakan untuk memperbaharui atau degradasi struktur protein sel oleh kontrol postranslasi.
            Metabolit dan hormon berkontribusi terhadap kontrol sintesis protein pada ketiga tahap tersebut. Pengaturan aktivitas tahap transkripsi dilakukan oleh ”housekeeping” gen untuk memenuhi permintaan sel. Gen-gen tersebut diaktivasi oleh protein dengan berat molekul kecil hasil degradasi protein, seperti: asam-asam amino, khususnya leusin, kreatin dan metabolit protein lainnya yang merupakan induktor. Efek kreatin ditunjukkan dalam preparasi otot skeletal dan otot jantung meskipun secara in vivo tidak tampak ada peningkatan laju sintesis protein sarkoplasmik dan myofibrillar dalam berbagai jenis serat otot. Aksi leusin terhadap sintesis protein terdiri dari stimulasi transkripsi. Namun pemberian leusin secara in vivo gagal menunjukkan aksi tersebut. Tetapi jika leusin, valin dan isoleusin diberikan dalam suatu kombinasi secara in vivo menghasilkan stimulasi sintesis protein pada myocardium, diafragma dan otot soleus. Jadi pada intinya latihan dapat meningkatkan jumlah induktor-induktor sintesis protein.  
Sesi Latihan

                                 Latihan                                                Volume dan intensitas latihan

                        Induktor metabolik khusus                              mengubah produksi  
                         Adaptif sintesis protein                                    hormon

                                                                                                   Induktor hormonal
                                                                                    Memperkuat adaptif sintesis protein

                           A  d  a  p  t  i f   s i n t e s i s   P r o t e i n

                Penambahan sintesis sturktur protein         Penambahan sintesis protein enzim     
Stretching juga dapat meningkatkan sintesis protein baik secara kultur maupun otot secara keseluruhan. Tiga kemungkinan penyebabnya, yaitu: (1) fungsi pompa Na+ dan K+ , (2) perpindahan Ca dan (3) sintesis prostaglandin akibat dari bebasnya asam arakidonat yang merupakan tanda sintesis protein. Namun prostaglandin gagal menstimulasi sintesis protein pada calsium-deprived perparasi otot.
            Kontrol perubahan metabolik sangat spesifik dan menentukan pilihan protein mana yang disintesis secara adaptif. Jadi metabolit terakumulasi sebagai respon terhadap latihan menjadi faktor utama untuk memilih protein untuk disintesis. Mekanisme kontrol hormonal mungkn tidak terlalu spesifik dan sangat tergantung pada pengaruh sesi latihan terhadap fungsi endokrin.
            Dua hormon utama yang berperan dalam induksi sintesis protein adaptif pada periode postexercise, yaitu testosteron dan tyroksin/triiodothyronine. Induksi testosteron berperan pada training-induced hypertrophy yang dibuktikan oleh berkurang hypertrophy setelah blokade reseptor androgen. Fakta tersebut mengindikasikan penambahan sintesis protein dalam otot jika disertai dengan pemberian sebuah androgen untuk aksi anabolik.
            Hormon-hormon tyroid dikenal menstimulasi biogenesis mitokondria. Peran hormon tyroid dalam sintesis adaptif mitokondria protein didukung fakta meningkatnya sintesis protein mitokondria total sintesis protein oksidatif glikolitik serat otot setelah latihan endurance tidak tampak pada hyperthyroid tikus.
            Pada kontrol translasi terjadi pemuatan tRNA oleh asam amino spesifik. Pemberian muatan membebaskan sistem sintesis protein dari penghambatan obat yang dapat dimodulasi oleh potensial redoks sitoplasma. Sedangkan glukokortikoid berperan dalam mobilisasi bahan untuk sintesis protein sehingga perannya dalam kontrol posttranslasi masuk akal. Glukokortikoid mungkin berkontribusi dalam menentukan besaran optimal perubahan struktur sel-sel myocardial. Dosis tinggi yang tidak fisiologis dari glukokortikoid dapat menginduksi atrophy otot sehingga dapat menjadi terapetik. Eksperimen tikus menunjukkan bahwa latihan dapat mencegah atau mengurangi bahaya pemberian dosis tinggi glukokortikoid yang berarti bahwa aktivitas otot mungkin mengubah efek glukokortikoid terhadap metabolisme protein.


Training

Testosteron
 


Reseptor sitoplasma serat otot           Reseptor sitoplasma serat otot
 


Otot hypertrophy                                    tidak hyperthrophy

Gambar. Signifikan Testosteron dalam Otot Skeletal Hypertrophy

Faktor lain yang dihasilkan dari latihan adalah kontrol posttranlasional. Testosteron dan analognya dapat mengurangi penurunan aktivitas myosin Mg2+ ATP ase pada otot-otot slow-twitch akibat latihan pada tikus. Jadi kontrol adaptif sintesis protein sesungguhnya dibantu oleh hormon dan metabolit.              

Kontrol Metabolik
Kontrol metabolik mengatur proses metabolisme dalam berbagai jaringan untuk memenuhi kebutuhan aktivitas tubuh. Kontrol metabolik dipengaruhi oleh enzim sehingga menghasilkan arah reaksi biokimia dalam proses metabolisme dan perubahan siklus metabolik. Latihan dapat berlangsung jika proses metabolik yang diatur untuk memenuhi peningkatan kebutuhan penggunaan energi. Kontrol metabolik terdiri dari 3 level, yaitu: outoregulasi selular, regulasi hormon, dan regulasi nervous.

1.      Autoregulasi Selular
Prinsip utama kontrol metabolik adalah rasio substrat/produk menentukan aktivitas enzim, apakah konversi substrat menjadi produk atau sebaliknya. Peningkatan substrat dan penurunan produk menstimulasi aktivitas enzim e1 dan menghambat enzim e2 lihat gambar reaksi. Contoh: perubahan asam laktat menjadi piruvat dan sebaliknya.

                                     e1
                           S                          P
                                      e2

Dalam serat otot, ion Ca2+ dan fosfat memiliki peran esensial untuk autoregulasi selular. Ion kalsium berperan dalam koordinasi kontraksi otot dan aktivasi glikolisis dan beberapa enzim mitokondria. Akumulasi fosfat anorganik meningkat dari ATP yang penting dalam hidrolisis fosfokreatine selama kontraksi otot. Pada waktu yang sama, laju penggantian ATP dipengaruhi oleh laju oksidasi dalam mitokondria.
   
2.      Kontrol metabolik Hormonal
Tujuan utama regulasi hormonal adalah untuk mengatur proses metabolik sesuai dengan kebutuhan tubuh. Tujuan tersebut dicapai melalui aksi hormon pada aktivitas enzim. Aktivitas hormon pada enzim tersebut melalui 2 cara, yaitu pengubahan struktur molekul enzim (umumnya melalui fosforilasi atau defosforilasi) sehingga aktivitas enzim meningkat atau menurun sesuai kebutuhan. Sejumlah hormon dapat menginduksi atau menghambat sintesis protein enzim.
Regulasi hormonal diperlukan  juga untuk regulasi homeostatic selama aktivitas latihan. Konsentrasi konstan ion dan air dalam intraselular dan ekstraselular selalu dipertahankan. Demikian pula halnya dengan kadar glukosa darah dipertahankan dengan bantuan hormon.
  
3.      Kontrol Metabolik Nervous (Syaraf)
Produksi hormon oleh kelenjar endokrin diatur terutama dengan bantuan sistem feedback: hormon pada level yang tinggi menekan level yang rendah untuk menstimulasi aktivitas sistem endokrin. Fungsi sistem syaraf mengatur sekresi hormon dari kelenjar endokrin. Contoh: adrenal medula mensekresi epinefrin pada awal latihan.
Aktivitas kelenjar endokrin lain diubah melalui 2 tahap sistem, yaitu: (1) sel-sel hipotalamus neurosekretory menghasilkan neurohormon (liberin atau statin) yang menstimulasi atau menghambat pembebasan hormon pituitari tropic dan (2) pituitari tropik hormon menstimulasi aktivitas kelenjar-kelanjar periferal endokrin.
Adaptasi Akut dan Long-Term   
Latihan yang dilakukan seorang atlet selama masa latihan atau persiapan konpetisi akan memiliki proses adaptasi akut, seperti regulatori homeostatic dan aktifnya transport oksigen serta penggunaan energi. Setiap latihan menghasilkan peningkatan kebutuhan oksigen dan kebutuhan untuk mengeliminasi produk CO2 yang berawal dari peningkatan system kardiovaskuler dan respirasi. Peningkatan homeostatic artinya peningkatan kemampuan untuk menghindari peningkatan konsentrasi ion H+ yang dihasilkan pada kondisi anaerobic. Tambahan kebutuhan energi akan meningkatkan produksi panas yang disertai dengan peningkatan termoregulasi yang kemudian mengubah keseimbangan air dan elektrolit. Respon homeostatic tersebut diperlukan untuk mempertahankan euglikemia.
           
Pengaruh beraksi pada parameter konstan dari lingkungan internal
 


Reseptor sensitif terhadap pergeseran parameter konstan
 


                                                                  CNS
 


Perubahan terkoordinasi aneka fungsi: sekresi hormon dan proses metabolik untuk kompensasi pengaruh dan atau mempertahankan level konstan temperatur, pH, kadar ionik, tekanan osmotik, tekanan oksigen, kadar air dan level glukosa
 


Untuk menjamin aktivitas optimal enzim dan untuk menghindari gangguan

Gambar . Regulasi Homeostatic

Ketika intensitas dan durasi latihan ditingkatkan hingga melewati ambang batas maka akan terjadi mobilisasi semua energi dan bahan-bahan protein. Kondisi ini akan menghasilkan transisi dari akut ke long-term adaptation. Dalam hal ini akumulasi inductor sintesis protein dan meningkatnya asam-asam amino bebas selama latihan sangat penting. Dampak latihan dengan periode panjang (prolong periode) berupa long-term adaptation.
            Sintesis protein adaptif memerlukan: (1) inductor yang bekerja pada badan genetic sel, suplai bahan untuk membangun, seperti asam amino dan precursor sintesis asam ribonukleat, destruksi bahan-bahan sel, dan suplai energi untuk sintesis.
            Selama periode recoveri setelah sesi latihan atau kompetisi, energi dan protein secara ekstensif digunakan untuk sintesis enzim adaptif dan struktur protein untuk menyimpan struktur selular dan kapasitas fungsionalnya. Peningkatan struktur selular aktif dan juga kapasitasnya merupakan hasil proses sintetik pasca latihan.

Efek Training terhadap Metabolik Resources
            Pembentukan ATP dipertahankan selama proses degradasi fosfokreatin dan degradasi glikogen yang berlangsung lambat. Sintesis kembali ATP yang paling besar tetapi dengan laju lambat terjadi pada produksi energi fosforilasi bersifat oksidatif  Tikus dilatih secara intensif dan berulangkali meningkatkan isi fosfokreatinnya tapi kandungan ATP nya tetap dalam otot skeletalnya. Pengaruh latihan berkelanjutan (continous exercise) terhadap fosfokreatin hanya pada level sedang (modest) tapi studi biopsy membuktikan peningkatan simpanan fosfokreatin dan peningkatan kandungan ATP minimal pada otot tungkai setelah short-term endurance training atau heavy resistance training. Efek latihan terhadap kandungan fosfokreatin diharapkan terjadi pada latihan sprint. Setelah 8 minggu latihan dengan 30 detik bersepeda, konsentrasi fosfokreatin meningkat hanya 9% dan tidak ada perubahan jumlah ATP. Delapan minggu latihan dengan 30 detik lari tidak mengubah kandungan fosfokreatin dan tidak signifikan meningkatkan jumlah ATP. Sebuah perbandingan cross-sectional dari 68 pria dan 11 wanita tidak menunjukkan perbedaan jumlah ATP signifikan dan fosfokreatin dalam kuadrisep otot paha (femoris) pesepeda, angkat berat, sprinter, pelari marathon, sukarelawan.
            Simpanan glikogen otot lebih besar pada atlet terlatih daripada pria tidak terlatih (sedentary) dan dikonfirmasi oleh studi longitudinal dan cross-sectional bahwa efek latihan tampak pada mereka yang mengikuti program latihan kekuatan, sprint, dan endurance. Namun pada tikus, latihan tidak mengubah simpanan glikogen pada serat otot slow-twitch atau fast-twitch. Latihan aerobic dengan berlari atau berenang secara terus menerus sangat efektif . Pada serat slow-twitch latihan aerobic endurance lebih nyata daripada respon latihan interval anaerobic atau latihan kekuatan. Namun latihan aerobic endurance, anaerobik interval dan latihan strength hampir sama perubahan yang ditimbulkannya pada serta fast-twitch.
            Eksperimen dengan tikus mengindikasikan bahwa latihan endurance meningkatkan  simpanan glikogen pada myocardium tapi tidak berubah pada kandungan fosfokreatin dan ATP. Demikian pula halnya dengan triasilgliserol tidak berubah. Latihan endurance juga meningkatkan kandungan glikogen liver tikus sekitar 50%. Jadi efek latihan terhadap penyimpanan energi tubuh terdiri dari peningkatan jumlah glikogen skeletal dan otot jantung serta liver. Sedangkan peningkatan fosfokreatin dan jumlah ATP masih dipertanyakan.

Efek Latihan Terhadap Aktivitas Enzim
            Peningkatan dan penurunan kinerja enzim secara adaptif sebagai katalitik proses biokimia terjadi melalui peningkatan jumlah/konsentrasi enzim aktif dan peningkatan sensitivitas enzim untuk menstimulasi atau untuk menghambat reaksi. Adaptasi secara signifikan terjadi pada enzim-enzim glikolisis anaerobic. Pada proses ini aliran substrat dikontrol oleh glikogen fosforilase dan fosfofruktokinase. Konsentrasi kedua enzim tersebut sangat tinggi dalam otot-otot skeletal. Telah diperkirakan bahwa aktivasi 5% fosforilase dapat memaksimal produksi asam laktat dalam otot skeletal dari glikogenolisis tergantung pada fosforilase. Efek dari enzim tambahan selanjutnya tidak berguna. Jadi peningkatan jumlah enzim secara total tidak akan meningkatkan ketepatan untuk mengatur aliran substrat melalui jalur metabolic.
            Penurunan aktivitas fosfofruktokinase pada tikus terjadi setelah 10 minggu anaerobic interval latihan aerobic kontinu baik pada serat slow-twitch maupun fast-twitch. Sedangkan latihan sprint hanya terjadi pada serat slow-twitch. Molekul fosfofruktokinase dan enzim-enzim glikolitik lainnya memiliki waktu hidup pendek (short-term life span) sehingga 2 atau 3 hari setelah latihan sudah tidak tampak aktivitasnya.
            Satu yang besar peluangnnya untuk terjadi adalah efek latihan terhadap enzim, yaitu latihan mengubah spectrum isozymes. Otot sprinter dan jumpers mengandung lactate dehidrogenase isozymes LDH4-5 dengan persentase relative tinggi sebaliknya otot atlet endurance memiliki LDH1-2 yang tinggi persentasenya. Latihan marathon meningkatkan aktivitas LDH1-2 dan menurunkan aktivitas LDH3-5. Latihan juga mungkin selektif mempengaruhi kandungan kreatin kinase MB isozym serat otot. Dengan cara ini adaptasi spesifik untuk latihan anaerobic mengkin terjadi karena pembentukan isozym yang kurang sensitive dengan pH rendah. Latihan interval meningkatkan konsentrasi laktat darah dan menurunkan pH darah dari 6,99 menjadi 6,90 akibat meningkatnya aktivitas heksokinase pada range pH 8,0 – 6,5. Perubahan ini ditemukan baik pada serat-serat slow-twitch maupun fast twitch pada jaringan otak. Jadi peningkatan isozym heksokinase otot terjadi pada otot dan jaringan otak.

Meningkatkan Kontrol Metabolik
            Tiga dampak utama dari latihan-induksi setelah meningkatkan kontrol metabolik, yaitu:
1.      Laju dan kestabilan mobilisasi resources tubuh
2.      Penggunaan resources tubuh secara lebih ekonomis, dan
3.      Meningkatkan kemampuan kontrol metabolik
Ekspresi dampak 1 terjadi pada pemahasan efek katekolamin terhadap glikogenolisis anaerobik sehingga juga pada kapasitas kerja anaerobik. Ekspresi lain pada pengaturan VO2 selama latihan dan pengaturan level glukokortikoid darah untuk long-lasting exercise.
            Latihan-induksi meningkatkan efisiensi mekanisme kerja otot dicerminkan pada menurunnya pengambilan oksigen ketika endurance-trained athlete dibandingkan dengan sedentary persons selama latihan pada laju output power yang sama. Atlet terlatih mengoksidasi sedikit karbohidrat dan membakar banyak lemak selama latihan.
            Interaksi insulin dan level hormon lipolitik sangat signifikan untuk porsi penggunaan lemak selama latihan. Insulin memblok efek hormon lypolitik pada jaringan adiposa dan menghambat pembebasan asam lemak bebas dan gliserol. Lipolisis menjadi efektif setelah level insulin darah berkurang (sekitar 10 – 15 menit dari onset latihan). Sebaliknya epinefrin dan hormon lipolitik lainnya menjadi efektif sehingga otot mendapat suplai asam-asam lemak bebas.
Penggunaan secara ekonomi resources tubuh juga tampak pada organisme terlatih berkaitan dengan respon hormonal pada saat latihan. Intensitas latihan harus melewati ambang untuk mengaktifkan fungsi endokrin secara signifikan. Hasilnya adalah ambang intensitas bergeser ke latihan yang lebih berat.
Atlet yang mampu melakukan latihan dengan power yang tinggi tanpa perubahan signifikan dalam level hormon darahnya. Akibatnya mereka dapat menyediakan kembali respon hormonalnya untuk kontrol metabolik pada latihan intensitas tinggi.
Peningkatan respon katekolamin terhadap latihan supramaksimal mungkin merupakan cara penting untuk meningkatkan output anaeorobik pada atlet terlatih. Latihan juga mempengaruhi reseptor hormon jaringan termasuk otot sehingga mobilisasi untuk memenuhi kebutuhan tubuh dan penggunaannya secara ekonomi kelenjar endokrin.
Pemberian aderenalin pada tikus terlatih menyebabkan peningkatan aktivitas adenilat siklase otot dan jaringan adiposa. Hal ini menekankan bahwa peningkatan sensitivitas katekolamin pada tikus terlatih berkaitan dengan proses yang menginisiasi interaksi adrenalin dan  b-adrenoreseptor. Konsekuensinya latihan membuat kontrol metabolik lebih labil sehingga peningkatan laju produksi cAMP dan degradasi intesif senyawa mediator dimungkinkan.

Penutup
Adaptasi selular dalam latihan ditunjukkan dengan meningkatnya struktur serat otot sesuai dengan jenis latihan yang dilakukan. Perubahan tersebut biasanya disertai dengan perubahan aktivitas enzim dan meningkatnya simpanan energi dalam serat otot terutama glikogen. Selain itu juga terjadi peningkatan suplai oksigen dan energi sumber energi pada ekstramuscular. Sintesis protein adaptif diinduksi oleh perubahan metabolik dan hormonal selama dan sesudah latihan dan diaktualisasikan pada periode recovery yang intinya untuk meningkatkan morfofungsional selular.  Keseluruhan peningkatan tersebut menjadi jaminan untuk peningkatan kapasitas tubuh secara keseluruhan.
Kontrol metabolik menjadi lebih efektif dalam hal mobilisasi metabolik dan kapasitas fungsional dan menjadi lebih efisien dalam hal penggunaan resources metabolik. Peningkatan tersebut disebabkan oleh peningkatan aktivitas enzim dan sensitivitas otot dan jaringan lainnya untuk memepengaruhi agen-agen pengontrol dan meningkatkan kemungkinan kelenjar endokrin menambah responnya dan stabilitasnya selama latihan yang membutuhkan mobilisasi maksimum fungsi-fungsi tubuh. Refleksinya yang utama adalah mobilisasi yang lebih cepat dan stabil resources, lebih ekonomi menggunakan body reserves dan meningkatnya kelabilan kontrol metabolik. Pada akhirnya latihan induksi metabolik meningkatkan performans. Konsekuensinya, metode yang digunakan untuk mengevaluasi efektivitas latihan juga harus melibatkan indeks-indeks yang menyediakan informasi adaptasi selular.      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar