Jumat, 03 Januari 2014

Mohamad Habibi/FIK/UNESA FEEDBACK TRAINING-ENDUCED EFFECTS


BAB VII
FEEDBACK TRAINING-ENDUCED EFFECTS


Banyak perubahan yang terjadi dalam tubuh selama berolahraga telah dipelajari yang dapat dibedakan sebagai berikut:
1.       Hipertrophy organ (otot skeletal, myocardium, kelenjar adrenal dan tulang)
2.       Meningkatnya kapasitas fungsional organ dan system fungsional
3.        Kestabilan fungsional (kapasitas untuk mempertahankan fungsi yang diperlukan  atau aktivitas metabolic selama latihan)
4.       Penyediaan fungsional (perbedaan level basal dan kemungkinan fungsi level paling tinggi)
5.       Penyediaan energi
6.       Efisiensi fungsi dan produksi energi
7.       Koordinasi yang sempurna, regulasi dan control fungsi tubuh dan proses metabolisme
8.      Kemampuan motorik
9.      Power, kapasitas dan efisiensi mekanisme produksi energi (resintesis ATP)

Dalam beberapa kasus asesmen dampak-dampak latihan tersebut memerlukan metode biokimia untuk mendapatkan informasi adaptasi metabolic dan mekanisme kontrolnya untuk memahami perubahan pada level metabolisme selular.

Energetika Otot dan Klasifikasi Latihan
Dalam kebanyakan kasus, kebutuhan potensi motorik ditemukan melalui pengembangan energetika otot. Jadi penting untuk diketahui berapa untuk kempetisi. Untuk itu sangat berguna untuk mengklasifikasi latihan ditinjau daru energetika otot. Kemudian selanjutnya kebutuhan fisik untuk kompetisi dianalisis sehingga dapat memutuskan petunjuk klasifikasi apa yang penting untuk dikembangkan dalam tubuh dan tes-tes apa yang digunakan untuk mengukur efektivitas latihan.
Berikut klasifikasi latihan kompetisi dalam olahraga dalam dua kategori, yaitu siklik dan asiklik namun dapat pula terjadi kombinasi keduanya.

Gambar 1. Klasifikasi Latihan Kompetitif dalam Olahraga


Klasifikasi ini penting untuk menjelaskan mekanisme pokok dari produksi energi (ATP resintesis). Hasil akhir dari analisis ini adalah akan menunjukkan latihan-latihan yang dibutuhkan dalam training untuk meningkatkan performance.

Energetika Anaerobik
Tiga jalur resintesis ATP anaerobik, yaitu: (1)  mekanisme fosfokreatin, (2) mekanisme myokinase, dan (3) mekanisme glikogenolisis anaerobik. Untuk bisa mengevaluasi efek latihan terhadap jalur produksi energi tersebut setiap jalur harus dikarakterisasi melalui power dan kapasitas resintesis ATP.


1.      Mekanisme Fosfokreatin
Evaluasi mekanisme fosfokreatin dilakukan dengan cara test output power karena teknik biopsi tidak praktis di lapangan. Output power maksimal dalam suatu aktivitas tunggal sering diukur dengan tes vertikal jump dengan menggunakan rumus:

Power  (W) =  21,67 x Massa Tubuh (kg) x Tinggi lompatan vertikal (m)

Namun kurang tepat jika output power hanya dalam suatu aktivita tunggal untuk mengestimasi power mekanisme fosfokreatin untuk menjamin resintesis ATP yang cepat. Oleh karena laju produksi ATP tidak stabil, yaitu langsung meningkat dan mencapai nilai tertinggi selama 2 detik pertama latihan pada laju pemakaian energi tertinggi. Pada 3 -5 detik kedua sudah menurun tapi masih lebih besar daripada laju glikogenolisis anaerobik. Jadi estimasi power mekanisme fosfokreatin yang benar adalah diukur pada saat selama 5 detik pertama latihan. Meskipun demikian mengukur power selama 5 detik pertama jumping konsekutif maksimal pada awal tes Bosco lebih cocok. Juga telah digunakan tes ergometer dan treadmill sprinting.
Durasi latihan tes berkisar antara 5 – 15 detik. Fox menggunakan latihan 10 detik dengan bout repeated dengan interval antara bout ulangan selama 30 detik. Kapasitas anaerobik-alactatic dievaluasi dengan menghitung jumlah repetisi hingga penurunan intensitas latihan atau jumlah total kerja pada output power maksimum. Meskipun demikian yang lebih baik adalah menghitung level aktual output power selama periode awal tes latihan. Tes Wingate dengan ergometer sepeda menggunakan rumus:

Power (W) = revolusi roda x 0,98 x [60/durasi tes (s) ] x resistansi (N)

 Bosco mengusulkan rumus menghitung power rata-rata selama tes jumping sebagai berikut:

                               9,8 x total waktu flight (s) x durasi (s)
                               Power = 4 x jumlah lompat x  [durasi tes – total waktu flight (s)]

Dahulu berusaha untuk menggunakan kreatin bebas dan fosfat anorganik untun mengevaluasi fungsi mekanisme fosfokreatin. Namun banyak kritik terhadap cara tersebut terutama berkaitan dengan kurangnya hasil yang mengkonfirmasi hubungan  kuantitatif antara penggunaan mekanisme fosfokreatin dan peningkatan level kreatin dan fosfat anorganik darah. Lebih lanjut, pembebasan kreatin  dalam pemecahan fosfokreatin dengan cepat digunakan kembali untuk resintesis fosfokreatin dan untuk transport energi dari mitokondria menuju myofibril.
 
2.      Mekanisme Myokinase
Pendekatan lain yang masih dapat dipertanyakan adalah penggunaan konsentrasi amonia plasma untuk mengevaluasi energetika latihan short-term. Selama latihan intensif short-term, akumulasi amonia dalam plasma mengindikasikan degradasi AMP. Jadi, akumulasi amonia berkaitan dengan reaksi myokinase (2ADP ---à ATP + AMP), yang diikuti dengan degradasi AMP. Meskipun tes pengukuran menggunakan amonia belum dikembangkan, metode ini tampaknya merupakan pendekatan yang cukup menjanjikan. Alasan-alasan penggunaan amonia sebagai berikut:
a.       Produksi amonia meningkat pada latihan sprint
b.      Produksi amonia selama latihan tergantung pada jumlah serat fast-twitch
c.       Latihan sprint meningkatkan respon amonia plasma terhadap latihan short-term yang berintensitas tinggi.
Meskipun demikian masih ada pertanyaan, apakah peningkatan konsentrasi amonia dalam plasma darah menyediakan informasi yang memadai tentang power reaksi myokinase atau tentang kapasitas mekanisme ini. Secarfa teoretis sangat mungkin disarankan bahwa power mekanisme resintesis ATP mungkin dievaluasi oleh laju akumulasi amonia dalam darah, sebaliknya konsentrasi amonia  tertinggi mungkin menjdi ukuran kapasitas mekanisme myokinase.
Dalam latihan prolonged juga ditemukan peningkatan konsentrasi amonia bedasarkan durasi latihan, seperti pada atlet endurans. Meskipun demikian laktat lebih sensitif terhadap intensitas latihan daripada respon amonia. Selama latihan prolonged terdapat 2 sumber amonia oleh otot-otot yang bekerja. Selain dari hasil degradasi AMP, amonia juga mungkin dihasilkan dari hasil oksidasi asam amino berantai cabang. Akumulasi dari asam amino rantai cabang tersebut berbanding terbalik dengan detoksikasi amonia dengan bantuan sintesis alanin dan glutamin. Jadi amonia mungkin digunakan untuk reaksi myokinase dan degradasi AMP hanya pada lari sprint.
Pertanyaan kemudian muncul adalah apakah level asam urat plasma atau hipoxantin lebih spesifik berkaitan dengan degradasi AMP daripada akumulasi amonia? Asam urat dan hipxantin seperti halnya amonia terbentuk dari hasil degradasi AMP yang juga meningkat levelnya selama latihan.
Parameter kuantitatif degradasi AMP harus menyediakan informasi yang diperlukan karena reaksi myokinase merupakan satu-satunya jalur resintesis ATP yang menghasilkan sebuah reduksi cadangan ATP total. Dalam reaksi myokinase, ATP disintesis ulang sebagai hasil dari kombinasi dua molekul ATP selain fosforilasi setiap molekul ADP di jalur lain.
   
3.      Glikogenolisis Anaerobik
Glikogenolisis anaerob terdiri dari degradasi molekul glikogen atau molekul glukosa darah sampai dengan pembentukan asam piruvat. Asam piruvat mungkin dioksidasi atau diubah menjadi laktat atau digunakan untuk sintesis alanin arau resintesis glikogen. Pada degradasi glikogen, energi membebaskan 3 molekul ATP untuk sintesis ulang. Degradasi sebuah molekul glukosa memberikan energi resintesis dua molekul ATP. Glikogenolisis anaerob sangat signifikan pada hampir semua latihan intensif.

Power
Untuk mendapatkan banyak informasi uji-uji  power glikogenolisis anaerob, satu hal penting untuk diketahui yaitu dinamika mekanisme glikogenolisis anaerob dalam resintesis ATP terutama laju prosesnya. Laju glikogenolisis mencapai nilai maksimum antara 40 – 50 detik ketika aktivitas otot dengan intensitas tinggi diinduksi dengan listrik sehingga menjadi sering berkonstraksi (Hultman & Sjoholm, 1983).  Menurut Greenhaff dan Timmons (1998), laju glikogenolisis yang menghasilkan ATP tertinggi pada 2 sampai dengan 20 detik konstraksi pada saat laju pemakaian energi yang tinggi. Produksi ATP dari fosfokreatin yang berlebih dari glikogenolisis selama 10 detik pertama sebuah konstraksi yang menghasilkan induksi listrik bahkan lebih lambat terjadi pada glikogenolisis. Meskipun demikian dari separuh berikutnya (kedua) dari menit pertama, laju glikogenolisis turun secara signifikan. Akibatnya, sebuah tes berdurasi 30 detik disarankan untuk asesmen power glikogenolisis anaerobik.
 Sebuah tes Wingate 30 detik diketahui cukup informatif bahkan sudah diverifikasi. Penentuan substrat-substrat energi dan laktat dalam otot perempuan yang sedang bekerja menunjukkan bahwa selama 30 detik tes, ATP menurun 33,5%, fosfokreatin turun sebesar 60%, dan glikogen turun sebesar 23,2%. Laktat otot meningkat 6,7 kali lipat. Penulis menyimpulkan bahwa tes Wingate merupakan sebuah tes yang memuaskan untuk power otot maksimal yang dapat dihasilkan secara anaerobik tapi tes dengan durasi 30 detik latihan bukan menjadi beban dari kapasitas maksimal produksi energi secara anaerob. Jadi tes Wingate mungkin banyak digunakan untuk asesmen power mekanisme produksi energi anaerobik daripada untuk menghitung kapasitas mekanisme tersebut.             
Serresse et al. (1988) mengestimasi bahwa pada sebuah tes 10 detik ergometer maksimal, mekanisme ATP berkontribusi 53% dari total pemakaian energi, 44% glikogenolisis anaerobik dan 3% fosforilasi oksidatif. Nilai untuk sebuah tes 30 detik menjadi 23%, 49% dan 28% sedangkan untuk sebuah tes 90 detik masing-masing akan menjadi 12%, 42% dan 46%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa dalam sebuah tes latihan 30 detik secara all-out, jalur produksi energi yang dominan adalah glikogenolisis anaerobik. Meskipun demikian kontribusinya hanya 50%. Studi lain menunjukkan bahwa kontribusi aerobik selama sebuah tes 30 detik sekitar 25% (Thomson & Garvie, 1981) atau 18,5% (Kavanagh & Jacobs, 1988) dari total pemakaian energi selama latihan.  
Kontribusi produksi energi aerobik meningkat ketika tes dilakukan dalam waktu yang lama (prolonged). Konsentrasi laktat mencapai puncaknya setelah 60 detik latihan. Namun penentuan laktat tidak memberikan informasi yang signifikan. Foster  et al. (1995) menunjuk kebutuhan untuk signifikasi turnover laktat yang terakumulasi dalam otot dan darah selama latihan. Mereka tidak mempertimbangkan respon laktat darah dalam latihan all-out untuk menjadi sebuah indeks kontribusi glikogenolisis anaerobik dalam energetik otot. Pada latihan suprmaksimal, laju produksi laktat surpases beberapa kali eliminasi laktat. Latihan dengan intensitas yang lebih besar kesalahan metodologi lebih kecil dari eliminasi laktat selama latihan.

Kapasitas
Pada asesmen kapasitas anaerobik, Foster et al, (1995) merekomendasikan kombinasi Quebeck tes 90 detik atau tes ergometer air-braked yang diusulkan oleh Withers et al. (1991) dengan pengukuran akumulasi defisit O2 . Ketika defisit O2 digunakan selain level laktat darah, kesalahan metodologi dari pembongkaran atau eliminasi laktat dapat dihindari. Namun apakah tes 90 detik optimal untuk menguji kapasitas gelikogenolisis anaerobik.
Akumulasi defisit oksigen dapat dihitung dengan mengurangi dengan akumulasi pengambilan oksigen (diukur selama latihan) dari akumulasi kebutuhan oksigen (diukur selama latihan dan periode recovery). Pengukuran kekurangan oksigen tergantung pada akurasi asesmen cost energi untuk kerja yang tuntas dilakukan. Nilai defisit oksigen sebagai ukurang kapasitas anaerobik masih menjadi pertanyaan ketika cost energi diestimasi dan tidak diukur.
Meskipun laktat darah merupakan sebuah indikasi glikogenolisis namun tidak dapat memberikan pengukuran yang tepat hasil energi anaerobik. Respon laktat tergantung pada intensitas dan durasi latihan. Perpanjangan waktu tes intensif latihan meningkatkan kontribusi gelikogenolisis anaerobik dan berkurangnya kontribusi mekanisme fosfokreatin. Meskipun demikian kontribusi fosfosrilasi oksidatif meningkat.
Sebuah cara untuk mengakses kapasitas gelikogenolisis anaerobik mendeteksi nilai-nilai maksimal laktat maksimal atau defisit oksigen oleh penggunaan sebuah set latihan interval anaerobik. Volkov (1963) menemukan bahwa maksimum aktual konsentrasi laktat darah dan defisit oksigen muncul setelah berlari 400m 4 kali pada kecepatan maksimum (waktu istrahat interval 4 – 6 menit, 3 – 4 menit dan 2 menit antara pertama dan kedua, kedua dan ketiga, dan ketiga dan keempat setiap latihan. Konsentrasi laktat hingga 26 mmol/L telah ditemukan pada pelari jarang menengah dan pemain es-hokey, hingga 24 mmol/L pada pemain bola basket dan wrestler. Konsentrasi laktat sangat tinggi dikonfirmasi sesudah latihan interval dikaitkan dengan nilai pH 6,8 – 7.
Green (1994) menyimpulkan bahwa kapasitas anaerobik merupakan jumlah maksimal dari resintesis ATP melalui metabolisme anaerobik (pada semua organisme) selama sebuah jenis latihan maksimal berdurasi pendek tertentu. Selain itu Green (1994) juga mendebatkan istilah kapasitas anaerobik maksimal dan kapasitas anaerobik yang bukan sinonim karena kapasitas anaerobik maksimal berkaitan dengan nilai maksimal yang tidak terkait dengan jenis dan durasi latihan. Bahkan dianggap hanya teoretis karena atlet membutuhkan kesempatan untuk menggunakan kapasitas anaerobik.
Oleh karena latihan terutama latihan sprint meningkatkan respon epinefrin maka sangat mungkin untuk menganalisis hubungan antara peningkatan produksi epinefrin dari sebuah set latihan yang sangat intensif dan mobilisasi kapasitas kerja anaerobik. Peningkatan respon katekolamin selama latihan sangat penting untuk kapasitas kerja anaerobik yang tinggi.

Energetika Aerobik
Pembebasan energi dalam oksidasi menyediakan sebuah peluang untuk resintesis 38 molekul ATP yang merupakan jalur utama resintesis ATP. Penggunaan peluang ini dibatasi oleh transport oksigen ke otot yang bekerja dan potensial oksidasi (jumlah enzim oksidatif dan aktivitasnya). Secara keseluruhan dalam tubuh, transpor oksigen dicirikan oleh ambilan oksigen maksimal. Pengukuran potensial oksidasi secara tak langsung dari otot skeletal ambang anaerobik yang dinyatakan dalam satuan output power. Ambilan oksigen maksimal merupakan indeks power aerobik. Masalahnya adalah bagaimana asesmen kapasitas aerobik.

Fosforilasi Oksidatif: Power Aerobik
Laju fosforilasi oksidatif tergantung pada konsentrasi dan aktivitas enzim-enzim mitokondria. Pada saat yang sama, potensial oksidasi serat otot skeletal tergantung pada suplai oksigen. Jadi dalam latihan, efek metabolisme aerobik harus dbedakan dari kejadian dalam serat otot mitokondria dan dalam transpor oksigen dari paru ke otot.
Sampel biopsi menyediakan peluang untk membangun sebuah peningkatan massa mitokondria dan aktivitas enzim-enzim oksidasi dalam mitokondria. Sebuah cara tak langsung untuk medapatkan informasi adalah asesmen ambang anaerobik. Cara lain yang paling penting dan banyak digunakan sebagai parameter integral adalah ambilan oksigen maksimal (VO2 maks.)


Ambilan Oksigen Maksimal       
Ambilan oksigen maksimal mengukur kemampuan tubuh untuk dapat mengambil dan menggunakan oksigen selama latihan yang intensif. Indeks ini tampak untuk menyatukan kuantifikasi kejadian-kejadian pada level sistem mitokondria dan transport oksigen. Ambilan oksigen maksimal tergantung pada laju transpor oksigen. Jadi peningkatan ambilan oksigen dibatasi oleh aliran darah yang melalaui otot-otot yang bekerja.
Ketidaksesuaian antara peningkatan ambilan oksigen maksimal selama latihan dan aktivitas enzim oksidatif dalam serat otot telah dikonfirmasi melalui fakta  bahwa ambilan oksigen maksimal tidak mencerminkan pola potensial oksidatif otot- otot selama latihan. Namun ditemukan bahwa ada hubungan yang erat antara ambilan oksigen maksimal dengan aktivitas suksinat dehidrogenase dan sitokrom oksidase hanya pada otot vastus lateralis setelah 3 – 4 minggu pertama latihan endurans pada pria. Selama 6 minggu berikutnya sesudah latihan, aktivitas enzim menurun tapi ambilan oksigen maksimal erlatif bertahan pada level yang ditemukan pada akhir latihan. Perbandingan cross-sectional menunjukkan bahwa ambilan oksigen maksimal atlet-atlet endurans dua kali orang tidak terlatih sebaliknya aktivitas enzim mitokondria otot atlet endurans 3 kali lipat hingga 4 kali lipat lebih besar daripada pada non atlet.
Suplai darah otot-otot yang bekerja tergantung pada vasodilatasi lokal. Vasoregulasi lokal berkontribusi kepada aliran darah meningkat setelah latihan endurans. Jelasnya, dalam hal ini ambilan oksigen maksimal kebalikan dari resistensi sistem vascular. Ditemukan bahwa ada korelasi yang lebih besar antara VO2  maks dengan konduktansi vascular selama latihan pada atlet endurans daripada pada orang tidak terlatih. Fenomena ini menunjukkan laju total sirkulasi dan juga kapasitas fungsional jantung.
Aktualisasi lengkap kapasitas fungsional jantung memerlukan kondisi untuk mengefektifkan pembaharuan udara alveolar dan difusi oksigen dalam paru. Pendapat lain untuk mengefektifkan transport oksigen adalah jumlah total hemoglobin dalam sirkulasi darah. Meskipun demikian sebuah peningkatan volume total darah memiliki makna positif jika konsentrasi hemoglobin tidak turun.
Nilai pokok dari mengukur VO2 maks tidak hanya memberikan informasi teoretis tetapi puncak aktual ambilan oksigen selama melakukan latihan intensif tertentu. Intensitas latihan cukup untuk membangkitkan kemungkinan tertinggi ambilan oksigen disebut sebagai latihan maksimal. Latihan dengan intensitas yang lebih rendah disebut submaksimal dan lebih besar disebut supramaksimal. Meskipun demikian istilah maksimal bersifat nilai historis bukan nilai fisiologis.

Menentukan Ambilan Oksigen Maksimal          
Metode pilihan untuk mengukur langsung ambilan oksigen selama latihan incremental dapat berupa sepeda ergometer atau treadmill. Beberapa kriteria digunakan untuk menentukan bahwa pengukuran puncak VO2 sesungguhnya merupakan nilai maksimum. Kriteria pertama yang paling penting adalah kurangnya peningkatan lebih lanjut output jantung atau aliran darah pada otot. Namun karena masih ada komplikasi secara metodologi dan sulit untuk menentukan dengan tes-tes yang ada maka kriteria kedua dari VO2 maks, yaitu: puncak laju jantung dengan estimasi menggunakan rumus: 220 – umur (tahun), puncak ratio pertukaran gas respirasi (respiratory quotient) lebih tinggi daripada 1,10 dan puncak laktat darah 10 – 12 mmol/L. Secara etik jika subjek yang dites menolak untuk meneruskan tesnya maka testing harus dihentikan dan kriteria kedua harus digunakan.
Beberapa metode asesmen secara tak langsung power aerobik maksimal didesain untuk menghindari usaha maksimal dengan menggunakan latihan testing submaksimal dan pengukuran lain, seperti laju denyut jantung, indeks performan endurans. Asumsi dasar bahwa prediksi VO2 dengan submaksimal adalah (1) ada hubungan antara laju denyut jantung dan pengambilan oksigen selama latihan, (2) Laju denyut jantung maksimun diketahui dan (3) efisiensi mekanik performan latihan tes diketahui. Kesalahan sistematik hingga 10% dan kesalahan random 10% membatasi nilai informasi yang diperoleh melalui prosedur ini.

Ambang Anaerobik
Istilah critical metabolic level pertama dikemukakan oleh Owles (1930) namun kemudian berubah menjadi ambang anaerobik yang digunakan secara luas dan lebih diterima hingga saat ini. Meskipun demikian masih ditemukan banyak hal yang membingungkan seperti meningkatnya jumlah laktat darah hanya pada intensitas yang lebih besar daripada VO2 maks. Intensitas latihan berkaitan dengan ambang anaerobik yang diketahui dengan signifikan lebih rendah daripada VO2 maks. Ketidakcocokan tersebut mengindikasikan bahwa besaran aktual dari respon laktat terkait dengan intensitas latihan tidak terdeteksi.
Pada latihan incremental, respon laktat darah ditandai dengan sebuah peningkatan kurva linier yang dapat diukur pada intensitas latihan mendekati 50% VO2 maks. Peningkatan tajam kosentrasi laktat dimulai pada intensitas 70% - 80% VO2 maks yang kemudian diberi istilah lactate break point, lactate thereshold, onset pf lactate accumulation dan aerobic-anaerobic thereshold. Pada titik ini, konsentrasi laktat rata-rata sekitar 4 mmol/L.


Gambar 2. Konsentrasi Laktat Selama Berlari Treadmill Incremental

Ambang anaerobic yang dideteksi dengan cara ini telah disebut ambang laktat 4 mmol/L. Dengan kata lain deteksi power anaerobik dengan menggunakan analisis kurva laktat telah mengindikasikan ambang anaerobik individual.

Esensi Fisiologi Ambang Anaerobik
Istilah ambang anaerobik mengindikasikan bahwa maksudnya untuk menunjukkan transfer dari proses aerobik menuju proses anaerobik dalam produksi energi (ATP resintesis) Namun 2 pertanyaan yang muncul, (1) mengapa lakta diproduksi dalam jumlah kecil selama latihan tampak pada intensitas moderat yang jelas-jelas memerlukan hanya resintesis ATP aerobik?, (2) apakah alasan untuk ”breaking point” dalam peningkatan linier konsentrasi laktat dengan peningkatan intensitas latihan?.
Untuk menemukan sebuah jawaban terhadap pertanyaan (1) kita harus kembali ke pemahaman dasar tentang metabolisme. Reaksi-reaksi biokimia dikontrol oleh aktivitas berbagai enzim. Prinsip pengaturan adalah ”more versus less” bukan ”yes versus no”.  jadi pengaturan kuantitatif menjamin pemindahan yang lancar dan menghindari ketidakmampuan menyesuaikan diri yang disebabkan oleh kurangnya switching in dan switching off. Jadi sebuah peningkatan intensitas latihan memperbesar laju glikogenolisis dan glikolisis. Dari sebuah level kritis intensitas latihan, laju formasi piruvat mulai melebihi laju fosforilasi oksidasi meskipun laju fosforilasi oksidasi sangat dekat dengan maksimum, pembentukan laktat diperbesar pada laju yang meningkat.
Jumlah kecil produksi laktat oleh otot-otot yang bekerja selama latihan intensitas rendah direfleksikan oleh laju inflow laktat ke dalam darah. Meskipun demikian eliminasi laktat dari darah karena diangkut ke bagian oksidasi setimbang dengan laju inflow laktat ke dalam darah. Disamping oksidasi, hati menggunakan laktat untu glukoneogenesis. Namun konsentrasi laktat menjadi stabil pada peningkatan konsentrasinya dan levelnya menjadi tidak meningkat lagi meskipun inflow laktat terus berlanjut selama latihan dengan intensitas yang sama dilanjutkan. Pada konsentrasi laktat ini, kesetimbangan menjadi rusak. Namun penentu utama dari breaking point kesetimbangan bukan laju inflow laktat melainkan kemungkinan untuk oksidasi laktat dalam otot yang bekerja. Dalam hal ini, maka ambang anaerobic mengekspresikan potensial oksidasi otot skeletal seseorang.
Asesmen ambang anaerobic melalui breakpoint kurva laktat selama latihan incremental merefleksikan sebuah peritiwa kritis dalam penyesuaian metabolisme menuju sebuah level latihan yang meningkat. Makna fisiologi dari critical event bahwa laju metabolisme oksidatif tidak dapt meningkat lagi. Keterlibatan mekanisme anaerobic pada produksi energi tidak dapat dihindari untuk melakukan latihan dengan output power yang lebih tinggi.
Memahami ambang anaerobic memberikan peluang untuk menggunakan ambang anaerobic untuk sebuah evaluasi potensial oksidatif otot-otot skeletal. Meskipun ambang anaerobic tidak dapat diukur secara kuantitatif dari kemungkinan untuk metabolisme oksidatif dalam otot skeletal, namun masih dapat menggunakan sebagai karakteristik semikuantitatif.
Level intensitas latihan berkaitan dengan ambang anaerobic yang telah didefinisikan baik sebagai persentase VO2  maks atau output power. Dalam percobaan latihan dan monitoring latihan, definsi intensitas latihan pada ambang anaerobic menjadi tidak bermakna. Latihan mungkin dapat meningkatkan VO2 maks jadi ekspresi ambang anaerobic mengakibatkan nilainya tergantung pada VO2 maks. Meskipun demikian, ide untuk menggunakan ambang anaerobic sebagai sebuah indeks independent untuk menginformasikan tentang kapasitas oksidatif otot skeletal tanpa sebuah hubungan timbale balik ke keefektifan transport oksigen. Jadi disarankan untuk menggunakan nilai output power atau kecepatan berlari untuk mendefinisikan itensitas latihan pada ambang anaserobik.
Output power atau kecepatan berlari pada ambang anaerobic berkorelasi tinggi dengan performan dalam long-distance events, khususnya dalam lomba lari marathon. Ambang lakta dikaitkan dengan breaking points secara dinamik dari berbagai parameter seperti ambang intensitas untuk respon katekolamin, abrupt rise dalam aktivitas elektromyograph otot yang bekerja, kenaikan sodium saliva dan konsentrasi klorida, turunnya penjenuhan oksigen hemoglobin dan peningkatan konsentrasi amylase saliva. Dilaporkan juga bajwa ada korelasi yang signifikan antara ambang laktat, ambang potassium, ambang sodium, ambang kalsium dan ammonia.   

Aspek-aspek Metodologi   
Ada tiga pendekatan yang dapat dideskriminasi dalam asesmen ambang anaerobic, yaitu:
1.      Penentuan ambang anaerobic individual berdasarkan pada analisis laktat/kurva intensitas laktat
2.      Interpolasi intensitas latihan untuk konsentrasi laktat darah 4 mmol/L
3.      Penentuan laktat maksimal steady state (MLSS)
Metode pilihan haruslah MLSS. Pada cara ini, kemungkinan paling tinggi intensitas latihan selama laktat bertahan pada level yang stabil. Namun komplikasi metode timbul karena kebutuhan untuk menggunakan sejumlah latihan kontinu yang dilakukan pada intensitas yang berbeda tapi masing-masing dilakukan dengan durasi minimal 20 menit.
Suatu metode yang direkomendasikan oleh Billat et al. (1994) adalah penggunaan intensitas latihan 60% dan 80% VO2 maks dan untuk istrahat selama 40 menit diantara 2 latihan tes. Hasilnya, level laktat steady adalah antara 4 dan 6 mmol/L. Stegmann dan Kindermann (1982) menggunakan 50 menit latihan steady untuk menguji nilai individual ambang anaerobik dan menemukan  level steady laktat 3,1 hingga 4,5 mmol/L. Pada atlet elit trathletes dan bersepeda, nilai bervariasi dari 3,2 hingga 12,2 mmol/L. Nilai yang kurang bervariasi ditemukan pada pendayung, cyclists dan speedskaters. Nilai rata-rata laktat pada MLSS dalam kelompok dalam 3,1 hingga 6,9 mmol/L.
Menggunakan kurva laktat/intensitas latihan secara keseluruhan mendatangkan sebuah problem dalam menentukan apakah beaking point yang ditentukan secara visual atau sebuah program komputer adalah benar karena beberapa perbedaaan individual muncul yang membuat keputusan menjadi sangat meragukan. Untuk menghindari kesalahan pengamatan dalam mendeteksi laktat breaking point diusulkan analisis trigonometri khusus dari kurva lactat/intensitas latihan.Ditemukan pula bahwa level laktat darah individual pada ambang anaerobik bervariasi dalam batas-batas yang luas (broad limits) sehingga ditekankan pada kebutuhan asesmen ambang anaerobik individual.
Ambang 4 mmol/L telah banyak diases secara luas dan beberapa studi memberikan bukti untuk justifikasinya. Meskipun sudah digunakan luas namun sebuah kritik serius muncul dari fakta bahwa ambang anaerobik individual tidak fix level laktat pada 4 mmol/L melainkan bervariasi pada ambang anaerobik individual.  Problem umum yang terjadi secara metodologi adalah berkaitan dengan terlambatnya peningkatan konsentrasi laktat plasma selama latihan incremental dibandingkan dengan peningkatan konsentrasi laktat otot.

Kapasitas Aerobik
Kapasitas maksimal fosforilasi oksidatif tergantung pada (1) jumlah dan ketersediaan substrat untuk oksidasi, (2) penjagan kecukupan level tinggi dari aktivitas enzim oksidasi untuk waktu yang lama, (3) kestabilan dalam menfungsikan sistem transport oksigen bertanggungjawab terhadap suplai substrate-substrate oksidasi dan (4) efisiensi proses energi.

Ketersediaan Substrat Oksidasi
Oksidasi lipid menghasilkan lebih banyak energi daripada oksidasi karbohidrat dimana 1 gram lemak menghasilkan 9,4 kkal sedangkan karbohidrat hanya 4,2 kkal. Namun pada saat yang sama, oksidasi lipid memerlukan lebih banyak oksigen, yaitu untuk 1 liter O2 menghasilkan 4,7 kkal pada oksidasi lemak dan 5,0 kkal pada oksidasi karbohidrat. Akibatnya, transfer karbohidrat-lipid menguntungkan jika pemakaian energi total besar dan kebutuhan oksigen cukup tersedia (intensitas latihan moderat). Keuntungan transfer terhadap oksidasi lipid adalah problematik ketika kebutuhan oksigen lebih besar daripada ambilan oksigen dan total pengeluaran energi jauh dari kemungkinan maksimalnya.
Ketika kontribusi produksi energi anaerobik tinggi, simpanan glikogen yang melimpah menjadi penting untuk menyediakan substrat produksi energi anaerob. Produksi laktat baik secara langsung atau melalui pembentukan ion hidrogen menghambat aktivitas fosforilase, fosfofruktokinase, dan ATPase. Hasilnya, penghambatan feedback glikogenolisis muncul bersamaan dengan penurunan degradasi ATP. Pada cara ini, konstraksi otot berhenti sebelum cadangan glikogen digunakan.













Gambar 3. Dinamika Level Glikogen Otot Selama Latihan Prolonged pada
                  Berbagai Intensitas.

Situasi lain dalam latihan aerobik-anaerobik terjadi ketika laju produksi energi anaerobik kurang dari produksi energi aerobik sehingga kontribusi fosforilasi oksidatif lebih besar daripada dalam latihan anaerobik. Karena konsentrasi laktat meningkat melebihi sebuah level untuk menghambar lipolisis, glikogen dan glukosa darah harus memenuhi kebutuhan glikolisis anaerobik dan fosforilasi oksidatif.
Penggunaan glikogen otot tergantung pada intensitas latihan. Laju pemecahan glikogen meningkat dengan cepat di atas intensitas 75% VO2 maks . Konsep crossover digunakan untuk analisis pola oksidasi karbohidrat dan lipid. Berdasarkan kurva penggunaan karbohidrat dan lipid, cross terjadi pada intensitas latihan 70% VO2 maks. Jelasnya, titik crossing (silang) dekat dengan ambang anaerobik. Dari titik ini, tiga jenis latihan bersepeda yang harus dibedakan, yaitu (1) latihan dengan intensitas tinggi dapat memproduksi output power mendekati maksimal (latihan anaerobik). Latihan-latihan ini adalah terlalu singkat untuk mengabiskan cadangan glikogen, (2) latihan (aerobik-anaerobik) dilakukan pada level output power yang tinggi sehingga dibawa kondisi ambilan oksigen yang tinggi. Pada latihan ini cadangan glikogen merupakan faktor yang membatasi performans, dan (3) jenis latihan (latihan aerobik murni) ditemukan dalam fosforilasi oksidatif, dimana level output power moderat harus dipertahankan untuk waktu yang panjang. Dalam latihan ini, dari sudut pandang energetika performan tergantung pada trransfer penggunaan karbohidrat ke lipid untuk membagi pemakaian glikogen untuk mencegah hipoglikemia akibat kehabisan glikogen.

Faktor-faktor Lain
Latihan endurans meningkatkan aktivitas enzim-enzim mitokondria. Percobaanpada tikus setelah berenang 10 jam, aktivitas suksinat dehidrogenase dan sitokrom oksidase menurun dikaitkan dengan sangat rendahnya glikogen otot dan hipoglikemia. Selama latihan prolonged setelah waktu tertentu, laju denyut jantung dan volume pukulan akan meningkat dan tekanan rata-rata arteri dan tekanan sistolik menurun. Orang tidak terlatih dapat mempertahankan hingga separuh dari VO2 maks. Level hormon mungkin menurun selama latihan prolonged. Jelasnya bahwa latihan yang berkualitas akan meningkatkan kestabilan fungsional yang pada gilirannya meningkatkan kapasitas aerobik. Kemungkinan lain yang terjadi selama latihan prolonged adalah efisiensi mekanik kerja otot berkurang.

Menilai Kapasitas Aerobik          
Kapasitas aerobik belum pernah dinilai sebagai power aerobik. Alasannya berkaitan dengan prosedur pengujian yang memerlukan penggunaan latihan prolonged. Problem lain adalah asesmen kapasitas aerobik mempunyai nilai praktis jika performan yang dites dan latihan kompetitif  ditemukan pada energetika otot yang sama. Uji-uji untuk menilai kapasitas aerobik dapat dibagi menjadi 3 kategori, yaitu:
1.      kapasitas untuk performan aerobik-anaerobik
2.      kapasitas untuk performan aerobik-glikolitik
3.      Kapasitas untuk performan aerobik-lipolitik
Untuk pengujian ketiga kategori tersebut memerlukan energi yang memadai. Problem yang terjadi dalam tes kapasitas aerobik-lipolitik adalah bagaimana untuk mendapatkan sebuah tes yang informatif tapi atlet tidak secara total kelelahan.
Oleh karena intensitas tertinggi untuk performan aerobik murni ditentukan oleh mabang anaerobik, maka untuk asesmen kapasitas aerobik-glikolitik, latihan disarankan sampai kelelahan pada ambang anaerobik. Istilah kecepatan aerobik maksimal telah digunakan untuk kecepatan pada VO2 maks tapi tidak untuk kecepatan pada ambang anaerobik. Waktu berlari maksimal pada kecepatan menurut VO2 maks mengindikasikan kapasitas aerobik-anaerobik dan tidak tergantung pada power aerobik.
Perhatian harus dipusatkan pada tes treadmill Bruce untuk memprediksi kapasitas aerobik-anaerobik. Uji tersebut terdiri dari berlari pada treadmill. Setelah setiap 3 menit, kecepatan dan tingkat treadmill meningkat 0,8 mph dan 2%. Durasi maksimal performan treadmill merupakan sebuah kriteria tes. Hal ini mungkin tergantung pada power aerobik dan kapasitas aerobik-anaerobik.

Memonitor Mekanisme Produksi Energi
Memonitor mekanisme produksi energi masuk akal jika peritiwa yang terjadi spesifik. Jadi latihan kompetisi harus dianalisis untuk membangun mekanisme yang membatasi performan dalam kompetisi. Nilai yang diperoleh mungkin menyebar tergantung pada even.

Diagnostik Laktat Dalam Monitoring Latihan
       Dalam event endurans, diagnostik laktat merupakan alat yang diakui untuk memperoleh informasi terhadpa perubahan energetika otot yang berkembang karena latihan. Untuk tujuan ini, uji lapangan even spesifik dielaborasi. Hasil utama tes ini adalah kurva laktat/kecepatan yang memberikan kemungkinan untuk mengkarakterisasi individu khususnya dari pola laktat selama berlari, bersepeda, berenang atau mendayung dengan meningkatkan kecepatan.
Titik utama bukan untuk mengekstrapolasi intensitas latihan pada 2,0;  4,0; atau 8,0 mmol/L laktat. Ide untuk mendeteksi pergeseran kurva keseluruhan setelah sebuah tahapan latihan, periode atau tahun. Pergeseran ini secara spesifik berkaitan dengan latihan yang digunakan.
Pada pelari maraton, latihan aerobik meningkatkan ambang anaerobik dan membuat kurva lebih flat daripada pelari jarak menengah. Atlet spesialisasi even aerobik-anaerobik ambang anaerobik lebih rendah daripada pelari maraton tapi kurva timbul di atas ambang anaerobik yang disarankan. Pada pelari jarang menengah, perbedaan dari kurva pelari maraton sangat mencolok. Ambang anaerobik mereka lebih rendah tapi peningkatan laktat selama latihan di atas ambang anaerobik yan lebih mencolok.

VO2 maks. Dalam Monitoring Latihan
Penentuan reguler power aerobik bermaksud untuk evaluasi efektivitas latihan endurans, khususnya pada atlet spesialisasi dalam latihan aerobik-anaerobik. Contoh dinamika VO2 maks selama karir olahraga dua orang atlet ski cross-country terbaik Lituanian ditampilkan pada gambar 7.12. Atlet ski pria VO2 maks dimonitor pada usia 21 hingga 31 tahun dan perempuan pada usia 20 sampai 29 tahun.
Informasi dari hasil monitoring VO2 maks selama latihan setahun pada atlet even aerobik-anaerobik adalah penting. Namun ambilan oksigen maksimal tersebut bukanlah sebuah indikasi universal dari level performans. Power aerobik meningkat adalah kebutuhan tapi bukan kondisi utama untuk sebuah level performans yang tinggi dalam event maratron dan ultramaraton. Signifikansi VO2 maks adalh moderat pada sprinter dan atlet-atlet power. Jadi penurunan VO2 maks. untuk onset kompetisi dan selama periode ini adalh fenomena biasa. Meskipun demikan perlu untuk membedakan apakah penurunan VO2 maks terkait dengan peningkatan performan tertentu dalam even power dan sprint.  Jika performan juga berkurang, satu hal harus dipikirkan yaitu ketidakmampuan adaptasi tubuh sehingga penurunan VO2 maks harus diperhitungkan. Namun evaluasi reduksi VO2 maks selama periode kompetisi belum dielaborasi.
Problem khusus dari monitoring VO2 maks timbul dalam event-event adalah kompetisi berakhir beberapa jam tapi kejelasan tanggungjawab gerak efektif memerlukan output power, kecepatan, dan kapasitas anaerobik yang tinggi. Selama menit-menit istrahat setelah pergeseran, restitusi tergantung pada laju proses oksidasi sehingga ditentukan oleh suplai oksigen ke otot.
Penting untuk dipertimbangkan bahwa informasi VO2 maks diimplementasikan terutama untuk latihan yang melibatkan sistem transportasi oksigen yang tidak berkaitan dengan efek latihan terhadap potensial oksidasi serat otot. Jadi pada event endurans, kedua parameter, yaitu VO2 maks dan diagnostik laktat harus dimonitor.


Menilai Efek-efek Latihan Lainnya
Latihan memerlukan banyak informasi daripad adata tentang peningkatan power dan kapasitas sistem produksi energi. Dalam beberapa kasus, sejumlah informasi yang memadai tentang efek latihan telah diperoleh dengan menggunakan tes motor fitnes. Dari adaptasi metabolik, informasi yang sangat bernilai adalah cadangan energi dan apa yang terjadi dalam otot terutama pada resistif tinggi dan training power. Namun informasi valid hanya dapat diperoleh melalui sampling biopsi. Akibatnya, kemungkinan lain adalah menggunakan tes strength, tes power dan tes karakteristik kontraksi otot dan pengukuran hipertrophy otot dengan bantuan scaning ultrasonik.
Untuk even-even prolonged, penting untuk diketahui hubungan antara proses anaerobik dengan sparing glikogen dengan bantuan transfer ke penggunaan lemak. Untuk mengecek fenomena crossover tersebut, level laktat dan asam-asam lemak bebas harus diukur selama latihan prolonged pada berbagai intensitas.
Respon-respon hormonal mengandung informasi-informasi penting berkaitan dengan mobilisasi bahan-bahan sumber energi. Studi hormonal sngat bermanfaat untuk tujuan: (1) menentuikan level insulin selama latihan prolonged berkaitan dengan lipolisis jaringan, (2) mengukur besar respon katekolamin pada pelari sprint untuk mengetahui interferensi epinefrin denan kontrol otomoatik selular untuk meningkatkan mobilisasi glikogen otot, (3) untuk menentukan stabilitas respon hormon yang mengontrol mobilisasi bahan untuk energi dengan melakukan pengukuran ulang konsentrasi hormon, (4) untuk menentukan level basal testosteron untuk menilai kemungkinan bahwa hormon tersebut mendukung efektivitas upaya fungsi aparatus neuromuscular untuk performan yang tinggi dalam evan-even strength dan power. Jadi kesimpulannya, efek latihan terhadap adaptasi metabolik dan fungsi endokrin mungkin dinilai meskipun hanya untuk analisis ekstensif bukan untuk monitoring yang luar biasa.          
  
Summary
Power dan kapasitas mekanisme energi menyatakan kriteria esensial dari kapasitas performan dalam beberapa even olahraga. Asesmennya merupakan tugas penting dalam memonitor latihan. Dalam evaluasi power aerobik, pendekatan yang cocok adalah menentukan ambilan oksigen maksimal yang mencirikan laju transport oksigen ke otot yang sedang bekerja dan ambang anaerobik yang mencirikan output power terrtinggi pada fosforilasi oksidatif tanpa tambahan penggunaan energi anaerobik. Cara langsung untuk mengukur ambang anaerobik  terdiri dari menilai laktat maksimal pada steady state. Asesmen ambang anaerobik melalui dinamika laktat selama latihan incremental juga bernilai. Hasil yang paling ajeg ditemukan dalam analisis kurva peningkatan laktat diplit terhadap output power.
Komplikasi terjadi berkaitan dengan estimasi kapasitas aerobik. Asesmen kapasitas total tubuh untuk fosforilasi oksidatif secara praktik tidak mungkin dilakukan. Dalam aplikasinya, asesmen kapasitas latihan aerobik-anaerobik untuk laju tertinggi dari latihan yang dilakukan pada fosforilasi oksidatif dan untuk latihan yang dilakukan pada oksidasi lipid lebih penting.
Untuk evaluasi glikogenolisis anaerobik, perhatian harus tertuju pada tes Wingate, tes jumping berlanjut Bosco dan tes-tes lain serupa terdiri dari latihan pada kemungkinan laju tertinggi untuk 30 sampai 90 detik. Penentuan nilai output power laktat meningkat jika laju akumulasi laktat diestimasi. Pengukuran yang tepat laju akumulasi laktat menyediakan kemungkinan terbaik untuk asesmen power glikogenolisis anaerobik. Uji kapasitas gelikogenolisis anaerobik merupakan kemungkinan konsentrasi laktat paling tinggi dalam darah yang harus ditentukan. Kemungkinan tersebut disediakan melalui uji degan bantuan latihan intensitas tinggi berulangkali dengan waktu istrahat pendek (uji interval).
Pendekatan tak langsung untuk asesmen power mekanisme fosfokreatin adalah penentuan output power terrtinggi pada lari staircase short-term atau pada vertical jump maksimal, yang kontinyu selama 5 detik. Metode terbaik untu asesmen mekanisme kapasitas fosfokreatin adalah menentukan kehilangan fosfokreati dalam otot yang bekerja keras dengan sampling biopsi. Cara tak langsung adalah merekam dinamika output power (seperti kecepatan gerak) latihan short-term pada intensitas maksimal.     
Penentuan konsentrasi amonia, asam urat atau hipoksantin dalam plasma darah menyediakan kemungkinan terbatas untuk mengkarakterisasi mekanisme myokinase. Penentuan produk degradasi AMP yang signifikan terdiri dari kemunginan untuk mendapatkan informasi apakah resintesis ATP setelah degradasi ATP menjadi ADP.
Hal paling esensial adalah menentukan titik crossover terkait dengan penggunaan lipid melawan karbohidrat sebagai substrat oskidatif. Informasi penting memberikan penentuan simultan laktat dan asam lemak bebas (atau gliserol) dalam plasma darah selama latihan prolonged.
Beberapa kemungkinan terjadi untuk evaluasi efek-efek latihan terhadap fungsi endokrin dan kontrol metabolik hormonal. Kemungkinan-kemungkinan tersebut mungkin penting dalam menjawab pertanyaan terkait dengan adaptasi metabolik dalam latihan.  
  
MsoN� <5lsx� hp� t-align:justify;text-indent:27.0pt;line-height: 150%;tab-stops:27.0pt'>Metode asesmen terhadap metabolik dewasa ini sudah banyak dilakukan dalam fisiologi olahraga namun terbatas implementasinya di lapangan. Pada umumnya metode atau teknik masih sulit diterapkan di lapangan dan hanya untuk dilakukan di laboratorium atau untuk studi klinik. Hal utama yang membatasi penggunaan metode atau teknik asesmen tersebut adalah teknik sampling, seperti biopsi otot. Teknik biopsi otot banyak digunakan namun karena menggunakan jarum maka kurang praktis untuk digunakan di lapangan olahraga. Pada sampling studi reseptor hormon, teknik biopsi sulit digunakan karena memerlukan sampel dalam jumlah yang besar. Studi pada beberapa jaringan lain, seperti hepatik dan adiposa hanya dapat digunakan di laboratorium untuk studi klinik. Namun kombinasi teknik tersebut dengan teknik lain, seperti penggunaan isotop radioaktif memberikan banyak informasi atau data yang dapat diakses sehingga menjadi lebih akurat. Disamping harus memilih metode atau teknik yang tepat, peneliti juga harus memilih metabolit dan jaringan yang akan dimonitor. Penentuan metabolit merujuk pada perubahan yang terjadi akibat dari latihan. Adapun jaringan akan merujuk pada jaringan yang aktif bekerja untuk mengetahui apa yang terjadi di jaringan tersebut. Untuk itu diperlukan pengetahuan yang memadai untuk memahami jalur-jalur metabolik. 

1 komentar:

  1. Adenylate kinase (EC 2.7.4.3) (also known as ADK or myokinase) is a phosphotransferase enzyme that catalyzes the interconversion of adenine nucleotides, and plays an important role in cellular energy homeostasis. myokinase

    BalasHapus