Jumat, 03 Januari 2014

Mohamad Habibi/FIK/UNESA INDEKS HEMATOLOGI DAN IMUNOLOGI DAN KESETIMBANGAN AIR-ELEKTROLIT


INDEKS HEMATOLOGI DAN IMUNOLOGI DAN KESETIMBANGAN AIR-ELEKTROLIT


Darah adalah sebuah bagian penting internal tubuh. Mempelajari darah sangat fisible untuk mendapatkan informasi aliran metabolit dari jaringan-jaringan dan substrat-substrat penting tentang kelelahan. Fungsinya sebagai pengankut oksigen penting untuk adaptasi aktivitas otot. Mempelajari darah memberikan peluang untuk mengkarakterisasi efektivitas  regulasi homeostatis untuk menjaga parameter-parameter lingkungan internal tubuh, seperti temperatur, kadar ion dan air, tekanan osmotik,pH, tekanan parsial oksigen dan level glukosa. Performan latihan tergantung pada kondisi regulasi homestatis tersebut. Pada bagian ini akan dibahas peluang menggunakan parameter darah dalam monitoring latihan, terutama yang berkaitan dengan aktivitas imu melalui studi imunologi termasuk adaptasinya terhadap aktivitas otot yang dikaitkan dengan performan dan kesehatan atlet, serta regulasi keseimbangan air dan elektrolit selama latihan.

Indeks Hematologi
Adaptasi terhadap aktivitas otot berkaitan dengan perubahan volume total darah dan plasma yang penting untuk peningkatan performan. Pada saat yang sama perubahan volume plasma mempengaruhi konsentrasi konstituen darah sehingga efek dari metabolit, substrat dan hormon mengalami modifikasi. Latihan memicu perubahan sel-sel darah  dan distribusi berbagai tipe sel. Studi tentang sel darah putih (leukosit) memberikan informasi tentang aktivitas imun sedangkan studi sel-sel darah (eritrosit) mencirikan peningkatn fungsi transport oksigen darah. Eritrosit mengandung hemoglobin, yaitu protein pengikat oksigen yang terdiri atas zat besi dan protein sehingga adaptasi terhadap latihan endurans berkaitan dengan metabolisme besi.
Pada studi latihan, analisis indeks hematologi sudah termasuk protein plasma, sistem bufer, antioksidan darah dan masuknya enzim dari jaringan otot ke dalam plasma darah. Enzim-enzim otot dalam plasma darah diduga berkaitan dengan gangguan membran serat otot.

Volume Darah
Volume darah pada orang dewasa normal sekitar 5 L atau sekitar 6% massa tubuh. Rata sekitar 3 L (25 – 45 mL/L. Kg  BB) adalah plasma dan 2 L sisanya adalah sel-sel darah (kebanyakan eritrosit). Nilai-nilai ini bervariasi antara satu individu dengan lainnya tergantung pada jenis kelamin, berat, efek latihan dan kondisi lainnya. Rasio antara plasma dengan eristrosit sering disebut nilai hematokrit.
Pada pembulu-pembulu kapiler, arteriolis dan pembulu kecil lainnya, nilai hematokrit darah lebih kecil daripada pada pembulu arteri dan vena yang besar. Hal ini karena eritrosit tidak dapat mengalir dengan dinding pembulu tipis seperti halnya dalam plasma.
Pengukuran volume darah ditentukan dengan diluting sel-sel darah merah yang dilabel dengan radioaktif, seperti Cr51 yang terikat sangat kuat dengan eritrosit dalam sirkulasinya. Dengan cara ini kita dapat menghitung volume total darah menggunakan prinsip dilution setelah membiarkan hingga sel-sel berlabel diinjeksi terdistribusi merata dalam sirkulasi.
Pengukuran volume plasma dilakukan dengan memberika label protein plasma, seperti 131I-protein dan mengukur dilution mereka setelah injeks ke dalam darah. Kemungkinan lain adalah sebuah injeksi sebuah dye vital (biasanya T-1824 yang disebut Evan’s blue) yang menyerang kuat protein plasma dan berdifusi  ke dalam plasma dalam jumlah kecil masuk ke dalam interstitium. Ketika volume plasma diketahui, volume total darah dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

                                     Volume plasma  x 100
Volume darah  = 1  - 
                                       hematokrit    

Alternatif lain adalah dengan menentukan massa hemoglobin dan volume darah.

Sel-sel Darah
Bagian tempat pembentukan sel-sel darah adlaah bone marrow. Dalam sirkulasi darah, semua sel dihasilkan dari sel-sel stem hemopoietik pluripotential (PHSC) bone marrow. Proses reproduksi sel ini berlangsung seumur hidup Jalur yang berbeda terjadi pada produksi eritrosit, leukosit-granulosit (neutrofil, eosinofil, dan basofil) dan monosit, megakaryosit dan limfosit.

Eritrosit
Fungsi utama eritrosit adalah untuk mengangkut pembawa oksigen hemoglobin. Dalam kapiler daerah alveoli paru, hemoglobin mengikat oksigen membentuk oksihemoglobin sebagai bentuk pengangkutan oksigen dalam darah arteri. Pada kondisi tersebut tekanan O2 dalam jaringan perifer menjadi lebih rendah dan oksigen terdisosiasi atau dibebaskan untuk digunakan oleh sel-sel. Dalam eritrosit 2,3-difosfogliserat (terdapat dalam konsentrasi yang tinggi) mengatur pembebasan oksigen dari oksihemoglobin dengan mengurangi afinitas Hb terhadap O2.
Eritrosit mengandung dalam jumlah besar kabonik anhidrase yang mengkatalisis reaksi antara CO2 dengan air. Akibatnya, karbondioksida diangkut dari jaringan menuju paru-paru dalam bentuk bikarbonat. Hb juga berfungsi sebagai bufer asam-basa. Eritrosit banyak bertanggungjawab terhadap kapasitas bufer dalam darah.
Setiap gram HB dapat mengikat 1,39 ml oksigen sehingga pada pria sedentary sekitar 21 ml oksigen dapat diangkut dalam setiap ml darah. Dan wanita normal sekitar 19 ml oksigen. Massa total eritrosit dikontrol dengan cermat dan dijaga pada level konstan dalam rentang yang sempit pada setiap orang. Oksigenasi jaringan adalah penentu utama mekanisme homeostatis dengan EPO sebagai alat utama pengontrolnya. Penurunan kadar oksigen jaringan menstimulasi produksi EPO dalam ginjal (80 – 90%) dan hati (10 – 20%). Produksi intensif EPO akan terus berlanjut selama stimulus hipoksi ada.
Sintesis Hb berkaitan dengan metabolisme besi. Dalam darah, kombinasi besi dengan apotransferrin (b-globulin) membetu transferrin. Proses tersebut merupakan bentuk pengangkutan zat besi yang berlangsung dalam jaringan yang terhubung dengan globulin. Dalam sitoplasma hepatosit, besi bergabung apoferritin membentuk ferritin sebagai tempat penyimpanan besi yang juga ditemukan dalam darah.
Transferrin mencapai bone marrow dan berikatan dengan reseptor pada membran sel eritrosit yang kemudian diikuti dengan pembebasan besi. Dalam mitokondria, besi tersebut digunakan untuk membentuk molekul heme yang selanjutnya, molekul heme berikatan dengan rantai polipeptida (sebuah globulin yang disintesis oleh ribosom membentuk subunit hemoglobin. Empat subunit bergabung membentuk sebuah molekul hemoglobin. Dalam sirkulasi, waktu hidup eritrosit sekitar 120 hari.
Ketika eritrosit pecah, Hb dibebaskan terikat pada protein pembawa haptoglobin yang beberapa diantaranya kemudian diurai menghasilkan globin dan heme. Heme kamudian terikat pada protein pembawa lain hemopeksin. Kompleks hemoglobin-haptoglobin dan heme-hemopeksin dibersihkan dari sirkulasi oleh hari dan dikatabolisme oleh sel-sel parensimal hepatik. Besi diangkut ke dalam plasma dan terikat pada transferrin. Transferrin pembawa besi ke dalam sel-sel bone marrow untuk sintesis heme dan selanjutnya besi disimpan dalam bentuk heme atau ferritin.

Leukosit
Leukosit  tersusun dari sebuah unit mobil sistem pertahan tubuh yang diangkut ke bagian yang mengalami inflamasi serius dan melindunginya dari agen-agen infeksi. Sekitar 50-70% leukosit adalah polymorphonuclear neutrophils, 0-3% polymorphonuclear eosinophils, 0-1% polymorphonuclear basophils, 1-10% monosits dan 20-40% limfosits. Neutrophil, eosinofil dan basofil tampak seperti granul sehingga disebut granulosits. Granulosit dan monosits memakan organisme asing (fagositosis). polymorphonuclearLimfosit kadang-kadang muncul sebagai sel-sel plasma terkait dengan sistem imun.
Jumlah leukosit darah pada orang dewasa rata-rata 7000 sel/µl darah dengan rentang 4000 – 9000 sel/ µ . Megakaryosit juga termasuk dalam kelompok sel-sel darah putih. Fragmennya dalam darah disebut platelets atau trombosit yang kelimpahannya sekitar 150.000-300.000 platelets/µl. Trombosit signifikan dalam formasi clots dalam pembuluh darah.

Efek Latihan terhadap Volume Darah dan Sel
Dalam monitoring latihan, perhatian dipusatkan pada latihan akut dan efek latihan terhadap volume darah, eritrosit, leukosit, hemoglobin dan metabolisme besi yang berubah karena perubahan adaptif esensial, sebuah konsekuensi berbahaya yang mungkin terjadi yang disebut sports anemia.    

1.      Volume Plasma
Sejak tahun 1930an telah diketahui bahwa volume plasma berkurang selama latihan. Latihan 30-60 detik mungkin efektif untuk mengurangi volume plasma. Latihan anaerobik short-term dapat mengurangi volume plasma sekitar 15-20%. Sesuai dengan onset latihan, konsentrasi hemo meningkat akibat ekstravasation plasma. Kondisi ini memicu naiknya tekanan darah rata-rata yang mengakibatkan peningkatan tekanan kapiler akibat kenaikan laju aliran filtrasi fluida. Jika tekanan tekana venus pada akhir kapiler melebihi tekanan osmotik, laju reabsorpsi fluida lebih rendah daripada laju filtrasinya. Hal ini terjadi karena dampak dari akumulasi metabolit pada metabolisme anaerob. Di lain pihak, peningkatan tekanan fluida intramuscular selama aksi kontraksi otot terjadi dalam arah sebaliknya. Pada latihan prolonged, kehilangan fluida melalui perpirasi juga menjadi sebuah faktor yang berpengaruh terhadap volume plasma. Meskipun demikian ketika total air tubuh berkurang selama latihan, level air plasma akan dipertahankan.
Selama latihan prolonged kehilangan plasma terus berlanjut. Kemungkinan yang terjadi fluida ekstravasation mengisi ruang ekstraselular yang kosong dan tekanan interstitial mulai menahan keluarnya fluida lebih lanjut dari pembuluh darah. Jelasnya, kesetimbangan terbentuk antara tekanan interstitial fluida dan tekanan intrakapiler.
Perubahan hematokrit tidak sepenuhnya mencerminkan perubahan volume plasma. Perubahan hematokrit selal lebih kecil daripada perubahan volume darah. Akibatnya, baik nilai hematokrit maupun konsentrasi protein tidak memberikan informasi yang valid terhadap latihan yang memicu perubahan volume plasma.
    
2.      Eritrosit
Sejak tahun 1920an dan 1930an ada sebuah pendapat populer bahwa latihan menyebabkan eritrositosis. Latihan yang keras, konsentrasi eritrosit yang bersirkulasi meningkat sekitar 25%.  Peningkatan sel-sel darah merah selama latihan mungkin disebabkan oleh pembebasan sel-sel yang disimpan dari bagian-bagian lain. Pembulu-pembulu dalam organ-organ dan jaringan dengan lajur alir darah yang rendah pada saat istrahat mungkin menyimpan sel-sel darah yang signifikan. Sejumlah sel-sel darah mungkin dikeluarkan dari bone marrow karena latihan meningkatkan laju sirkulasi. Alasan utama peningkatan eritrosit adalah naiknya konsentrasi protein plasma yaitu hemokonsetrasi selama latihan.
Beberapa studi juga menunjukkan bahwa massa eritrosit intravascular tidak berubah selama latihan yang mengindikasikan faktor utama yang menyebabkan meningkatnya konsetrasi eritrosit adalah berkurangnya volume plasma. Ditinjau dari peran EPO, sulit dipercaya bahwa produksi intensif sel-sel baru dapat berlangsung selama latihan yang kurang dari beberapa jam. Peningkatan aktivitas EPO telah ditemukan pada pemain ski dan pelari setelah even longlasting . Penentuan EPO dengan radioimmunological menunjukkan bahwa latihan selama 60 menit pada 60% VO2 maks dan sebuah tes latihan tambahan hingga tercapai kelelahan tidak memiliki efek langsung terhadap level EPO plasma baik dalam normoksia atau normobarik hipoksia. Namun 3 hari setelah latihan tersebut, peningkatan level EPO baru tampak pada hipoksia dan 24 jam sesudah latihan pada normoksia namun secara statistik tidak signifikan. Sesudah lomba maraton konsentrasi eritrosit meningkat langsung karena peningkatan hemokonsentrasi. Level Epo mulai meningkat 3 hari kemudian. Tiga puluh satu jam sesudah lari perubahan sangat mencolok. Jadi perubahan level EPO akibat latihan terjadi setelah beberapa jam sesudah latihan. Lambatnya respon EPO disebabkan faktor bebasnya immature reticulacytes dari bone marrow ke dalam  darah periferal dalam beberapa hari sesudah tipe-tipe latihan yang berbeda.
  
3.      Hemoglobin dan Metabolisme Besi
Langsung setelah perlombaan ultramaraton 56 – 160 km, sel darah merah dan level hemoglobin menigkat akibat hemokonsentrasi. Selama periode recovery sesudah perlombaan hemodilution terjadi yang paling besar pada 48 jam sesudah 160 km perlombaan.
Telah disebutkan bahwa ada kemungkinan fungsi Hb pengangkut oksigen didukung oleh 2,3-difosfogliserin yang memicu penguraian oksihemoglobin. Meskipun kemudian tidak dapat dikonfirmasi pada normoksia maupun hipoksia selama latihan pada 85% VO2 maks.  Hingga tercapai kelelahan.
Sesudah perlombaan ultramaraton, level ferritin serum naik yang tampak pada 6 hari setelah lomba. Namun setelah 8 hari sesudah lomba, level ferritin menurun. Beberapa studi juga menemukan bahwa haptoglobin berkurang sesudah sebuah single bout of prolonged running.
  
4.      Sports Anemia
Beberapa studi menemukan bahwa berlari mungkin menghasilkan tambahan Hb bebas dalam plasma. Fenomena ini merupakan tanda sports anemia, yaitu rendahnya level HB dalam total darah. Fenomen ini juga ditemukan sesudah berenang 10 km bersama dengan peningkatan sedang level haptoglobin. Tugas haptoglobin adalah mengikat Hb bebas untuk mencegah sekresinya melalui urin. Peristiwa bahkan ditemukan pada jenis latihan lain.
Studi longitudinal pada pelari dengan latihan intensif, pelari memiliki hematoglobin, hematokrit dan jumlah sel-sel darah merah yang lebih rendah. Ferritin tidak berubah selama periode ini namun setelah 3 minggu dan 4 hari sesudah kejuaraan tampak lebih rendah. Studi longitudinal lain mengkonfirmasikan bahwa level ferritin menurun hanya selama 6 bulan pertama pada pelari pria dan tidak berubah pada 12 – 14 bulan berikutnya. Pada pelari wanita selama tahap pertama latihan, level ferritin meningkat . Oleh karena penurunan ferritin tidak tampak pada semua pelari selama tahap-tahap latihan selanjutnya maka sport anemia bukan hal yang biasa terjadi pada semua pelari.
Studi pada pemain sepak bola kondang tidak tampak perbedaan level besi serum, kapasitas besi total serum, persentase transferin jenuh dan ferritin serum dibandingkan dengan orng kontrol tak terlatih. Namun level haptoglobin pada pemain sepak bola kondang lebih rendah levelnya daripada orang kontrol yang mengindikasikan adanya gangguan metabolisme besi pada pemain sepak bola kondang. Studi pada 39 atlet tim nasiona Polish menunjukkan bahwa konsetrasi hemoglobin, eritrosit, ferritin dan transferin lebih rendah pada atlet-atlet endurans dan retikulosit lebih tinggi daripada pada orang kontrol. Tidak adanya perubahan yang signifikan yang ditemukan pada atlet strength.
   
5.      Dampak Latihan terhadap Leukosit
Peningkatan leukosit yang mencolok telah diamati selama latihan sejak tahun 1920an. Fenomen ini sering disebut myogenik leukositosis. Pada tahap pertama, myogenik leukositosis ditemukan pada latihan intensif short-term atau latihan intensitas rendah prolonged. Peningkatan leukosit yang moderat terjadi pada linfosit. Tahap selanjutnya, ditandai dengan peningkatan total leukosit hingga 20.000 atua lebih per mililiter darah. Tahap kedua ditandai dengan peningkatan jumlah neutrofils yang disertai dengan penurunan jumlah limfosit dan eosinofil..
Pada akhir tahun 1930an dan 1940an perhatian fokus pada penignkatan limfopenia dan eosinopenia karena pemberian ekstrak adrenokortikal atau glukokortikoid sintetik. Jadi, limfopenia dan eosinopenia digunakan secara taik langsung sebagai indikator peningkatan aktivitas adrenokortikal selama latihan..
Selama latihan, konsentrasi platelet meningkat. Perubahan ini (myogenik trombositosis) bukan karena akibat hemokonsentrasi karena konsentrasi platelet menjadi dua kalinya. Peningkatan aktivitas fibrolitik darah tampak dalam kaitannya dengan intensitas dan durasi latihan. Meskipun aktivitas fibrolitik tinggi, hiperkoagulabilitas menyertai latihan yang keras. Ditunjukkan pula bahwa terjadi kesetimbangan antara koagulasi dan fibrinolisis selama latihan long-term.       

Efek-efek Latihan
Latihan meningkatkan volume plasma, khususnya pada latihan endurans. Akibatnya, konsentrasi Hb menurun. Hemodilution yang disebabkan oleh peningkatan volume plasma menghilangkan peningkatan aktual dari massa darah, sel-sel dan Hb. Jadi tidak benar bahwa keadaan fungsional atlet memburuj karena turunnya konsentrasi Hb. Bahan-bahan lain juga dalam plasma menurun konsentrasinya.
Selama latihan endurans lebih lanjut, konsetrasi sel darah merah meningkat. Namun peningkatan volume darah lebih menonjol daripada peningkatan volume eritrosit. Efek-fek latihan dapat digambarkan seb
Protein Plasma
Protein plasma bertanggungjawab terhadap beberapa tugas. Satu kelompok berperan sebagai fungsi transportasi. Mereka mengikat hormon, lipid dan senyawa mineral dimana sirkulasi mereka tanpa perubahan metabolisme. Setiap jenis protein memiliki kapasitas pengikatan tertentu. Protein plasma juga digunakan untuk pertahanan yang disebut imunoglobulin yang berperan sebagai antibodi bersirkulasi. Protein fibrinogen plasma adalah esensial untuk pembekuan darah. Protein plasma dan Hb dalam eritrosit berkontribusi terhadap sistem buffer. Beberapa peptida berkaitan dengan sistem antioksidan. Meskipun beberapa protein tidak dapat melalui membran kapiler, beberapa protein enzim diangkut dari liver, otot-otot kerangka atau sel-sel myocardium dapat ditemukan dalam plasma.
Jumlah total protein plasma mengandung tekanan osmotik koloid sebagai bagian dari tekanan osmotik plasma yang tergantung pada molekul protein terlarut dimana tidak larut dalam membran kapiler. Halangan untuk difusi protein pada kapiler menjadi alasan bahwa konsetrasi protein plasma sekitar 3 kali lipat yang protein fluida interstitial. Perbedaan tekanan osmotik menyebabkan fluida kembali ke bagian intravascular pada vena ujung kapiler. Jadi dibutuhkan sejumlah air untuk mempertahankan bagian intrasvascular.
Selama latihan hemokonsentrasi meningkat dalam peningkatan protein plasma. Berbagai jenis protein. Konsentrasi albumin meningkat hingga 12% di atas level istrahat selama 30 menit pertama namun pada 30 menit kedua terjadi penurunan. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan masing-msing protein berbeda-beda tergantung pada fungsinya masing-masing.
Sebuah studi menunjukkan bahwa (1) orang terlatih secara signifikan lebih tinggi massa protein intravascularnya daripada yang tidak terlatih, (2) Massa protein intravascular berkorelasi tinggi dengan volume plasma, dan (3) langsung setelah lari 32 km, konsentrasi protein plasma meningkat 11,9%, tekanan osmotik koloid naik 25,1% dan massa protein intravascular naik tapi tidak signifikan. Dari temuan tersebut disarankan bahwa massa protein intravascular relatif konstan sangat penting untuk meningkatkan tekanan osmotik koloid dan mendapatkan kembali volume intravascular sesudah latihan tanpa pengambilan fluida.
Enzim-enzim dan Protein Intraselular Lain dalam Plasma Darah
Dalam berbagai ondisi klinik, beberapa protein intraselular telah ditemukan dalam plasma darah. Protein tersebut kebanyakan berasal dari myocardial, hepatik, skeletomuscular dan juga jaringan otak. Telah diyakini bahwa pembebasan enzim dan protein dari berbagai jaringan ke dalam darah dikaitkan dengan gangguan membran selular sebagai hasil kondisi patologis. Protein-protein bebas mencapai linfa dari fluida interstitial.  Protein mengalir ke dalam sirkulasi darah atau sistem limfatik.
Protein dari otot dan jaringan lain juga ditemukan dalam serum darah selama berbagai jenis latihan, antara lain kreatin kinase dan isozimnya MM dan MB, laktat dehidrogenase, heksosa fosfat isomerase, aldolase, alaninaminotransferase, dan aspartat-aminotrasnferase, alkalin fosfatase, piruvat kinase dan myoglobin. Perubahan-perubahan enzim tersebut dalam serum tidak paralel. Pada kondisi tertentu ditemukan jenis protein tertentu dalam serum sedangkan jenis lain tidak tampak.
Protein yang paling menyita perhatian adalah kreatin kinase dalam serum selama latihan. Hal ini karena ada hubungan antara respon kreatin kinase dengan waktu rasa sakitnya otot, otot yang sakit, otot kaku dan kerusakan otot. Cedera serat-serat otot kerangka ditunjukkan dengan gangguan struktur myofilamen pada beberapa sarcomeres yang disertai dengan kehilangan protein intramuscular, seperti kreatin kinase. Ke dalam plasma yang menjadi indikator kerusakan sacolema, rasa sakit dan penurusan temporer kekuatan otot.
Respon kreatin kinase serum telah diamati sesudah latihan isometrik dan juga sesudah periode 24 jam speed driving. Beberapa studi mengkonfirmasi hubungan antara respon enzim-enzim serum dan penghambatan rasa sakit otot sesudah latihan, khususnya pada kontraksi otot eksentrik. Dua puluh empat jam sesudah latihan eksentrik, kosentrik dan isometrik respon kreatin kinase hampir sama. Namun latihan eksentrik membebaskan kreatin kinase lebih banyak dengan waktu delay yang lebih lama daripada latihan kosentrik dan isometrik. Sesudah latihan resistansi, kreatin kinase serum meningkat tapi kurang menonjo pada angkat besi tapi rasa sakit lebih menonjol daripada orang-orang yang tidak terlatih. Meskipun beban pada setiap latihan diatur pada 12 RM..
Untuk menjelaskan perbedaan dinamika aktivitas enzim serum dan rasa nyeri pada otot melalui tahap-tahap berikut: (1) latihan menginduksi kerusakan otot, (2) pengikatan enzim ke dalam aliran darah, dan (3) reaksi fisiologis terhadap kerusakan yang terjadi pada sensasi nyeri otot.
Ketika latihan yang sama diulang 2 minggi atau beberapa bulan terakhir, rasa nyeri berkurang dan tidak ada respon kreatin kinase yang tampak. Faktor penghilangan kreatin kinase sangat berperan sesudah sebuah pengulangan latihan. Ditemukan juga bahwa bed rest untuk 17 jam sesudah berlari cross country 8 km mengurangi respon kreatin kinase. Dijelaskan penyebabnya bed rest berpengaruh melalui penurunan transport limfatik kreatin kinase dan pembebasan enzim dari serat-serta otot.

Sistem Bufer Asam-Basa Darah
Aktivitas enzim tergantung pada pH kompartemen. Jadi satu tugas homestatis untuk menjaga pH cairan tubuh pada level yang relatif konstan. Sistem kontrol mencegah asidosis dan alkalosis melalui 3 mekanisme, yaitu: (1) Semua cairan tubuh disuplai dengan sistem bufer yang langsung berkombinasi dengan asam atau basa sehingga mencegah perubahan konsentrasi ion hidrogen secara berlebih, (2) Perubahan konsetrasi ion hidrogen darah mempengaruhi pusat respirasi yang pada akhirnya mengubah laju pernapasan, pembuangan CO2 dari cairan tubuh meningkat atau menurun dan konsentrasi ion hidrogen mulai kembali ke level normal, dan (3) Ginjal mengeluarkan baik asam atau basa ke dalam urin sehingga membantu menormalisasi konsentrasi ion hidrogen cairan tubuh.
Buffer utama tubuh adalah protein sel dan plasma karena konsetrasinya yang tinggi. Beberapa asam amino poterin memiliki asam-asam radikal bebas yang fapat mengalami disosiasi membentuk suatu basa ditambah H+ . Histidin adalah esensial untuk kapasitas bufer protein. Bufer lain yang penting adalah campuran asam karbonat dan sodium bikarbonat. Sistem bufer bikarbonat kurang kuat karena konsentrasi CO2 dan HCO3- tidak besar. Ssistem bufer ketiga adalah bufer fosfat yang terdiri dari H2PO4 dan HPO4-, H2PO4-, bereaksi dengan asam kuat menghasilkan NaH2PO4 dan garam.

Asesmen Efek latihan Terhadap Kapasitas Bufer Asam-Basa
Sejak tahun 1922, aparatus Van Slyke telah digunakan untuk asesmen kapasitas buffer yaitu dengan mengukur jumlah CO2 yang dibebaskan dari sebuah sampel darah sesudah menambahkan sebuah asam kuat (asam laktat, asam hidroklorida atau asam sulfat). Pada kondisi normal, jumlah CO2 yng dibebaskan sekitar 50 – 70 ml/ 100 ml plasma atau serum. Jumlah CO2 menyatakan secara kuantitatif alkali. Latihan intensif yang akut mengurangi jumlah CO­2­ yang dibebaskan irespek dengan pengurangan jumlah alkali akibat akumulasi asam laktat endogen.Efek training  dari penyediaan alkali tergantung pada sifat-sifat latihan yang digunakan.
Pada tahun 1960, sebuah metode penentuan pH, pCO2, kelebihan basa dan bikarbonat standar dalam darah kapiler dipublikasi. Aparatus disebut Micro-Astrup (Radiometer Copenhagen). Dipublikasikan juga monogram yang memungkinkan untuk mengestimasi beberapa parameter darah berkaitan kontrol pH.
Dengan menggunakan prinsip Micro-Astrup hubungan antara intensitas latihan dan penurunan bikarbonat standar (corresponding to 40 mmHg pCO2). Secara simultan terjadi peningkatan parabolik konsentrasi laktat. Kurang mencoloknya peningkatan pCO2 dalam darah vena yang sesuai dengan hubungan antara latihan yang memicu perubahan pH darah, laktat dan bikarbonat standar dan pCO2.
Untuk studi kapasitas bufer otot, sampel biopsi dihomogenasi, deproteinase dan dititer pada pH 6 dengan 0,01 N HCL per pergeseran pH per gram berat sampel basah. Hasilnya menunjukkan bahwa pelari 800m secara signifikan lebih tinggi kapasitas bufer ototnya daripada orang yang tidak terlatih atau pelari maraton. Tidak ada perbedaan antara pelari maraton dan laki-laki yang tak terlatih. Perbandingan sprinter, rowers, pelari maraton dan orang tidak terlatih dikonfirmasi bahwa kapasitas bufer otot lateralis vastus lebih tinggi pada atlet-atlet terlatih anaerobik (sprinter dan rowers) daripada atlet-atlet terlatih secara aerobik dan orang tidak terlatih.
Efek latihan interval intensitas tinggi dipelajari pada atlet bersepeda yang terlatih menggunakan metode titrasi pH. Setelah training selama 4 minggi, kapasitas bufer meningkat 16% dalam otot lateralis vastus. Jadi latihan intensif anaerobik meningkatkan kapasitas bufer otot-otot yang terlibat. Namun kapasitas bufer darah tidak signifikan berubah. Beberapa alasannya adalah (1) metode yang digunakan tidak memadai untuk asesmen kapasitas bufer darah, (2) spesifikasi latihan tidak terlibat dalam uji tersebut. Meskipun demikian bufer bikarbonat mungkin diases tetapi bufer protein dan fosfat tidak. Perhitungan menunjukkan bahwa protein bertanggung jawab sekitar 50% membufer otot selama latihan yang melelahkan sebaliknya kontribusi bikarbonat sekitar 15% - 18% dari total kapasitas bufer.    

Sistem Antioksidan Darah
Pada kondisi tertentu molekuk oksigen berubah menjadi bentuk yang lebih aktif yang disebut radikal bebas. Radikal bebas memiliki elektron tak berpasangan pada orbital terluar. Radikal bebas okdigen yang paling penting adalah superoksida O3-), hidrogen peroksida (H2O2), oksida nitrit (NO-) dan radikal hidroksil (HO-). Kontraksi otot telah menunjukkan menghasilkan radikal-radikal tersebut . Kebanyakan oksidator radikal bebas dihasilkan dari kontraksi serat-serat otot akibat dari peningkatan laju oksidasi mitokondria. Selama latihan sumber-sumber potensial oksidan juga adalah jalur xantin oksidase, metabolisme prostanoid dan produksi radikal yang dimediasi kalsium.
Peningkatan jumlah radikal bebas memiliki efek merusak dan bahkan efek letal terhadap sel. Radikal bebas mengoksidasi asam-asam lemak yang tak jenuh yang sangat penting untuk komponen membran sel. Radikal bebas juga mengoksidasi beberapa enzim selular sehingga merusak sistem metabolisme selular. Radikal bebas memodifikasi molekul makro dalam sel termasuk asam-asam inti, protein dan lipid. Jaringan syaraf mudah kena karena mengandung banyak struktur lipid.
Efek berbahaya radikal bebas berlawanan dengan sistem antioksidan. Jaringan yang mengandung enzim-enzim multiple yang dapat menghilangkan radikal bebas. Antioksidan ini adalah superoksida dismutase, glutation peroksidase, katalase, dan glutation. Fungsi utama superoksida dismutase untuk mengubah radikal superoksida menjadi hidrogen peroksida dan O2. Glutation peroksidase mengurangi H2O2 membentuk glutation teroksidasi dan air dengan glutation sebagai donor elektron. Katalase mengubah H2O2 menjadi H2O dan O2. Aktivitas ketiga enzim tersebut lebih besar dalam serat-serat otot oksidatif daripada dalam serat-serat glikolitik fast-twitch .
Fungsi antioksidan yang terpenting adalah glutation yang menghilangkan H2O2  dan peroksidase lipid, Glutatione juga terlibat dalam mengurangi berbagai antioksidan untuk menjadi struktur aslinya. Glutation mengurangi radikal-radikal vitamin E dan C. Konsentrasi glutation tinggi dalam hati dan separuh konsentrasinya dalam hati terdapat dalam paru, ginjal dan jantung. Otot slow oksidatif (SO) mengandung glutation 6 kali lebih besar dariapada serat otot fast glikolitik (FG). Eritrosit mengandung glutation yang tinggi levelnya sedangkan plasma lebih rendah dari eritrosit.
Level glutation intraselular tergantung pada pengambilan glutation dari darah, sintesis intraselular, penggunaannya dan produksinya. Kebanyakan glutation disintesis dalam hati. Insulin dan glukokortikoid menstimulasi sintesis glutation oleh induksi sistein glutamil sintetase. Epinefrin dan glukagon meningkatkan effluks glutation hati.
Vitamin E berperan sebagai antioksidan intramembran dan penstabil membran yang dapat menangkap radikal bebas termasuk superoksida, radikal hidroksil dan lipid peroksida dengan menggunakan gugus hidroksilnya untuk mendonorkan sebuah proton atau menenrima sebuah elektron. Hasilnya radikal vitamin E bereaksi dengan dirinya sendiri atau radikal peroksi lain membentuk produk nonreaktif. Hasilnya vitamin E mungkin hilang dari jaringan. Pada saat yang sama radikal vitamin E dihasilkan untuk diubah menjadi vitamin E setelah berinteraksi dengan asam ascorbat atau glutation.
Konsentrasi glutation dipengaruhi oleh latihan. Pelari jarak jauh memiliki konsentrasi glutation yang lebih tinggi dalam plasma darahnya daripada yang tidak terlatih. Perbedaan aktivitas lipid peroksida plasma tidak tampak. Antioksidan yang ditambahkan dalam sampel menekan ABTS yang berinkubasi dengan sebuah peroksida. Beberapa studi lain menghasilkan bahwa formasi malondialdehid, sebuah lipid peroksida atau bahan reaktif asam tiobarbiturat, lipid peroksidasi meningkat dalam otot skeletal dan otot jantung serta plasma setelah latihan melelahkan. Beberapa artikel mengkonfirmasi efek training terhadap aktivitas enzim-enzim antioksidan eritrosit. Namun ada juga studi yang gagal.
Sebuah penanda oksidasi radikal bebas adalah pentana yang dibuang lewat pernapasan. Peningkatan jumlah pentana ditemukan selama latihan dengan intensitas 75% VO2 maks. Kesimpulannya latihan keras yang akut menghasilkan radikal bebas sebaliknya traning menghasilkan kemungkinan untu penghambatan stress oksidatif dengan meningkatkan kapasitas sistem antioksidan.

Indeks Imunologi
Pertahanan melawan penetrasi yang menyerang dalam tubuh dan pertahanan protein endogen tersusun dalam bentuk aksi gabungan dari beberapa proses imun.
Latihan akut
 


Radikal bebas          Stress oksidatif                penghambatan stress oksidatif
Terakumulasi       

                      
                                                   Meningkatkan antioksidan


                                                           Training
  Gambar 2. Efek Latihan akut dan training terhadap stress oksidatif


Sifat-sifat Umum Respon Imun
Alat-alat untuk membawa imunitas adalah (1) fagositosis, (2) enzim-enzim pencernaan yang merusak mikroorganisme yang masuk ke lambung, (3) resistansi kulit, (4) senyawa dalam darah (lisozim, polipeptida dasar, kompleks pelengkap) yang menyerang organisme asing dan toksin dan merusak mereka, dan ((5) limfosit pembunuh alami yang mengenali dan merusak sel-sel asing, sel-sel tumor dan beberapa sel infeksi.
Imunitas yang diperoleh terdiri dari imunitas humoral (imunitas sel-sel b) dan sel mediasi imunitas (imunitas sel T). Imunitas humoral ditemukan dalam antibodi sirkulasi (molekul globulin) yang dapat dan menyerang agen-agen asing. Lymfosit banyak terdapat dalam node limf dan juga jaringan limfoid.
Produksi antibodi disirkulasi ke seluruh tubuh. Antibodi dibagi menjadi 5 kelas, yaitu IgM, IgG, IgA, IgD dan IgE.  IgG terdapat sekitar 75% antibodi orang normal. Antibodi menyerang invader secara langsung atau mengaktifkan sebuah sistem komplementnya yang merusak invader. Sel-sel T dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu helper sel T, sitotoksik sel T dan supresor sel T. Mayoritas sel T adalah helper sel T yang berperan pada sel lain dari sistem imun dan bone marrow. Linfokins yang paling penting adalah interleukin-2, interleukin-3, interleukin-4, interleukin-5, interleukin-6, granilosit-monosit colony-stimulating factor dan interferon-γ tanpa linfokines dari helper sel T.

Efek Exercise dan Training Terhadap Aktivitas Imun
Exercise training menyebabkan semakin mudahnya terkena penyakit. Training moderat seperti jogging dan aktivitas rekreasi lainnya tidak meningkatkan resiko infeksi penyakit namun sebaliknya dapat meningkatkan daya tahan tubuh terhadap agen-agen patogenik. Training keras yang dilakukan oleh atlet top baik fisikmaupun emosional selama kompetisi menaikkan laju infeksi penyakit terutama pada bagian upper respiratory illnesses. Efek promosi kesehatan dari latihan sistematik sangat menonjol menurunkan kematian usia paruh baya termasuk resiko untuk terkena kanker.

Innate Immunity
Beberapa studi menghasilkan fakta bahwa latihan akut meningkatkan aktivitas fagositik yang ditemukan pada pada makrofage jaringan penghubung atlet endurans sesudah lari 15 km yang melelahkan yang dikaitkan dengan kenaikan isi enzim lisosomal makrofage. Sesudah 1 jam bersepeda pada 60% VO2 maks, aktivitas neutrofil oksidatif meningkat selama 6 jam pada orang terlatih dan tidak terlatih. Peningkatan aktivitas neutrofil juga ditemukan setelah lari 2 km dan 10 km. Sebalikna aktivitas fagositik monosit darah berkurang setelah berlari maksimal short-term.  
Efek latihan terhadap total titer komplement dan terhadap serum C3 dan C4 ditemukan berbeda jika mereka semua ada. Level protein C-reaktif meningkat  selama 4 jam sesudah 2  atau 3 jam berlari. 9 minggu latihan level protein C-reaktif berkurang pada istrahat dan hilang responnya hingga 2 jam berlari.

B- dan T-Limfosit
Peningkatan yang menonjol karena latihan adalah populasi sel-sel B dengan cepat kembali ke level basal. Respon ini lebih besar pada orang tidak terlatih dibandingkan dengan orang terlatih.
Latihan maksimal meningkatkan populasi sel-sel T dalam sirkulasi terutama untuk orang yang tidak terlatih. Selama latihan prologed, respon bervariasi dengan dominasi penurunan populasi sel T. Latihan 40 menit dengan intensitas tinggi (80% VO2 maks) menyebabkan peningkatan jumlah sirkulasi T-limfosit, T-helper/induktor dan T-suppressor. Latihan dengan intensitas moderat dengan durasi yang sama tidak mengubah jumlah sel-sel tersebut.
Beberapa limfokines berasal dari sel-sel T. Interleukin 2 dihasilkan selama latihan. Aktivitas interferon-a telah ditemukan dalam plasma darah meningkat selama 1 jam bersepeda pada 70% VO2 maks. Konsentrasi interleukin 6 dalam plasma darah meningkat selama bersepeda 1 jam pada 75% VO2 maks.
Produksi interleukin-1 oleh makrofage meningkat selama dan sesudah latihan prolonged. Level istrahat interleukin-1 lebih besar pada pelari endurans daripada orang yang tidak terlatih. Subset ketiga sel T mengandung sel-sel pembunuh alami (NK) yang jumlahnya berubah dramatis setelah melakukan berbagai intensitas latihan. Aktivitas NK meningkat terutama sesudah latihan intensif yang melelahkan atau latihan prolonged.

Imunoglobulin
Beberapa latihan baik maksimal maupun prolonged mengubah level darah IgG, IgA, IgM dan IgE, meskipun produksi invitro IgG, IgM dan IgE oleh limfosit berkurang ketika sebuah sampel darah diperoleh setelah 15 menit bersepeda. Sesudah lomba maraton titer serum imunoglobulin spesifik diinjeksi dengan toksin tetanus langsung meningkat. Cairan mukosal dengan dominasi imunoglobulin IgA merupakan efektor penting melawan infeksi penyakit respiratory. Latihan menurunkan level IgA salivari dan nasal wash pada atlet terlatih endurans.
Hasil-hasil tesebut menunjukkan bahwa sistem imun merespon latihan akut. Lebih penting lagi untuk monitoring latihan adalah perubahan aktivitas imun selama latihan dan pada overtraining. Ketika indeks imunologi dimaksudkan untuk digunakan monitoring training, perhatian harus fokus pada aliran sitometri. Metode ini memugkinkan kita menginvestigasi dalam spektrum yang luas parameter-parameter imunologi.

Kesetimbangan Air dan Elektrolit
Kecuali protein konstituen lain dari plasma darah bebas melewati dinding kapiler. Jadi konsentrasi mereka dalam plasma darah dan cairan interstitial hampir sama. Bagaimna pun juga perbedaan signifikan tampak jika kita membandingkan konsentrasi ion-ion Na+, K+ , Ca++, Mg++, Cl-, dan HCO3-, dan ion sulfat dalam cairan interstitial dan kompartemen intraselulas. Hal ini disebabkan oleh permeabilitas membran sel yang selektif. Akibatnya, konsentrasi ion natrium, kalsium, klorida dan bikarbonat lebih besar di luar membran plasma dan konsentrasi ion kalium, magnesium, fosfat dan sulfat lebih besar di bagian dalam membran plasma. Jadi konsentrasi ion pada intraselular berbeda dengan di ekstraselular. Dengan kata lain, gradien ionik timbul pada kedua kompartemen tersebut.
Aktivitas hidup yang normal, gradien konsentrasi ionik pada kedua kompartemen relatif konstan. Ini yang mendukung manifestasi aktivitas selular. Peningkatan permeabilitas memungkinkan sebuah aliran ion natrium masuk ke dalam kompartemen intraselular yang diukuti dengan aliran keluar ion kalium dari sel ke ekstraselular kompartemen. Depolarisasi diinisiasi oleh aliran ionik melalui sarkolema juga pengaruh pembebasan ion Ca2+ dari retikulum endoplasmik. Ketika depolarisasi terjadi dalam T-tubules dikonduksi terhadap terminal cistarnae, Ca2+  dibebaskan dari lumen dengan membuka chanel spesial pembebasan kalsium. Banyak fakta bahwa pada berbagai jenis fatig kegagalan pembebasan kalsium merupakan sebuah faktor penting. Ion kalsium diperlukan untuk aktualisasi aktivitas sel tertentu dan untuk proses energi yang menghasikan energi.
Untuk mengulangi aksi siklik fungsi selular, pergeseran dihentikan dan istrahat. Pergeseran ionik dengan arah berlawanan terjadi (ion natrium keluar dan ion kalium masuk ke dalam kompartemen intraselular) reabsorbsi  ion kalsium oleh sarkoplasmik retikulum diperlukan. Pergeseran ini melawan gradien ionik sehingga memerlukan energi untuk pompa ionik yang harus bekerja dengan bantuan enzim Na+-K+ ATPase yang diaktivasi oleh ion kalsium dalam endoplasmik.
Penurunan kapasitas kerja otot-otot sekeletal juga disebabkan oleh tidak memadainya fungsi pompa ionik pada sarkolema serat otot ekeletal. Selama kontraksi ulangan pada laju yang tinggi, pompa ionik baru sesungguhnya bekerja. Aktivias pompa ionik dilakukan oleh epinefrin yang memberikan efek berlawanan. Hasilnya membuat hubungan antara fungsi pompa ionik dan kelelahan otot.
Terakumulasinya ion natrium dalam kompartemen intraselular disebabkan oleh tidak cukupnya laju fungsi pompa ionik, meningkatnya osmolalitas intraselular dan menyebabkan sebuah pergeseran air ke dalam serat-serat otot skeletal dan myocardium hingga edema selular selama latihan prolonged.
Ketidakcukupan fungsi pompa ionik juga mengurangi gradien ion K+ melalui peningkatan konsetrasi ion kalium di bagian cairan ekstraselular. Kondisi ini ditemukan pada atlet dan orang tidak terlatih pada beberapa latihan. Kenaikan ion K+ berkaitan dengan intensitas latihan. Peningkatan ion kalium tersebut menunjukkan fenomena fatig. Endurans dan sprint training mempengaruhi arus keluar masuknya ion-ion. Sesudah training enduran dikurangi, laju hilangnya ion kalium dari otot-otot yang berkontraksi ditemukan. Latihan sprint mengurangi respon ion kalium plasma terhadap latihan maksimal. Latihan ini  dampaknya tampak memiliki kaitan dengan  efek latihan terhadap bagian pompa ionik dan Na+-K+ ATPase. Sebaliknya akumulasi natrium intraselular dan air tidak dapat diukur dalam monitoring latihan, peningkatan kalium darah mungkin dapat digunakan untuk evaluasi fungsi pompa ionik pada atlet selama latihan yang intensif.
Beberapa faktor yang mempengaruhi level natrium ekstraselular dan kalium selama latihan disamping fungsi pompa ionik. Peningkatan konsentrasi kalium dalam plasma memicu pembebasan ion kalium selama pemecahan glikogen karena kalium disimpan bersama-sama dengan glikogen. Telah dihitung bahwa 18 gram kalium disimpan dalam setiap gram glikogen yang dideposit. Protein juga mungkin mengikat kalium. Perubahan natrium dalam plasma selama latihan adalah sedang jika diperhatikan dengan detail. Ketika konsetrasi kalium-natrium berubah dikoreksi terhadap hemokonsentrasi, perubahan signifikan level natrium hilang hanya setelah 1 menit latihan yang melelahkan.
Gradien ionik ion natrium mungkin dipengaruhi oleh hilangnya natrium melalui keringat. Hal ini dihambat oleh mekanisme konservasi garam. Akibatnya, konsetrasi natrium dalam keringat lebih rendah daripada dalam plasma. Pengatur sekresi renal kalium distimulasi oleh aldosteron untuk menghidari akumulasi kalium dalam kompartemen ekstraselular sehingga mengurangi gradien kalium. Pada kelenjar keringat tidak ada mekanisme konservasi ion kalium.  Level ion kalium dan magnesium sama baik dalam keringat maupun plasma. Akibatnya, mekanisme konservasi kelenjar keringat mengurangi kehilangan natrium tapi tidak kehilangan kalium.
Kehilangan kalium disebabkan oleh panas namun sebagian hasil studi meragukan kehilangan kalium dalam jumlah besar karena faktor panas tersebut. Dehidrasi latihan menyebabkan kehilangan air tubuh sekitar 4,35 L (5,8% massa tubuh) yang menyebabkan kehilangan ion kalium sekitar 1% (44,6 mmol).  Dehidrasi sekitar 2% massa tubuh sudah menyebabkan penurunan performans. Terakhir ditemukan hubungan linier antara penurunan massa tubuh dengan penurunan performan. Jika kehilangan air tubuh sebanyak 4% - 5% massa tubuh kapasitas untuk kerja keras otot akan turun sekitar 20% hingga 30%.
Beberapa efek berbahaya dari dehidrasi terjadi selama latihan. Pertama, kemungkinan untuk termoregulasi berkurang dan temperatur tubuh naik mencapai level tertinggi. Efek kardiovascular disebabkan oleh aksi gabungan dehidrasi dan hipertermia sehingga selama latihan 120 menit terjadi penurunan rata-rata tekana arteri, output jantung dan volume pukulan dan peningkatan laju jantung dan resistansi vascular sistemik. Untuk mencegah dehidrasi maka hidrasi selama latihan diperlukan untuk menghindari efek yang berbahaya bagi tubuh.
Kesimpulannya, kesetimbangan air-elektrolit dikontrol oleh pompa Na+-K+ pada sarkolema, pompa ion Ca2+ pada membran retikulum sarkoplasmik dan beberapa faktor yang mempengaruhi volume ekstraselular dan komposisinya. Dalam monitoring biokimia training, informasi tentang fungsi pompa ini sangat penting. Tidak mungkin kita mendapatkan informasi langsung jika sampel biopsi tidak digunakan. Meskipun demikian perubahan induksi latihan pada level kalium plasma agak bernilai meskipun sngat terbatas untuk interpretasi ion kalium tersebut. Perubahan level natrium plasma kurang bernilai sebagaui informasi karena hanya dalam level sedang dan berkaitan denga hemokonsetrasi.
Kapasitas kerja tergantung pada status dehidrasi yang dipengaruhi oleh laju perspirasi dan rehidrasi voluntar. Informasi umum tentang kehilangan air dapat diperoleh dengan menghitung penurunan massa tubuh jumlah air yang dikonsumsi. Penurunan volume plasma kurang informatif karena tergantung pada beberapa faktor lain dan efek dehidrasi pada volume plasma sangat terbatas. Mengumpulkan keringat tubuh merupakan metode yang tersedia untuk monitoring kehilangan elektrolit. Prosedur ini cukup komplikasi sehingga tidak digunakan dalam monitoring harian latihan.
Konsentrasi elektrolit-air yang setimbang merupakan parameter yang mengontrol homeostatis. Kurangnya perubahan elektrolit plasma bukan karena perubahan metabolisme air-elektrolit tetapi karena faktor regulasi homeostatis.         

   
          
suppo�n1ss �� x� le='mso-bidi-font-weight:normal'>3.      Lipoprotein
Lipoprotein terdiri dari protein (apoprotein, yaitu: apo A, apo B, apo C dan apo D serta beberapa polimorf apo E) dan lipid (trigliserida, fosfolipid, kolesterol tak teresterifikasi, dan kolesterol tersterifikasi) yang merupakan kendaraan pengangkut lipid menuju tempat metabolisme di berbagai jaringan. Fungsi sisi protein tersebut sebagai reseptor membran dan berperan sebagai kofaktor enzim yang terlibat dalam metabolisme lipoprotein. Dengan ultrasentrigul diketahui perbedaan kerapatan lipoprotein plasma.
Lipoprotein merupakan partikel berbentuk sferik dengan intinya mengandung trigliserida dan ester kolesterol sedangkan permukaannya terdiri dari apoliporotein, fosfolipid dan kolesterol non ester. Pertukaran lipid dan apoprotein terus berlangsung, seperti enzim lipoprotein lipase, lipase hepatik, dan lesitin-kolesterol asiltransferase.
 Empat jenis lipoprotein utama, yaitu HDL, LDL, VLDL dan kilomikron. HDL kemudian dapat dibagi menjadi HDL1, HDL2, dan HDL3 . Keempat jenis lipoprotein tersebut memiliki fungsi yang berbeda.
Fungsi VLDL untuk mengangkut trigliserol dari hati ke jaringan lain. Di bawah pengaruh katalis lipoprotein lipase, VLDL dan kilomikron diuraikan menghasilkan gliserol dan asam lemak bebas sebagai substrat energi jaringan periferal. Komponen permukaan VLDL terdegradasi tersebut (kolesterol, fosfolipid) ditransfer menjadi HDL sedangkan apoproteinnya ditahan dalam LDL (apo B) dan HDL (apo E dan apo C).  
LDL berinteraksi dengan reseptor spesifik pada membran plasma berbagai ragam sel melalui apo B. Serangan apo B ke reseptor menyebabkan masuknya lipoprotein ke dalam sel. Pengambilan LDL oleh sel merupakan bagian dari regulasi mekanisme homeostatik.metabolisme koleterol intraselular dan menyediakan kolesterol untuk memberan plasma sebagai komponen penting membran. Meskipun demikian konsentrasi LDL yang tinggi dalam plasma merupakan faktor utama yang menyebabkan arteriosklerosis.
Latihan daya tahan menghasilkan penurunan total kolesterol dan level LDL dan meningkatkan konsentrasi HDL. Proses ini menyebabkan peningkatan aktivitas lipoprotein lipase dalam otot dan jaringan adiposa. Akibatnya, penentuan total kolesterol pada dan atau HDL dan LDL penting untuk evaluasi efek antisklerotik latihan untuk meningkatkan kesehatan.
Asam lemak bebas yang dibebaskan dari VLDL dan kilomikron dpat digunakan untuk menghasilkan energi untuk otot yang sedang bekerja. Lipoprotein lipase berlokasi di permukaan luminal dinding vaskular. Meskipun demikian pengambilan asam lemak bebas oleh otot dari VLDL-trigliserida tampak lebih lambat dan hanya dapat kurang dari 5% asam lemak bebas turunan CO2 selama latihan yang panjang.  Jadi tidak perlu VLDL dan kilomikron sebagai sumber susbtrat oksidasi selama monitoring latihan.

Mikrodialisis               
Mikrodialisis merupakan teknik yang dianggap cukup menjanjikan untuk studi metabolik pada manusia termasuk pada saat berolahraga. Serat membran berlubang atau probe berfungsi sebagai pembuluh darah tiruan yang dapat dimasukkan ke dalam ekstraselular jaringan adiposa subkutan atau jaringan otot. Sebagai contoh, keseimbangan antara glukosa dan asam laktat dalam otot dan jaringan adiposa selama kontraksi isometrik telah dipelajari dengan teknik ini. Hasil-hasil penting yang diperoleh dengan menggunakan teknik ini adalah studi tentang regulasi adrenergik lipolisis selama latihan.
Disamping kelebihan yang dimiliki, teknik mikrodialisis juga memiliki keterbatasan, yaitu hanya dapat digunakan untuk studi di laboratorium atau studi klinik dan tidak dapat digunakan di lapangan sehingga tidak digunakan untuk monitoring latihan. Bahkan mikrodialisis hanya dapat menganalisis molekul berukuran kecil seperti glukosa dan asam laktat tetapi tidak untuk melekul berukuran besar seperti TNF-alpha. Pengembangan teknik pengenceran mikro mungkin dapat mengatasi keterbatasan tersebut.


Penutup
Metode asesmen terhadap metabolik dewasa ini sudah banyak dilakukan dalam fisiologi olahraga namun terbatas implementasinya di lapangan. Pada umumnya metode atau teknik masih sulit diterapkan di lapangan dan hanya untuk dilakukan di laboratorium atau untuk studi klinik. Hal utama yang membatasi penggunaan metode atau teknik asesmen tersebut adalah teknik sampling, seperti biopsi otot. Teknik biopsi otot banyak digunakan namun karena menggunakan jarum maka kurang praktis untuk digunakan di lapangan olahraga. Pada sampling studi reseptor hormon, teknik biopsi sulit digunakan karena memerlukan sampel dalam jumlah yang besar. Studi pada beberapa jaringan lain, seperti hepatik dan adiposa hanya dapat digunakan di laboratorium untuk studi klinik. Namun kombinasi teknik tersebut dengan teknik lain, seperti penggunaan isotop radioaktif memberikan banyak informasi atau data yang dapat diakses sehingga menjadi lebih akurat. Disamping harus memilih metode atau teknik yang tepat, peneliti juga harus memilih metabolit dan jaringan yang akan dimonitor. Penentuan metabolit merujuk pada perubahan yang terjadi akibat dari latihan. Adapun jaringan akan merujuk pada jaringan yang aktif bekerja untuk mengetahui apa yang terjadi di jaringan tersebut. Untuk itu diperlukan pengetahuan yang memadai untuk memahami jalur-jalur metabolik. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar