Jumat, 03 Januari 2014

Mohamad Habibi/FIK/UNESA HORMON SEBAGAI ALAT MONITORING LATIHAN


HORMON SEBAGAI ALAT MONITORING LATIHAN


Pendahuluan
Setiap hormone memiliki fungsi tertentu dalam mengontrol metabolic. Fungsi hormone tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh level atau kadarnya melainkan dipengaruhi oleh banyak factor antara lain: kondisi reseptor hormone tersebut, hormone lain dan regulator metabolic lainnya. Setiap hormone dalam melaksanakan fungsinya memiliki pola tertentu sehingga untuk mengetahui secara detail suatu hormone tidak cukup hanya dengan mengenali efeknya tetapi juga pola kerjanya, khususnya dalam merespon latihan. Akibatnya diperlukan sikronisasi informasi untuk mendapatkan informasi yang lengkap. Kajian ini akan mengulas tentang penggunaan hormone sebagai alat untuk memonitor latihan. Tentu saja yang diulas adalah hormone-hormon yang terlibat selama latihan.

Sistem Sympathoadrenal
Sistem ini merupakan bagian dari system saraf otonom, pusatnya terletak pada hipotalamus yang mengatur aktivitas struktur saraf symphatetic yang lebih rendah dengan mengirim muatan saraf ke berbagai jaringan termasuk adrenal medulla. Respon adrenal medulla adalah pembebasan epinefrin dan norepinefrin dari granul endoplasmic sel-sel edrenomedula. Karena kedua katekolamin tersebut disimpan dalam granule dalam jumlah yang cukup maka sekresinya cepat sehingga kadarnya dalam darah cepat meningkat pada saat latihan dimulai. Di lain pihak ujung saraf symphatetik yang tersambung ke pembulu darah juga menghasilkan norepinefrin yang berperan sebagai neurotransmitter (mediator) dalam synapsis. Akibatnya, jumlah norepinefrin lebih besar daripada dari adrenal medulla sehingga level norepinefrin lebih besar daripada epinefrin.
Dalam otak norepinefrin berperan sebagai neurotransmitter neuron-neuron adrenergic. Latihan dapat menyebabkan perubahan kadar norepinefrin otak. Kedua hormone tersebut diproduksi melalui jalur yang sama melibatkan beberapa senyawa intermedit. Sebagian dari norepinefrin yang dihasilkan dari adrenal medulla dilepas ke dalam darah dan sebagian lainnay dimetilasi menjadi epinefrin.

Katekolamin Pada Kontrol Metabolik
Efek metabolic dan fungsional epinefrin dan norepinefrin serupa tapi tidak sama. Sebagai control metabolic, epinefrin lebih kuat, namun pada aksi vasomotor, norepinefrin lebih dominan. Penyebabnya adalah reseptor-reseptor kedua hormone sebagai mediasi efek. Norepinefrin menggiatkan terutama reseptor-a tapi juga menggiatkan reseptor-b. Epinefrin menggiatkan kedua reseptor secara seimbang. Akibatnya efek relative kedua hormone tersebut terhadap organ tergantung pada distribusi reseptor-reseptor dalam membrane sel jaringan. Epinefrin yang lebih besar efeknya terhadap reseptor-b maka dampaknya lebih besar untuk memacu jantung daripada norepinefrin, namun pada saat yang sama epinefrin lemah efeknya pada konstriksi pembulu darah pada otot dibandingkan dengan norepinefrin yang pengaruhnya melalui reseptor-a lebih kuat mempengaruhi konstriksi pembulu darah. Itulah sebabnya norepinefrin lebih besar meningkatkan tekanan darah arterial daripada epinefrin tapi dapat memacu jantung. Pada kebanyakan metabolic, efek epinefrin lebih besar efeknya 5-10 kali daripada norepinefrin. 
Dalam control metabolic prosesnya relative lebih kompleks. Mekanisme inhibitor adrenergic-a2 memodulasi lipolisis pada saat istrahat sebaliknya maknisme stimulasi adrenergik-b1 lebih dominant selama latihan. Dengan memblok reseptor-b akan menghambat aksi epinefrin terhadap glikogenolisis otot sedangkan blockade reseptor-a mengurangi pengambilan oksigen sehingga menggurangi efek epinefrin untuk meningkatkan glikogenolisis.

Sistem Simpatoadrenal Selama Latihan   
Keterlibatan otot-otot skeletal pada awal latihan dipengaruhi oleh perintah pusat motorik kepada spinal neuron motorik (spinal cord) melalui jalur pyramid dan melibatkan dengan cepat mengaktifkan system  simpatoadrenal. Colateral dari jalur perintah pusat motorik mengaktifkan pusat system syaraf otonom dalam hipotalamus. Keterlibatan system syaraf otonom tersebut sudah banyak dibuktikan dengan studi, seperti: Scheurink et. al. (1990) yang menyimpulkan bahwa hipotalamus a- dan b-adrenoreseptor terlibat dalam mengontrol peningkatan konsentrasi epinefrin dan norepinefrin  darah dan DiCarlo et. al. (1996) yang mendemonstrasikan peningkatan yang signifikan aktivitas syaraf simpatik lumbar. Studi lain dilakukan oleh Macdonald dan Coauthors (1983) yang menemukan peningkatan konsetrasi katekolamin pada tes ergometer anaerobik latihan pemanasan. 

1.      Intensitas Latihan
Jika durasi latihan sekurang-kurangnya 2 menit, respon katekolamin sangat tergantung pada intensitas latihan. Hal ini ditunjukkan oleh peningkatan konsentrasi norepinefrin dalam jumlah sedang setelah intensitas latihan meningkat dari 60% menjadi 79% VO2 maksimum. Sedangkan epinefrin kurang signifikan bahkan tidak tampak peningkatannya. Namun jika intensitas latihan melebih ambang nilai tersebut maka kedua katekolamin tersebut meningkat tajam sesuai dengan peningkatan intensitas latihan, seperti tampak latihan supramaksimal
Respon norepinefrin relatif sedang sedangkan epinefrin tidak signifikan ketika intensitas latihan kurang dari atau sama dengan intensitas pada ambang anaerobik individual. Pada kondisi tersebut konsentrasi laktat ”steady state”. Tapi jika intensitas latihan melebihi nilai ambang anaeorbik maka konsentrasi laktat, norepinefrin dan epinefrin meningkat terus sampai latihan berakhir.
  
2.      Durasi Latihan
Selama latihan aerobik berdurasi panjang terjadi peningkatan konsentrasi norepinefrin dan epinefrin secara bertahap. Namun pada latihan dengan durasi 3 jam, peningkatan level katekolamin tampak pada satu jam terakhir terutama epinefrin. Dengan kata lain peningkatan ketekolamin terjadi pada titik tercapainya kelelahan.

3.      Kekuatan (Strength) Latihan
Latihan strentgh menyebabkan respon katekolamin meskipun jumlah otot dan unit-unit motorik yang terlibat sedikit. Pada handgrip  dengan 30% maximal voluntary strength sudah tampa pada menit pertama.


4.      Efek Latihan Terhadap Respon Katekolamin Selama Latihan
Pada latihan submaksimal diketahui, respon katekolamin kurang signifikan. Namun pada latihan supramaksimal terjadi peningkatan konsentrasi ketekolamin dalam darah yang signifikan. Pada latihan yang menginduksi peningkatan konsentrasi katekolamin sudah banyak dipelajari. Pada lari jarak menengah, konsentrasi epinefrin dan norepinefrin menjadi lebih besar setelah lari melelahkan.

Faktor-faktor Modulasi
1)      Strain emosional merupakan faktor yang sangat efektif mengaktifkan respon sympathoadereal. Konsentrasi katekolamin sudah meningkat sebelum sebuah tes latihan atau sebelum lomba lari maraton. Konsentrasi epinefrin dan norepinefrin sangat tinggi pada individu yang gampang cemas.
2)      Level glukosa, pemberian glukosa mengurangi respon epinefrin dan norepinefrin. Jika konsentrasi glukosa tinggi maka kadar katekolamin tersebut menurun.
3)      Hypoksia akut (14% O2 udara yang terhirup), konsetrasi norepinefrin meningkat signifikan pada saat workload namun tidak pada yang normoxia. Namun pada ambilan 100% O2 konsentrasi katekolamin lebih rendah selama latihan dibandingkan pada normoxia.
4)      Selama berenang dalam air panas (33o C) ditemukan konsetrasi epinefrin dan norepinefrin lebih tinggi daripada dengan berenang pada air dengan suhu netral (27 oC).
5)      Posisi upright meningkatakan konsentrasi norepinefrin darah daripada jika pada posisi supine.

Sistem Pituitari-Adrenokortikal
Sistem pituitari-adrenokortikal terdiri dari kortikotropes yang berlokasi di lobe anterior kelenjar pituitary (adenohipofisis) dan mensekresi kortikotropin atau ACTH dan sel-sel zona fasikulat adrenal korteks yang menghasilkan glukokortikoid (kortisol dan kortikosteron). Dalam jumlah kecil, glukokortikoit juga diproduksi oleh zona retikularis lapisan dalam sel-sel glukokortikal. Kortikotropin mengontrol perkembangan korteks adrenal terutama zona fasikulate dan menstimulasi produksi glukokortikoit. Glukokotikoid tidak disimpan dalam kelenjar adrenal dan laju sekresinya berkaitan dengan laju biosintesis stimulasinya dikontrol dengan bantuan penghambatan feedback dari kadarnya dalam darah.
Sekresi kortikotropin distimulasi oleh kortikoliberin atau corticotropin-releasing factor (CRF). Namun hasil studi juga menemukan bahwa kortikotropin juga distimulasi oleh vasopresin atau pengaruh langsung saraf-saraf simpatik.
Dalam darah kortikotropin terikat pada protein plasma terutama cortisol-binding globulin dan sedikit pada albumin. Hormon glukokortikoid yang paling aktif adalah kortisol, yaitu sekitar 95% dari keseluruhan aktivitas glukokortikoid. Sedangkan kortikosteron kurang aktif dan hanya berperan sekitar 4 - 5%.

Glukokortikoids
Kortisol memiliki spektrum yang luas sehingga mempengaruhi kontrol beberapa jalur metabolik. Kortisol sering disebut hormon stress atau hormon adaptasi karena levelnya dalam darah meningkat tajam pada berbagai jenis situasi stress, seperti: pengaruh lingkungan, strain emosi, latihan, trauma, infeksi, racun, intoksikasi, hampir semua penyakit yang membuat lemah.
Kortisol memberikan efek setelah terikat pada reseptor spesifik sitoplasma, yaitu kompleks steroid-reseptor. Efek metabolik utama kortisol adalah menginduksi sintesis protein enzim, dan lainnya sebagai berikut:
1)      Menstimulasi glukoneogenesis di hati dengan cara menginduksi enzim yang terlibat dalam proses tersebut dan mobilisasi asam amino dari jaringan ekstrahepatik terutama otot.
2)      Menstimulasi siklus glukosa-alanin, kortisol merupakan induktor alanin-aminotransferase yang mengkatalisis formasi alanin dalam otot skeletal dan deaminasi alanin dalam hati.
3)      Menurunkan penggunaan glukosa sel. Kortisol menurunkan laju  penggunaan glukosa oleh sel dengan mengatur masuknya glukosa ke dalam sel dan degradasinya.
4)      Mereduksi simpanan protein sel, kecuali protein hati. Penurunan tersebut terjadi karena reduksi sintesis protein dan meningkatnya degradasi protein
5)      Meningkatkan pool asam amino bebas, kortisol menekan transportasi asam amino ke dalam sel dan jaringan ekstrahepatik lain. Tapi, kortisol katabolisme protein berlanjut sehingga transportasi asam amino dari jaringan nonhepatik meningkat.
6)      Menstimulasi erythropoiesis, laju sekresi yang tinggi dikaitkan dengan meningkatnya jumlah sel-sel darah merah.
7)      Mempengaruhi perilaku, mengubah mood, mengubah stimulus sensory dalam mendeteksi dan mengenali, mengubah kebiasaan tidur, dan lainnya.
8)      Memberi efek anti-enflamasi, Kortisol menghambat proses inflamasi dan menghindari kerusakan akibat inflamasi, menyebabkan involution  membran lisosomaln, menurunkan permeabiltias kapiler dan mengurangi migrasi leukosit ke dalam area inflamasi.
9)      Mempengaruhi imun, kortisol menyebabkan involusi  jaringan lymphoid termasuk nodes dan tymusnya terkait dengan penghambatan transportasi glukosa.

Sistem Pituitari-Adrenokortikal Selama Latihan
  Sistem pituitari-adrenokortikal cepat diaktivasi pada saat latihan dimulai. Respons kortikotropin dipicu oleh muatan saraf colateral dari perintah motorik yang dikirim melalui jalur piramid dari korteks motorik menuju motoneuron spinal. Pada level hipotalamus, muatan kolateral mengaktivasi sel-sel neurosecretory menghasilkan kortikoliberin yang kemudian mencapai sistem portal pembulu darah menuju kelenjar pituitari yang menstimulasi produksi dan pembebasan kortikotropin. Kortikotropin mencapai korteks adrenal melalui jalur sirkulasi dan meningkatkan laju sintesis glukokortikoid.
Peningkatan level kortisol darah menyusul meningkatnya onset kortikotropin dengan interval waktu kurang dari 1 menit. Pada intensitas latihan prolonged mendekati ambang anaerobik, konsentrasi kortisol menurun karena menurunnya level kortikotropin. Meskipun demikian selama 1 jam kedua latihan, level kortikotropin dan kortisol meningkat dan bersifat stabil dan tampak lebih jelas pada atlet yang latihan endurans daripada mereka yang tidak terlatih atau atlet nonendurans, seperti pada lari maraton.      

Determinan Respon Kortikotrpin dan Kortisol
1)      Respon kortikotropin dan kortisol tergantung pada intensitas yang mendekati ambang anaerobik, namun ada kemungkinan bahwa pada intensitas tinggi latihan anaerobik respon kortisol ditekan karena tingginya kadar hidrogen yang menghambat fungsi adrenokortikal. Pada latihan short-term, latihan berintensitas tinggi respon kortisol darah meningkat sesuai durasi latihan. Kejadian serupa juga ditemukan pada latihan strength dan latihan power short-term
2)      Pada latihan submaksimal, efek-efek latihan tertentu dikurangi respon kortikotropin dan kortisol karena meningkatnya ambang intensitas yang diukur pada output power.
3)      Latihan meningkatkan kapasitas korteks adrenal untuk memproduksi glukokortikoid melalui induksi adrenal hipertropi dan tambahan dari struktur selular yang memproduksi glukokortikoid.

Faktor Modulator
Efek determinan utama respon hormon (intensitas latihan, durasi dan adaptasi terhadap latihan) dimodulasi oleh beberapa kondisi atau disebut modulator.
  1. Emosi, efek strain emosi terhadap aktivitas adrenokortikal selama latihan ditandai dari perubahan antisipator dalam sekresi 17-hidroksikortikoid sebelum kompetisi dan meningkatnya level glukokortikoid darah. Pengaruh emosi, latihan di bawah ambang dapat menyebabkan aktivasi adrenokortikal.
2.  Ketersediaan karbohidrat, Mekanisme glukostatis juga mengontrol aktivitas mekanisme pituitary-adrenokortikal. Penambahan glukosa mencegah respon glukokortikoid selama latihan. Hiperglikemia sebelum latihan dikaitkan dengan penurunan konsentrasi kortisol pada saar 15 menit latihan namun selanjutnya konsentrasi kortisol meningkat. Pemecahan glikogen sebelumnya meningkatkan konsentrasi kortisol darah pada latihan endurans 80% VO2 maks. Demikian dengan puasa meningkatkan level kortisol. Tapi pada latihan prolonged, efek hambatan dari pemberian glukosa tidak tampak.
3.  Kondisi lingkungan, kondisi hipoksi latihan dibawah ambang dapat meningkatkan level kortisol darah. Selama latihan renang pada suhu yang berbeda, konsetrasi kortisol meningkat hanya pada 33 oC. Latihan dengan intensitas moderat prolonged pada suhu panas, lingkungan lembab dikaitkan dengan peningkatan temperatur tubuh level kortisol darah. Setelah minum suatu cairan, peningkatan temperatur rektal menurun dan respon kortisol ditemukan tidak signifikan.
4.  Massa otot, Latihan selama 30 menit peningkatan level kortisol plasma dan laktat darah dan denyut jantung berkurang sangat signifikan ketika menggunakan kedua kaki daripada ketika menggunakan 1 kaki. Pada latihan 1 kaki, output power per satuan volume otot-otot kaki lebih besar daripada latihan dengan 2 kaki.
5.  fatig, faktor fatig sebagai modulator respon hormonal selama latihan masih kontrovesial. Dari beberapa studi baik yang dilakukan pada tahun 1950an, 1960an dan 1970an masih ditemukan bahwa kondisi fatig dikaitkan dengan rendahnya level kortisol selama latihan meskipun sebagian studi menemukan kenaikan level kortisol darah, seperti pada akhir atau finis lomba lari maraton.. Namun pada penelitian tahun 1990an ditemukan peningkatan level kortisol darah pada lomba ski yang dikaitkan dengan level kortikotropin, tetapi dari 3 hari pengambilan sampel setelah ski tidak ditemukan peningkatan respon kortisol.
6.  Ritme biologi, Perbedaan respon hormonal ditemukan pada 70% VO2 maks. Yang dilakukan oleh perempuan selama periode fellicular (hari 3 sampai 9), siklus tengah (hari 10 sampai 16) dan periode luteal (hari 18 sampai 26) dari siklus mensturasi ovarian. Respon kortisol serupa antara fase fellicular dan fase luteal selama 30 menit latihan. Peerbedaan terjadi pada setengah dari latihan 90 menit pada sebuah ergometer sepeda pada 63% VO2 maks. selama fase midluteal (hari 20 sampai 23), level kortisol darah lebih besar dengan signifikan daripada fase midfollicular (hari 6 sampai 9).

Kortisol dan Kontrol Metabolik Selama Latihan
Perubahan metabolik selama latihan berubah tidak hanya karena kurangnya respon hormonal tapi juga level disorder metabolik yang sudah ada sebelumnya. Selama lari yang melelahkan, pemecahan glikogen ditemukan dalam tubuh dan otot-otot anterior tibialis tikus ditekan oleh adrenalectomis. Signifikansi glukokortikoid untuk penggunaan glikogen dalam otot-otot kerangka dapat dijelaskan melalui aksi permisif glukokortikoid terhadap efek glikogenolitik epinefrin.         
Kontrol mobilisasi lipid, kontribusi glukokortikoid melalui pengaruh permisifnya terhadap aksi lipolitik epinefrin dan hormon pertumbuhan (GH). Adrenalectomy secara signifikan menurun dengan meningkatnya level asam lemak bebas plasma selama latihan. Kortisol dikenal melalui aksi kataboliknya. Selama latihan efek glukokortikoid (menekan sintesis protein, menambah pembebasan asam amino, meningkatkan laju degradasi protein otot, lymphoid, dan jaringan penghubung, meningkatkan aktivitas protease myofibrillar otot, dan membebaskan 3-metihistidin ke jaringan otot) merupakan hal pokok, yang tampak pada kontrol polifaktor. Perlu dipertimbangkan bahwa aktivitas otot menekan efek protektif melawan aksi katabolik glukokortikoid pada jaringan otot.
Peningkatan level glukokortikoid darah menghasilkan stimulus untuk peningkatan produksi alanin. Efek ini dan pengaruh kortisol terhadap glukoneogenesis membuat hormon ini penting untuk menentuan laju siklus glukosa-alanin. Aksi kortisol terhadap matabolisme alanin diaktualisasi melalu induksi alanin aminotransferase.
Jadi hormon-hormon aderenal memiliki sebuah peran penting untuk sintesis urea selama latihan. Glukokortikoid juga penting untuk eliminasi urea pada periode recovery setelah latihan.
Selama latihan, glukokortikoid tampak berkontribusi terhadap kontrol fungsi pompa Na+ K+ terhadap membran plasma jantung dan serat-serat otot. Ada 2 kemungkinan untuk interpretasi aksi glukokortikoid terhadap pompa Na+ K+, Pertama, glukokortikoid memberikan efek permisif terhadap aktivasi fungsi pompa Na+ K+ melalui epinefrin. Kemungkinan kedua adalah terdiri dari sintesis Na+ K+ ATPase oleh glukokortikoid yang kemudian bertanggung jawab terhadap perubahan aktivitas enzim selama latihan prolonged.

Kesalahpahaman Fungsi Kortisol
Fungsi kortisol hanya dipahami dalam menstimulasi proses metabolik sehingga kortisol dievaluasi dengan tidak benar. Kesalahpahaman berikutnya adalah latihan mengurangi respon kortisol untuk menghindari disadaptasi induksi kortisol. Kesalahpamahaman tersebut kontradiksi dengan hasil studi-studi fisiologi dan biokimia sebelumnya. Kortisol berkontribusi terhadap kontrol metabolik sehingga hormon esensial untuk kapasitas kerja dan performan yang baik.
Hormon-hormon Pankreas
Pulau langerhans pangkreas mensekresi dua hormon utama, yaitu insulin dan glukagon disamping beberapa hormon gastroenteropankreatik. Insulin dan glukagon merupakan regulator metabolisme yang penting baik pada saat latihan maupun sesudah latihan. Itulah sebabnya latihan yang menimbulkan perubahan terhadap level insulin dan glukagon memberikan informasi kontrol metabolisme karbohidrat, lipid dan protein.

Insulin
Fungsi utama insulin untuk menyimpan kelebihan substansi energi. Pada kondisi dimana tubuh memerlukan banyak energi, sekresi insulin ditekan, seperti pada saat puasa dan latihan. Sebaliknya kelebihan karbohidrat dalam makanan menstimulasi pembebasan insulin. Waktu paruh insulin dalam darah sekitar 6 menit dan masa tinggalnya dalam darah sekitar 10 hingga 15 menit setelah sekresinya. Insulin terikat pada jaringan target dengan reseptor protein pada membran sel. Sisanya akan didegradasi di hati dan dibuang melalui ginjal.
Membran sel-sel otot, jaringan adiposa dan sel lainnya menjadi lebih permeabel terhadap glukosa setelah insulin terikat pada reseptor protein membran. Insulin mempengaruhi aktivitas beberapa enzim intraselular terutama untuk enzim-enzim yang terlibat dalam fosforilasi selama 10 – 15 menit.

1.      Efek Metabolik Insulin
Efek kontrol metabolik insulin dapat diuraikan sebagai berikut:
a.         Meningkatkan permeabilitas membran otot sehingga glukosa lebih cepat masuk ke dalam serat otot dan jaringan otot . Selama latihan glukosa tetap masuk ke dalam serat otot meskipun leve insulin rendah karena pembebasan sejumlah protein khusus selama otot berkontraksi, yaitu: GLUT1, GLUT2, GLUT3, GLUT4, dan GLUT5 yang mempromosikan transportasi glukosa ke dalam serat otot.
b.        Menyimpan glikogen dalam otot. Setelah makan insulin mempromosikan transportasi banyak glukosa ke dalam sel-sel otot. Hal yang sama juga terjadi pada periode recovery setelah latihan meskipun tanpa pasokan glukosa dari luar. Insulin menstimualsi pembentukan glikogen otot dari glukosa.
c.         Mempromosikan hati mengambil, menyimpan dan menggunakan glukosa. Setelah makan, glukosa terabsorbsi disimpan langsung ke dalam hati dalam bentuk glikogen. Ketika makanan sudah tidak tersedia dan glukosa darah mulai menurun, glikgen hati didegradasi kembali menjadi glukosa.
d.        Mengubah karbohidrat menjadi lipid. Ketika jumlah glukosa yang masuk ke dalam sel hati melebihi daya tampung hati maka insulin mempromosikan konversi kelebihan glukosa menjadi asam lemak bebas dalam hati. Demikian pula halnya yang terjadi di jaringan adiposa.
e.         Menghambat lipolisis. Insulin menghambat aktivitas hormon-sensitif lipase meskipun insulin pada level normal. Pada level insulin yang rendah, hormon-sensitif lipase menjadi sangat kuat diaktifkan. Akibatnya, terjadi pembebasan asam lemak bebas dan gliserol dalam darah menyusul meningkatnya hidrolisis triasil gliserol.
f.         Mempromosikan sintesis protein dan menghambat degradasinya. Insulin menstimulasi transport aktif  banyak asam amino (valin, leusin, isoleusin, tirosin, dan fenilalanin) masuk ke dalam sel. Insulin memiliki efek langsung terhadap ribosom, meningkatkan laju translasi mRNA dan laju transkripsi gen DNA terpilih dalam inti meningkatkan jumlah RNA. Insulin menghambat katabolisme protein sehingga menurunkan pembebasan asam amino dari sel terutama dari sel otot. Selama latihan, level insulin yang rendah memungkinkan terjadinya siklus glukosa-alanin meningkatkan laju pembebasan alanin dari otot dan keluarnya glukosa dari hati.
g.        Insulin penting untuk pertumbuhan. Pertama, insulin penting untuk pertumbuhan karena menstimulasi dan mendukung transportasi asam amino ke dalam sel dan mempromosikan proses translasi sintesis protein. Kedua, penting karena meningkatnya karbohidrat dan penggunaan insulin memberikan efek sparing protein.
   Level glukosa darah merupakan faktor yang sangat penting mengontrolo sekresi insulin. Konsentrasi insulin plasma meningkat hingga 10 kali lipat dalam 3 hingga 5 menit sesudah kenaikan akut level glukosa darah. Beberapa asam amino, terutama arginin dan lisin menstimulasi sekresi insulin. Asam amino memiliki efek moderat dan waktunya singkat jika kosentrasi glukosa darah konstan. Beberapa hormon seperti glukagon, GH, kortisol dan progesteron dan estrogen juga mampu menstimulasi sekresi insulin secara langsung atau memberikan potensi pada pemicu sekresi insulin.
Sekresi insulin dikontrol oleh pengaruh antagonis sistem syaraf otonom, stimulasi saraf parasimpatik, dan saraf simpatetik yang menghambat sekresi.
  
2.      Insulin Selama Latihan
Sekresi insulin berkurang ketika merespon latihan kecuali pada latihan supramaksimal dalam waktu pendek yang menyebabkan peningkatan transient hiperglikemia. Latihan mengurangi atau mengeliminasi insulin pada latihan submaksimal. Latihan menghambat tambahan sekresi insulin setelah pemberian glukosa. Meskipun demikian, pemberian glukosa selama latihan menghindari menurunkan konsentrasi insulin darah atau bahkan menggantinya dengan menaikkan level insulin. Makanan yang kaya lemak atau puasa meningkatkan reduksi level insulin selama latihan.
Hipoksia meningkatkan respon insulin darah terhadap latihan. Insulin memegan peran penting dalam mengontrol metabolik selama latihan. Efek insulin penting adalah menjaga euglikemia dan mengatur output glukosa hati dan lipolisis di jaringan adiposa. Menjaga euglikemia dilakukan seimbang dengan glukagon dan hormon-hormon lain. Latihan endurans dapat meningkatan sensitivitas terhadap insulin.

Glukagon
Sel-sel a pulau langerhans mensekresi glukagon. Aktivasi adenil siklase dalam membran sel hati menyebabkan formasi cAMP dan penguatan efek cAMP oleh glukagon juga dimungkinkan. Namun glukagon gagal mengaktivasi adenil siklase jaringan otot. Akibatnya, glukagon tidak dapat mengontrol glikogenolisis dalam sel-sel otot. Pada jaringan adiposa, glukagon menstimulasi hormon-sensitif lipase.

1.        Efek Metabolik
Efek metabolik glukagon dapat diuraikan sebagai berikut:
a.   Menstimulasi glikogenolisis hati sehingga dapat meningkatkan sekresi insulin dan konsetrasi glukosa darah.
b.  Menstimulasi glukoneogenesis dalam hati dengan meningkatkan ekstraksi asam-asam amino dari darah melalui hati. Glukagon memberikan peningkatan ketersediaan asam-asam amino untuk dikonversi menjadi glukosa.
c.   Menstimulasi lipolisis pada jaringan adiposa dengan cara menghambat penyimpanan trigliserida dalam hati, mencegah ekstraksi asam-asam lemak dari darah melalui hati.
Level glukosa darah merupakan faktor paling utama dalam mengontrol sekresi glukagon. Jika level glukosa darah rendah hingga mencapai level hipoglikemia konsentrasi glukagon meningkat beberapa kali lipat. Hiperglikemia menurunkan level glukagon plasma. Setelah konsumsi makanan berprotein tinggi, kosentrasi asam amino terutama alanin dan arginin menstimulasi pembebasan glukagon dari pankreas menuju sirkulasi. Saraf simpatetik juga menstimulasi fungsi sel-sel a pulau langerhans yang dapat menstimulasi sekresi glukagon.
   
2.      Glukagon Selama Latihan
Latihan prolonged dapat meningkatkan kadar glukagon darah hingga 4 kali lipat. Sekresi glukagon tampaknya tidak dipicu oleh hipogikemik melainkan karena peningkatan konsentrasi asam amino darah dan stimulasi saraf simpatetik. Latihan prolonged respon glukagon tampak setelah periode panjang, yaitu sekitar jam kedua latihan pada intensitas 30% hingga 50% VO2 maks. Pada latihan short-term respon glukagon hanya pada intensitas tinggi. Makanan yang kaya lemak atau berpuasa meningkatkan respon glukagon darah selama latihan daripada makanan yang kaya karbohidrat. Peningkatan glukagon mungkin dimodulasi oleh suhu lingkungan atau tekanan atmosfir meskipun hasil-hasil studi belum menunjukkan hasil yang konsisten.
Aktualisasi 3 efek metabolik utama glukagon (output glukosa hati tambahan, kenaikan laju gelikogenolisis dan kenaikan laju lipolisis) dan menjaga euglikemia selama latihan. Semua efek tersebut tidak hanya tergantung pada glukagon melainkan pada perbandingan glukagon dan insulin.

Somatostatin
Hormon peptida ini diproduksi oleh sel-sel δ pulau langerhans dan juga diproduksi oleh sel-sel neurosekretory hipotalamik. Sel-sel ini mencapai kelenjar pituitari melalui portal pembulu darah dan menghambat pembebasan GH. Sekresi somatostatin distimulasi oleh meningkatnya glukosa darah, asam-asam amino dan asam-asam lemak dalam darah. Meningkatnya konsentrasi hormon gastrointestinal dari jalur gastrointestinal untuk merespon pengambilan makanan meningkatkan pembebasan somatostatin. Jadi konsumsi makanan merupakan faktor yang menstimulasi sekresi somatostatin pankreas.
Somatostatin menghambat sekresi insulin dan glukagon, menurunkan motilitas lambung, usus dan gallbladder. Fungsi utama somatostatin adalah untuk memberikan waktu lebih ketika makanan diasimilasi dalam darah. Dengan menekan sekresi insulin dan glukagon, somatostatin juga menurunkan penggunaan nutrien terserap oleh jaringan. Akibatnya, makanan tersedia lebih lama dalam darah. Selama latihan somatostatin meningkat secara bertahap namun cukup signifikan menekan sekresi insulin selama latihan.

Hormon Pertumbuhan dan faktor-faktor Pertumbuhan
Jaringan tubuh memproduksi faktor-faktor pertumbuhan disamping sebagai bagian dari aksi GH, GH juga penting untuk adaptasi aktivitas otot. Namun dapat tidaknya Gh sebagai alat monitoring latihan masih harus didiskusikan.

Hormon Pertumbuhan (GH)
Disekresi dari lobe anterior kelenjar pituitary. GH menstimulasi pembebasan somatoliberin yang diproduksi oleh sel-sel neurosekretory hipotalamus. Somatostatin hipotalamus menghambat sekresi GH melalui kelenjar pituitari. Fungsi utama GH untuk pertumbuhan hampir semua jaringan tubuh sehingga dapat berkembang. GH mempromosikan peningkatan ukuran sel, menambah mitosis dengan meningkatkan jumlah sel dan membedakan sel-sel pertumbuhan tulang dan sel-sel otot.

Kontrol Metabolik GH
a. Meningkatkan transportasi asam amino melalui membran sel
b.Meningkatkan translasi mRNA untuk mempromosikan sintensis protein oleh ribosom
c. Meningkatkan transkripsi inti DNA membentuk RNA.
d.      Mengurangi degradasi protein dan asam amino. Dengan cara ini GH bertindak sebagai sebuah poten “sparer protein”.
Efek GH dalam mempromosikan pertumbuhan memerlukan insulin karena tanpa insulin GH gagal memicu pertumbuhan. Namun kontribusi GH dalam mengontrol metabolisme protein hanya menjadi bagian efek metabolik GH sebagai berikut: (1) menstimulasi lipolisis, (2) menurunkan penggunaan glukosa untuk oksidasi dengan memblokir pemecahan glikolitik glukosa dan glikogen, (3) meningkatkan deposisi glikogen dalam sel, (4) meningkatkan konsentrasi glukosa darah, dan (5) meningkatkan sekresi insulin akibat meningkatnya glukosa darah.
Banyak efek GH diaktualisasi oleh somatomedin yang diproduksi terutama dalam hati, memberikan efek terhadap pertumbuhan tulang. Somatomedin sering disebut faktor GH jaringan. Somatomedin yang paling penting adalah somatomedin-C yang mempromosikan transportasi glukosa melalui membran sel sehingga sering disebut ”insulin-like growth factor” (IGF-I).
Sekresi GH dipicu oleh puasa, hipoglikemia, level rendah asam lemak bebas darah, latihan, strain emosi, dan trauma. Sekresi GH juga meningkat selama 2 jam pertama tidur nyenyak.  Sekresi GH dikontrol oleh hipotalamik somatoliberin dan somatostatin.

GH Selama Latihan
GH merespon latihan yang dilakukan dalam waktu lama. Respon GH ditandai oleh peningkatan level GH darah yang terus menerus selama latihan namun pada sejumlah kasus terjadi penurunan level GH pada jam ke-2 latihan. Pada latihan submaksimal juga terjadi peningkatan level GH namun pada latihan intensif short-term tidak terjadi peningkatan level GH.
Pada latihan submaksimal, peningkatan level GH tegantung pada intensitas latihan. Ambang intensitas untuk respon GH adalah 60% dan 80% VO2 maks. Semua ambang mendekati ambang anaerobic ditentukan oleh peningkatan asam laktat darah. Jika latihan anaerobic supramaksimal dan latihan anaerobic submaksimal prolonged dibandingkan maka durasi latihan merupakan factor penentu besaran respon GH daripada intensitas. Meskipun demikian intensitas latihan intensif anaerobic seperti pada latihan interval atau latihan supramaksimal yang diulang sangat kuat menstimulasi pembebasan GH. Latihan strength dan latihan power ditemukan meningkatkan level GH.
Pengambilan glukosa atau karbohidrat tinggi dalam diet menekan respon GH. Sebaliknya, dengan karbohidrat yang rendah, diet kaya lemak atau berpuasa meningkatkan respon GH. Faktor hipoksia juga diketahui dapat meningkatkan respon GH. Suhu rendah menekan respon GH dan suhu tinggi memicu respon GH. Selama periode recovery GH memberikan efek yang penting termasuk mengontrol penggunaan glukosa dan lipolisis.

Somatomedin Selama Latihan
GH menyebabkan pembetukan hormone somatomedin (factor GH) di hati terutama somatomedin-C yang disebut juga insulin-like growth factor I. Somatomedin-C mempromosikan transport glukosa  memlalui membrane sel. Pada adaptasi terhadap otot, somatomedin-C berkontribusi dalam pembentukan hipertrophi otot. Latihan dengan beban berat dapat menstimulasi pembentukan somatomedin-C dalam jumlah yang cukup yang ditandai dengan kenaikan levelnya dalam darah. Latihan intensif short-term tidak mengubah level somatomedin-C darah.

Leptin
Meski menjadi perdebatan statusnya sebagai hormone atau bukan karena tidka diproduksi dalam kelenjar endokrin tapi karena lokasi aksinya tidak di jaringan melainkan di otak maka memungkinkan disebut “hormone.” Level leptin sebanding dengan jumlah lemak tubuh. Leptin berperan sebagai sinyal ke otak yang mengakibatkan respons hormomal maupun neuronal untuk mengurangi asupan makanan. Berkurangnya level leptin menstimulasi pengambilan makanan dan meningkatkan penyimpanan makanan tubuh. Kemungkinan leptin turun levelnya setelah latihan namun pengukuran leptin sebagai monitoring latihan dikaitkan dengan pengambilan makanan.

Hormon-hormon Tyroid
Fungsi kelenjar tiroid dikontrol oleh tirotropin pituitary melalui system pituitary-tiroid yang distimulasi oleh tyroliberin (thyrotropin releasing hormone) yang disekresi oleh sel-sel neurosekretory hipotalamus. Tyroid melepaskan 3 jenis hormone, yaitu: (1) tiroksin, (2) triiodotironin, dan (3) kalsitonin. Kecuali kalsitonin, biosintesis tiroid terdiri dari iodinasi tirosin. Jadi kekuarang iodine pada makanan atau minuman menganggu sintesis hormone tersebut.
Efek metabolic utama hormone-hormon tiroid diinduksi oleh triiodotironin. Kalsitonin berperan penting dalam mengontrol metabolisme kalsium. Karena afinitasnya yang tinggi terhadap protein plasma, maka tiroksin lambat mencapai sel, sehingga waktu tinggal tiroksin sekitar 6 hari sedangkan triiodotironin 1 hari. Itulah sebabnya efek metabolic tiroksin penting pada periode recovery setelah latihan. Jadi tidak mungkin berperan selama latihan. Namun hormone-hormon tiroid penting untuk adaptasi jangka panjang dari pompa ionic dalam membrane sel.

Hormon-Hormon Pengatur Ketimbangan Air dan Elektrolit
Vasopresin berperan untuk mempertahankan jumlah normal air dalam tubuh dan volume darah. Aldosteron dan faktor natriuretik atrial mengontrol konsetrasi normal natrium dan kalium pada cairan ekstraselular. Level kalsium plasma darah dipertahankan oleh pengaruh yang berlawanan dari paratohormon dan kalsitonin.
Epinefrin mengaktifkan pompoa ionik Na+, K+ sebaliknya hormon tiroid berkontribusi pada adaptasi long-term pompa ionik tersebut. Kekurangan glukokortikoid dikaitkan dengan peningkatan natrium dan air intraselular .

Vasopresin
Inti-inti supraoptik sel-sel tubuh merupakan tempat sintesis vasopresin. Vasopresin berperan memberikan efek antidiuretik dan efek vasokonstriktor. Efek pertama adalah menstimulasi reabsorbsi air renal tubules sehingga kehilangan air melalui urin dapat dikurangi. Vasokonstrictor mempertahankan tekanan darah meskipun volume darah menurun. Sekresi vasopresin dikontrol oleh osmoreseptor melalui tekanan osmotik plasma darah. Jumlah tekanan osmotik sebanding dengan konsentrasi zat terlarut molekul atau ion.
Selama latihan, terutama pada latihan prolonged, level vasopresin dalam darah meningkat dan sebanding dengan intensitas latihan. Respon vasopresin berkaitan dengan dehidrasi dan perubahan osmolalitas. Intensitas latihan mempengaruhi vasopresin tidak langsung dari neural pada inti-inti supraoptik tapi melalui perubahan osmolalitas yang berkaitan dengan peningkatan laju perspirasi sesuai intensitas latihan.

Sistem Aldosteron dan Renin-Angiotensin
Fungsi utama aldosteron  untuk mengontrol reabsorbsi natrium tubular dan sekresi kalium ginjal. Aldosteron menstimulasi reabsorbsi natrium ginjal sehingga levelnya dalam plasma darah relatif stabil. Retensi natrium tersebut menimbulkan absorpsi osmotik yang hampir ekivalen dengan dengan jumlah air dari renal tubules ke dalam plasma. Jadi aldosteron meningkatkan volume cairan ekstraselular yang pada akhirnya meningkatkan tekana arterial darah.
Secara bersamaan, retensi natrium aldosteron meningkatkan eskresi kalium melalui urin sehingga mencegah peningkatan konsentrasi kalium ekstraselular. Tingginya level aldosteron dalam jangka yang panjang menyebabkan kehilangan berlebih ion-ion kalium dari bagian ekstraselular . Ketika konsentrasi ion kalium turun di bawal level setengah dari normal, beberapa kelelahan otot berkembang karena gangguan transmisi potensial aksi dalam memberan-membran serat otot.
Aldosteron menyebabkan sekresi hidrogen dalam pertukaran dengan reabsorbsi natrium dalam renal tubules. Karena sekresi hidrogen di renal jauh lebih kecil maka aldosteron tidak banyak berperan dalam mencegah asidosis pada latihan anaerobik. Efek aldosteron hampir sama dengan efek kelenjar keringat terhadap renal tubules sehingga keringat hipotonik dibandingkan dengan plasma darah.
Sekresi aldosteron dikontrol oleh konsentrasi ion-ion kalium dan natrium di ekstraselular, sistem renin-angiotensin dan kortikotropin. Yang paling dominan adalah konsetrasi kalium dan sistem renin-angiotensin.
Latihan menghasilkan peningkatan level aldosteron darah. Latihan prolonged menunjukkan respon aldosteron. Latihan anaerobik short-term dapat menyebabkan tingginya konsentrasi aldosteron. Latihan yang menginduksi aldosteron menyebabkan meningkatnya aldosteron dalam darah diikuti oleh naiknya aktivitas renin plasma dan level angiotensin II. Ketika latihan dalam kondisi hipksia, aktivitas plasma renin meningkat dengan meningkatnya beban kerja tapi tidak pada normoksia. Aktivitas renin plasma meningkat secara bersamaan dengan konsetrasi norepinefrin dan epinefrin serta laktat yang semuanya merupakan respon terhadap intensitas latihan. Beberapa pengaruh lain berperan mengontrol sistem renin-angiotensin selama latihan.

Peptida Natriuretik Atrial
Peptida natriuretik atrial  adalah sebuah peptida regulator yang disimpan dalam granul sitoplasmik dalam atria hati. Gagal hati dikaitkan dengan peningkatan berlebih tekanan atrial yang disertai dengan peningkatan 5 – 10 kali lipat ANP. ANP dapat meningkatkan natriuresis yang pada akhirnya meningkatkan sekresi air renal. ANP berkontribusi terhadap pengaturan tekanan darah dan relaksasi vascular otot-otot halus. Peptida menghambat biosintesis aldosteron dan membebaskan renin. Jadi peptida berlawanan dengan sistem angiotensin-aldosteron.
Selama latihan level ANP dalam darah meningkat hingga lebih dari 3 kali lipat level basal. Natrium meningkatkan respon ANP tapi menekan renin plasma dan respon aldosteron terhadap latihan.
Pada suhu panas respon ANPterhadap latihan tidak signifikan walaupun level aldosteron, kortisol dan renin darah meningkat. Hidrasi kembali mengembalikan volume plasma, menurunkan respon ANP terhadap latihan seperti halnya vasopresin, kortikotropin dan kortisol.
Latihan yang ditingkatkan secara bertahap menyebabkan peningkatan level ANP dan aldosteron serta aktivitas renin plasma. Pada kondisi normal level ANP dan aldosteron meningkat selama latihan meskipun aksi-aksi mereka terhadap natrium dan ekskresi air berawanan.

Kalsitonin dan Parathormon
Level kalsium dalam cairan ekstraselular dikotnrol oleh aksi yang saling berlawanan kalsitonin dan parathormon. Ketika konsentrasi kalsium dalam cairan ekstraselular turun, sekresi hormon parathormon meningkat dan sekresi kalsitonin menurun sebagai efek langsung dari level kalsium terhadap kelenjar parathyroid dan terhadap sel-sel tiroid yang menghasilkan kalsitonin.  Sebaliknya ketika konsentrasi kalsium meningkat dalam plasma darah langsung menghambat sekresi parathormon dan menstimulasi pembebasan kalsitonin. Parathoromon menstimulasi pembebasan kalsium dari tulang ke dalam cairan ekstraselular. Sebaliknya kalsitonin memicu deposisi kalsium dalam tulang dan menurunkan konsetrasi kalsium dalam cairan ekstraselular.
Latihan meningkatkan level ion kalsium yang dikaitkan dengan meningkatnya level kalsitonin dan menurunnya level parathormon. Perubahan konsetrasi hormon-hormon tersebut yang teramati mengekspresikan respon homeostatis terhadap meningkatnya level kalsium. Efek latihan terhadap level parathormon sudah banyak dipelajari namun hasilnya masih kontroversial.

Hormon-hormon Seks
Penggunaan testosteron untuk memonitor latihan tidak cukup untuk meyakini signifikansi positif testosteron untuk kekuatan otot karena masih harus mengetahui keseluruhan fungsi testosteron dalam kontrol metabolik, parameter waktu aksi testosteron dan pola testosteron selama latihan. Pada hormon seks perempuan kurang diperhatikan meskipun levelnya berubah secara signifikan selama siklus mensturasi.

Sistem Pituitari-Testicular
Sistem ini terdiri dari hormon-hormon gonadotropik (gonadotropin), lutotropin (luteinizing hormone/LH) dan follilotropin (FSH) yang disekresi oleh lobe anterior kelenjar pituitari dan testosteron oleh testes.
Disamping fungsinya dalam perilaku seksual dan pengembangan karakteristik seks pria, testosteron berkontribusi dalam mengontrol metabolik. Hampir semua efek metabolik hormon ini dihasilkan dari peningkatan laju sintesis protein sel-sel target. Berikut aksi-aksi testosteron:
1.      Aksi anabolik, karena dianggap menstimulasi sintesis protein terutama dalam otot dan jaringan yang merupakan lebih dari separuh massa tubuh. Efek testosteron menjamin perkembangan tubuh pria dari fase akhir puber dan ditandai dengan peningkatan musculatur melebihi wanita. Jadi pria remaja memamerkan sebuah perkembangan kekuatan otot dan output power otot secara intensif.
2.      Efek terhadap pertumbuhan tulang dan retensi kalsium. Testosteron meningkatkan jumlah total matriks tulang dan menyebabkan retensi kalsium yang diyakini sebagai akibat fungsi anabolik protein dari testosteron yang berkombinasi dengan deposisi garam-garam kalsium. Jadi setelah masa puber, tulang berkembang dari ketebalan dan deposit garam-garam kalsium. Selain itu, testosteron berefek terhadap pelfis yang menyempitkan oulet pelfis, memanjangkannya dan menyebabkan bentuk sebuah funnellike dan meningkatkan kekuatan pelfis dalam.
3.      Efek lain, Selama masa remaja dan awal dewasa, testosteron meningkatkan metabolisme basal sekitar 5% hingga 10%. Testosteron mampu meningkatkan laju eritropoiesis.
Diduga bahwa testosteron mempengaruhi fungsi saraf. Ekspresi tersebut merupakan perilaku agresif yang mekanismenya masih sedikit diketahui.

Efek Latihan Dari Hormon Seks Pria
Latihan dengan intensitas 100% VO2 maks meningkatkan konsentrasi testosteron. Peningkatan tersebut bervariasi antara satu individu dengan individu lainnya, yaitu dari 1% hingga 24% namun rata-rata naik 13%. Lutropin ditemukan tidak mengalami perubahan. Peningkatan level testosteron tersebut disebabkan oleh berkurangnya volume plasma. Setelah latihan baik testosteron maupun lutropin levelnya turun dengan nilai nadir antara 60 dan 180 menit sesudah latihan. Karena latihan menginduksi peningkatan konsentrasi  corticoliberin plasma yang menekan sekresi lutropin. Tidak ada perubahan konsentrasi follitropin.
Latihan anaerobik yang kuat seperti lari 3 x 300 m menghasilkan peningkatan konsentrasi testosteron dan lutropin. Latihan strenuous jumping short-term meningkatkan konsentrasi testosteron sekitar 12%. Tapi latihan prolonged konsentrasi testosteron justru menurun. Penurunan level testosteron juga ditemukan setelah sebuah lomba maraton dalam kombinasi dengan perubahan level lutropin.
Latihan dengan beban berat (heavy-resistance) meningkatkan respon testosteron. Konsentrasi testosteron yang tinggi ditemukan setelah sesi latihan heavy-resistance pada mereka yang terlatih kekuatannya.
Respon testosteron tergantung pada faktor psikologi. Pada bersepeda dengan intensitas 80% VO2 maks. peningkatan testosteron berkurang pada orang yang sangat cemas daripada orang kurang kecemasannya meskipun level lutropinnya lebih tinggi pada laki-laki yang mudah cemas.
Latihan endurans menghasilkan penurunan basal testosteron, meskipun demikian pada atlet yang terlatih yang melakukan latihan treadmill tambahan ditemukan mengalami peningkatan.
Efek metabolik testosteron dimediasi oleh reseptor sitoplasma yang efeknya timbul setelah 1 jam atau lebih. Jadi tidak mungkin meyakini bahwa testosteron memiliki efek terhadap performan selama latihan intensif short-term power acyclic atau latihan kekuatan. Diduga bahwa testosteron berperan terhadap pergerakan kalsium seperti halnya aksi permisif glukokortikoid. Jadi saran terbaik adalah aksi prakondisi level awal testosteron  terhadap performan neuromuscular apparatus. Praondisi long-term testosteron dapat mempengaruhi perkembangan  pembentukan serat fast-twitch fibers. Jadi respon testosteron selama sesi latihan dan pola testosteron pada akhir latihan atau recovery sangat penting untuk efek latihan heavy-resistance terhadap otot skeletal.

Sistem Pituitari-Ovarian
Sistem ovarian terdiri dari hormon-hormon 2 pituitari (lutropin dan follitropin) dan 2 ovarian (estrogen dan progestin). Dalam darah, estrogen terdapat dalam 3 fraksi, yaitu: b-estradiol, estrone dan estriol. Potensi estrogenik b-estradiol 12 kali lebih besar daripada estrone da 80 kali lebih besar daripada estriol sehingga mayoritas estrogen adalah b-estradiol. Progestin yang penting adalah progesteron sedangkan lainnya, seperti: 17a-hidroksiprogesteron dalam jumlah kecil. Dalam jumlah kecil hormon estrogen dan progesteron disekresi dari adrenal korteks ke dalam sirkulasi darah dari biosintesis adrenokortikal steroid. Itulah sebabnya pada laki-laki juga memiliki hormon-hormon tersebut namun dalam jumlah yang kecil. Karena progesteron disekresi terutama pada fase luteal, maka dalam fase follicular progesteron dalam darah berasal dari adrenal korteks. Selama kehamilan dalam jumlah besar progesteron disekresi oleh plasenta.
Estrogen dihasilkan oleh sel-sel dinding follicle. Fungsi bersama dari follitropin dan lutropin menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan folikel dan sekresi estrogen ke dalam folikel. Pada wanita dengan kondisi normal, siklusnya 28 hari, 14 hari sesudah onset mensturasi, ovulasi terjadi. Sebelum ovulasi level lutropin meningkat mencapai puncaknya menjelang 16 jam lebih awal. Demikian pula halnya level follitropin.

Estrogen dan Progesteron
Fungsi utama estrogen untuk proliferasi selular dan pertumbuhan jaringan daro organ seksual dan organ reproduksi lain. Estrogen bertanggungjawab  untuk inisiasi pengembangan kelenjar payudara dan deposisi lemak ke dalam payudara. Estrogen dihasilkan dari peningkatan aktivitas osteblastik. Defisiensi estrogen setelah menopause mengurangi aktivitas osteoblastik pada tulang, berkurangnya matriks tulang dan menurunnya deposisi kalsium tulang dan fosfat. Estrogen meningkatkan laju metabolisme basal 3 kali lipat lebih rendah dari testosteron. Efek metaboliknya juga mendeposisi lemak ke dalam jaringan subkutan.
Fungsi yang terpenting dari progesteron adalah untuk memicu perubahan sekresi endometrium uterin sesudah ovulasi untuk persiapan uterus pada implantasi ovum yang difertilisasi. Progesteron dan prolaktin juga menyebabkan penentu pertumbuhan dan pengatur fungsi kelenjar payudara.

Hormon-hormon Seks Wanita Selama Latihan
  Latihan yang menginduksi perubahan b-estradiol dan progesteron seperti lutropin dan follitropin berubah-ubah karena level mula-mula hormon-hormon tersebut tergantung pada fase-fase siklus mensturasi. Jadi perubahan yang ditimbulkan oleh latihan juga melibatkan fase-fase siklus mensturasi.
Konsentrasi b-estradiol dan progesteron darah meningkat pada fase luteal pada wanita yang berlari selama 20 menit pada 60% hingga 65% atau 80% hingga 95% VO2 maks. Namun pada fase follicular tidak terjadi perubahan yang signifikan. b-estradiol diketahui merespon hanya pada intensitas latihan yang paling tinggi dalam fase folliular. Diketahui pula bahwa respon b-estradiol, progesteron dan lutropin meningkat dengan durasi latihan lebih dari 40 menit. Respon b-estradiol dan progesteron lebih tampak pada fase luteal sedangkan respon lutropin lebih tampak pada fase follicular. Meskipun demikian peningkatan level lutropin, b-estradiol, kortisol dan androstenedione dan dehidroepiandrosteron ditemukan pada wanita terlatih dan tidak terlatih pada awal fase follicular.
Interpretasi hasil-hasil studi,  Pertama, perbedaan intensitas dan durasi latihan mungkin bervariasi selama fase follicular dan fase luteal. Kedua, pada fase follicular respon estrogen tergantung pada tingkat pertumbuhan dan perkembangan folikel, respon progesteron mungkin hanya terjadi pada progesteron yang dibebaskan dari adrenal korteks.
Selama latihan kenaikan level prolaktin sudah sering diamati pada pria dan wanita meskipun tampak masih berubah-ubah responnya. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa selama latihan perubahan hormon-hormon seks wanita merupakan kebutuhan untuk mempertahankan homeostatik pada aktivitas reproduksi dimana banyak energi digunakan karena aktivitas otot. Pada atlet wanita, signifikan testosteron untuk adaptasi otot terjadi. Dehidroepiandrosteron yang dihasilkan oleh adrenal konteks dapat diubah menjadi testosteron sehingga testosteron masih dijumpai pada darah wanita. Rendahnya jumlah testosteron pada wanita tersebut dikopensasi dengan estrogen-dependen meningkatkan sensitivitas otot-jaringan terhadap aksi testosteron.

Peptida-peptida Opioid Endogen (EOPs)
EOPs merupakan senyawa mirip morfin tapi diproduksi dalam tubuh. Mereka merupakan hasil penguraian tiga molekul protein besar, yaitu: pro-opiomelanocortin, proenkephalin, dan prodynorphin.  pro-opiomelanocortin merupakan precursor untuk kortikotropin, melanocyte-stimulating hormone, b-lipotropin, dan b-endorphin. b-endorphin merupakan EOPs yang paling penting ditemukan dalam CNS (central nervous system). Kontribusi b-endorphin pada regulasi tekanan darah, persepsi sakit dan termoregulasi melalui neuron-neuron dalam medial eminence hipotalamus, midbrain dan bagian rostal medula oblongata.
Produk-produk penting hasil penguraian proenkephalins adalah leu-enkephalin dan met-enkephalin yang banyak ditemukan dalam hipotalamus, struktur sistem limbic otak, basal ganglions, sensori korteks otak dan struktur sistem analgesia otak termasuk dorsal horn spinal cord. Enkephalin tampak pada terminal saraf di sekitar tractus solitarius nukleus, nukleus dorsal vagal, dan ambiguous nukleus.  Daerah ini dilibatkan dalam kontrol sirkulasi otonom. Opioids terlibat dalam mengurangi sensitivitas sakit, perilaku emosional, pengambilan makanan, regulasi glikstatik, termoregulasi, kontrol cardiovascular dan fungsi respirasi, dan regulasi aktivitas imun. Kebanyakan EOPs berfungsi sebagai neurotransmiter pada ujung saraf neuron opioidergik yang berlokasi baik pada terminal presynaptik axon atau pada soma neuron dan dendrites.
Situasi stres otak dan periferal EOPs sangat aktif. Jelasnya, efek  modulasi otak dan sirkulasi EOPs adalah penting untuk adaptasi yang efektif. Efek sentral dari EOPs terhadap struktur otak membantu seseorang bertahan terhadap kesulitan/kesedihan.

Efek-efek Latihan Terhadap Subsistem EOP Periferal
Dari beberapa hasil studi yang telah dilakukan dapat dikatakan bahwa latihan dapat meningkatkan level EOPs. Lari pada treadmill dengan laju yang ditingkatkan sampai dengan level VO2 maks menyebabkan peningkatan level b-endorphin plasma yang bersamaan dengan meningkatnya level kortikotropin plasma. Demikian pula halnya pada latihan heavy-resistance dan lari sprint.
b-endorphin dimetabolisme menjadi g- dan a-endorphin. Pada orang terlatih, 2 jam bersepeda menyebabkan b-endorphin meningkat levelnya bersamaan dengan meningkatnya level g- dan a-endorphin. Perubahan ini tidak ditemukan pada orang yang tidak terlatih. Level g- dan a-endorphin secara signifikan lebih tinggi daripada orang yang terlatih baik sebelum maupun selama latihan. Singkatnya, latihan mempengaruhi metabolisme endorphin.

Efek-efek latihan Terhadap Subsistem EOP Otak
EOPs memodulasi transmisi impuls-impuls sakit, mempengaruhi perilaku dan respon mood, dan berkontribusi terhadap pengaturan berbagai fungsi. Penelitian terhadap respon EOPs otak banyak dilakukan pada tikus.

Penutup
Latihan intensif dan prolonged cukup dapat menimbulkan perubahan fungsi-fungsi sistem endokrin. Banyak hormon yang sudah dicatat mengalami perubahan level dan pada umumnya mengekspresikan aktivasi mekanisme adaptasi umum untuk memobilisasi bahan-bahan energi tubuh dan mengatur aktivitas imun dan pertahanan lainnya. Meningkatnya aktivitas sistem simpatho-adrenal merupakan alat utama untuk mobilisasi bahan-bahan energi yang didukung dan dikontrol oleh keseimbangan  aksi kortisol insulin, glukagon dan GH. Peran utama kortisol diseimbangkan oleh testosteron dan insulin. Aktivasi EOPs endogen disinkronisasi dengan peningkatan aktivitas sistem pituitari-adrenocortikal memberikan kemungkinan modulasi neuronal dan respon hormonal tapi utamanya untuk perubahan mood yang memicu performan dari berbagai upaya dan menolong untuk menahan berbagai hal yang tidak menyenangkan. Fungsi lain dari respon hormonal adala untuk menjaga regulasi homeostatik. Beberapa hormon berfungsi pada masa recovery. Respon-respon homonal terhadap latihan memberikan peluang secara komprehensif untuk digunakan dalam memonitor latihan, terutaa untuk analisis perubaha metabolik tubuh atlet.     


           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar