Jumat, 03 Januari 2014

ANALISIS TEKNIK LOMPAT JANGKIT MENGGUNAKAN COMPUTER-ASSISTED VIDEO SYSTEM Mohamad habibi, Yadi Sunaryadi, Suntoda, Sagitarius


ANALISIS TEKNIK LOMPAT JANGKIT MENGGUNAKAN COMPUTER-ASSISTED VIDEO SYSTEM


Mohamad habibi, Yadi Sunaryadi, Suntoda, Sagitarius

Abstrak: Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi beberapa variabel kinematika yang menentukan prestasi cabang olahraga lompat jangkit yang diperlombakan di PON XVI 2004 Palembang. Pengambilan data menggunakan seperangkat alat analisis gerak termasuk 1 (satu) buah camcorder Sony tipe ZR 70 MC, dengan shutter speed 1/1000 detik dan kecepatan film 25 fps dan software Dartfish 2.5 professional versi 2.4.15.3. Sampel penelitian adalah para atlet putra lompat jangkit  nasional sebanyak  7 orang  atlet peserta PON XVI 2004. Hasil analisis menunjukkan bahwa jarak rata-rata yang dapat dicapai selama fase hop, step, dan jump oleh para pelompat jangkit Indonesia adalah 4,75 m, 4,51 m, dan 5,65m, dengan rasio 32%:30%:38%. Fase yang menghasilkan jarak lompatan  terbesar  dicapai  pada  fase  jump  (jump  dominated). Jumlah langkah rata-rata yang dibuat pelompat jangkit Indonesia adalah 18 langkah. Waktu total rata-rata yang digunakan pelompat adalah  06,42  detik.  Waktu  run-up  rata-rata  adalah  04,43  detik. Jarak horisontal rata-rata untuk masing-masing fase hop, step, dan jump adalah 0,44 m, 0,50 m, 0,61 m. Waktu take off rata-rata pada fase hop, step, dan jump adalah 0,122 detik, 0,148 detik, 0,164 detik, menunjukkan bahwa kecepatan horisontal semakin kecil dan dengan demikian pelompat telah melakukan active landing.

Kata kunci: lompat jangkit, computer-assisted video system.

Nomor lompat jangkit dalam PON XVI 2004 di Palembang diikuti oleh 7 (tujuh) orang atlet, yaitu Sugeng jatmiko dari Jawa Timur (pemegang rekor  nasional,  dengan  lompatan  15,97  m yang  diciptakan  di  Jakarta tahun 1997, dan rekor PON 15,91 m di Jakarta tahun 1996), Tarmudianto


Yadi Sunaryadi, Sutonda, dan Sagitarius adalah Dosen Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).



(Jatim), Yousan C, Lekahena (Jabar), Doni Susanto (Jabar), Made Suta
Atmaja (Bali),Triman (Jateng), Mohamad Junaedi (DKI).
Bila  dibandingkan  prestasi  lompat  jangkit  antara  atlet  Indonesia dengan beberapa atlet lompat jangkit dunia, maka prestasi yang diraih
atlet Indonesia sama dengan hasil lompatan atlet dunia tahun 1950 atas
nama Adhemar da Silva (Brazil) dengan lompatan 16,00 m (Hay, 1993), dan sangat jauh bila dibandingkan dengan atlet-atlet lompat jangkit dunia lainnya seperti Mike Conley (USA, Juara dunia 2003), Jonathan Edwards (Inggris, pemegang rekor dunia), Charles Friedek (Jerman), Yoel Garcia (Kuba),  kennHarrison  (USA),  Al-Joyner  (USA),  Denis  Kapustin (Rusia), Kristo Markov (Bulgaria), Christian Olsson (Swedia, peraih medali emas Olimpiade Athena 2004), Yoelbi Quesada (Kuba), Victor Saneyev (USSR, juara olimpiade Montreal, Munchen,dan Mexico City), Josef Schmidt (Polandia).  Prestasi lompat jangkit yang dibuat setelah tahun 1960 oleh para pelompat dunia hampir semuanya di atas 17 m. Rekor dunia masih dipegang oleh Jonathan Edwards (Inggris, 18,45 m), sedangkan  juara  Olimpiade  Athena  2004  adalah  Christian  Olsson (Swedia) dengan lompatan 17,79 m,  perak- Marian Oprea (Romania)
17,55 m, perunggu- Danila Burkenya (Rusia) 17,48 m. Jadi kalau diamati perbedaan hasilompatan  pada  lompat  jangkiyang  dibuaoleh  atlet
Indonesi dengan   atlet   duni terpaut   sekitar   1,82    (17,79-
15,97=1,82m).
Apa sebenarnya yang melatarbelakangi perbedaan yang sangat jauh antara hasil lompatan atlet lompat jangkit dunia dengan hasil lompatan
atlet lompat jangkit Indonesia, terutama hasil yang diperlihatkan pada
Pekan Olahraga Nasional XVI 2004 di Palembang. Selain faktor fisik, terutama kekuatan otot-otot tungkai yang sangat berpengaruh terhadap prestasi lompat jangkit Indonesia, faktor teknik merupakan salah satu faktor yang sangat dominan dalam menghasilkan jarak lompatan. Pengamatan  di  lapangan  menunjukkan  masih  ada  beberapa  pelompat yang menampilkan teknik yang kurang baik. Gambaran itu misalnya menyangkut prosentase selama fase hop, step, dan jump yang kurang baik, sehingga masih nampak adanya atlet yang tidak sampai mendarat ke bak lompat.
Meskipun para pelompat jangkit dunia berbeda dalam tinggi badan, berat badan, dan kekuatan, kecepatan, tetapi teknik dasar yang digunakan



adalah sama, dari mulai awalan (run-up), hop, step, dan jump, dimana para atlet dunia memperlihatkan aplikasi gaya (kekuatan) dengan baik, sehingga gerakannya nampak indah. Efisiensi gerak ini memperlihatkan bahwa para pelompat dunia menggunakan teknik lompatan yang baik, aksinya benar-benar efektif. Di luar dari perbedaan-perbedaan minor tersebut, sebenarnya para atlet lompat jangkit dunia menggunakan teknik yang   superio yan didasarkan   pada   penggunaan   prinsip-prinsip mekanika  terbaiyang  mengendalikan  gerak  manusi(human movement).  Oleh  karenanya,  dalam penelitian  ini  yang  menjadi  ideal formnya yaitu juara dunia lompat jangkit. Keuntungan yang akan diperoleh dari pemecahan masalah ini antara lain akan didapatkan gambaran perbandingan antara penampilan teknik para pelompat jangkit Indonesia dengan para pelompat dunia. Dengan demikian akan memberikan informasi yang sangat bermanfaat bagi para pelatih, dan atlet lompat jangkit itu sendiri.  Sebaliknya, jika masalah ini tidak diteliti, maka kemungkinan besar tidak akan ada masukan dan perbaikan. Bukti di lapangan menunjukkan bahwa dalam SEA Games 2007 di Thailand, pelompat  Indonesia Doni Susanto hanya  berada di posisi keempat  di bawah pelompat negara Thailand dan Filipina, dengan hasil lompatan 15,
99  m.  Berdasarkan  paparan  di  atas,  maka  rumusan  masalah  yang diajukan meliputi: (1) Bagaimanakah gambaran teknik yang ditampilkan oleh para atlet lompat jangkit nasional  bila dibandingkan dengan para pelompat jangkit dunia? (2) Berapakah jarak dan rasi fase hop, step, dan  jump  untuk  setiap  atlet?  (3)  Bagaimanakah  gambaran  kualitas analisis gerak bila menggunakan computer-assisted video system (2-D)?
Alat yang paling penting untuk meningkatkan kualitas pengamatan (observational power) dalam analisis gerak adalah dengan menggunakan video replay, khususnya slow-motion replay (Knudson, 1997). Penggunaan alat ini sangat bermanfaat untuk memberikan informasi kepada papa pelatih yang tidak melakukan pengamatan secara langsung di lapangan. Video dapat mengambil gambar gerakan yang cepat yang tidak dapat diamati dengan mata telanjang. Gambaran lengkap dari gerakan  indan  kapasitas  yang  tidak  terbatas dalam replay membuat video menjadi alat penting dalam analisis mekanika gerak bagi para pelatih berbagai cabang olahraga.



Gambaran 2 Dimensi (Two-Dimensional Image)
Gambar video normal dengan menggunakan sebuah kamera merupakan gambaran dua dimensi dari representasi tiga dimensi. Hal ini berarti bahwa hanya objek yang berorientasi tegak lurus ( perpendicular) terhadap lensa akan ditampilkan secara akurat dalam gambaran dua dimensi.  Bila tidak diseting dengan tegak lurus, maka  gambaran  dua dimensinya akan mengalami distorsi.   Para pelatih yang menggunakan video selama analisis harus mengatur posisinya dengan baik, untuk meminimalkan distorsi dan harus mengetahui ketika distorsi dapat mempengaruhi penilaian terhadap penampilan atlet.

Gambar Video
Gambar video merupakan representasi terbatas dari gambaran sebenarnya, karena tersusun dari kesatuan titik-titik 2-D (array of dots).
Titik-titik  yang  menyusun  tiap  gambar  dinamakan   pixels  (picture
element). Tiap elemen gambar terdiri dari sebuah bayangan dengan skala abu (dari hitam sampai putih) untuk video hitam putih. Video berwarna tersusun dari elemen-elemen gambar yang diberi intensitas tertentu atau kombinasi dari merah, hijau, dan biru terang. Gambar video disebut juga frame, tersusun dari dua setengah atau field. Satu field jumlahnya ganjil, garis-garis elemen horisontal dan field lainnya jumlahnya genap, yaitu garis  horisontal.  Oleh  karena  itmengapa  hal  ini  disebut  interlaced video. Semakin banyak pixels dan garis-garis pixels dalam gambar video, maka semakin tinggi resolusinya dan semakin bagus gambar tersebut.

Resolusi
Jumlah dan ukuran pixels menentukan kualitas gambar video. Peralatan video televisi mempunyai 525 (NTSC) atau 625 (PAL) garis
pixels  horisontal  (Feldman,  1988).  Jumlah  elemen  gambar  dari  field
tertentu menentukan resolusi gambar video (kualitas gambar).  Resolusi ke segala arah penting ketika video digunakan untuk pengukuran aktual (analisis kuantitatif), tetapi masih penting untuk analisis kualitatif jika gambarnya berkualitas kurang baik atau subjek analisis kecil dalam tampilan video yang diperbesar (zoom in /out).



Shutter
Faktor yang  paling  penting dalam menampilkan  gambaran  gerak manusia  dalam  analisis  kualitatif  adalah   shutter,  yang   membatasi exposure time.  Pengambilan gambar (capturing) satu field dengan 1/500 atau 1/1000 detik memastikan bahwa objek tidak   bergerak sebanyak gambar  yang  sedang  dicapture.  Hal  ini  memudahkan  pengambilan gambar gerak dengan kecepatan tinggi tanpa buram (blurring). Persoalan shutter memerlukan pencahayaan tambahan ketika waktu pengambilan gambar sangat singkat.  Tabel berikut ini, memperlihatkan exposure time yang dianjurkan untuk beberapa cabang olahraga:

Tabel 1. Exposure time yang dianjurkan.
Olahraga                            Exposure Time (Shutter Setting)
Walking                                                   1/60 (off)
Basketball                                                     1/100
Sprinting                                         1/200 sampai 1/500
Baseball pitching                                1/500 sampai 1/1000
Baseball hitting                                  1/500 sampai 1/1000
Soccer kicking                                   1/500 sampai 1/1000
Tennis                                           1/500 sampai 1/1000
Golf                                           1/1000 atau lebih kecil
Sumber: Knudson (1997)

Lompat Jangkit (Triple Jump)
Jarak yang ditempuh atlet dalam lompat jangkit dapat diuraikan menjadi rangkaian gerak yang sama seperti pada lompat jauh.   Dalam lompat jangkit take off dan landing untuk tiap dua fase pertama (hop dan step) harus diatur untuk memudahkan  fase berikutnya.  Misalnya, seorang pelompat jangkit yang memperoleh jarak maksimum (take off+flight+landing) dari fase hop-nya tidak akan mencapai usaha terbaiknya, karena jarak yang diperoleh untuk dua fase berikutnya akan berkurang.   Dengan kata lain, jarak yang diperoleh dengan usaha maksimum pada fase hop akan hilang pada fase step dan jump.
Distribusi  usaha yang optimum dari ketiga fase telah menjadi pokok persoalan  yang  penting.  Pokok  persoalannya  terfokus  pada  seberapa
besar jarak hop (diukur dari papan sampai ujung kaki), jarak step (dari
ujung kaki ke ujung kaki), dan jarak jump (dari ujung kaki sampai tanda



terdekat pada pasir) dianggap sebagai persentase jarak lompatan yang harus dibandingkan.  Teknik lompat jangkit dimana jarak fase hop paling sedikit 2% lebih besar dari pada jarak fase berikutnya yang terpanjang disebut hop-dominated jarak fase jump paling sedikit 2% lebih besar dari pada fase terpanjang berikutnya disebut jump-dominated, dan bila tidak ada satu fasepun yang lebih panjang 2% daripada jarak terpanjang berikutnya disebut balanced.
Jarak dan rasio ketiga fase yang dicatat untuk para pelompat dunia memperlihatkan bahwa terdapat perubahan besar dalam teknik yang digunakan selama 80 tahun. Data juga menunjukkan bahwa kontribusi step terhadap prestasi lompatan meningkat dengan rasio antara 28-30% (Hay, 1993). Lompat jangkit memerlukan speed, power, rhytm, balance, fleksibility, dan body awareness. Lompat jangkit disebut sebagai power ballet. Kaki take off harus merupakan bagian dari tungkai yang terkuat, karena  digunakan  untuk  fase  hop  dan  step.  Pelompat  harus berkonsentrasi pada setiap fase lompatan. Posisi kaki mengenai tanah harus dalam posisi datar atau full-footed pada fase hop dan step, dengan lutut pada tungkai landing sedikit ditekuk untuk persiapan take off.
Lari awalan untuk lompat jangkit sama dengan lari awalan untuk lompat jauh. Tujuannya adalah untuk memperoleh kecepatan yang lebih
besar yang dapat dikontrol selama fase jump. Kurangnya kemampuan
teknik dan kekuatan otot tungkai   akan menurunkan jarak dan jumlah kecepatan yang harus digunakan untuk lompatan. Perbedaan yang uatamanya adalah transisi menuju jump. Penurunan titik berat badan dalam persiapan lompatan lebih sedikit dalam lompat jauh. Pelompat lari menginjakkan kakinya di papan  dalam usahanya untuk mempertahankan kecepatan horisontal dan meminimalkan komponen vertikal pada fase hop. Ketinggian hop yang berlebihan akan mengganggu lompatan karena waktu absorpsi yang meningkat selama landing menurunkan kecepatan horisontal.

Fase Hop
Tungkai take off harus lurus penuh (fully extended) untuk menyelesaikan dorongan pada tanah dan paha tungkai pendorong harus
paralel dengan tanah pada saat take off, dengan sudut lutut mendekati 45
derajat dan kaki rileks. Kaki dari tungkai take off harus ditarik mendekati



pantat. Tungkai pendorong akan memutarnya dari depan titik beratnya sampai ke belakangnya, sedangkan tungkai take off menarik ke depan. Ketika paha tungkai take off mencapai posisi paralel,  bagian bawah dari tungkai lurus melewati lutut dengan posisi kaki dorsi fleksi. Setelah tungkai  diluruskan,  pelompat  melakukan  dorongan  kuat  ke  bawah, sebagai persiapan untuk melakukan active landing. Fleksibilitas sangat penting,  semakin  besar  sudut  ekstensi  selama   flight,  maka  waktu melayang semakin besar dan semakin besar hop-nya.

Fase Step
Fase  kedua  dalam  lompat  jangkit  dimulai  ketika  kaki  take  off
menyentuh tanah. Tungkai take off harus dalam keadaan lurus dengan paha  tungkai  pendorong  tepat  berada  di  bawah  garis  paralel  dengan tanah. Ketika pelompat lepas dari tanah, tungkai take off tetap lurus di belakang titik beratnya dengan betis tetap hampir paralel dengan tanah selama mid-flight. Pada waktu yang bersamaan, tungkai yang berlawanan mendorong sampai setinggi panggul dimana tetap dipertahankan sampai mid-flight selama fase step. Sudut lutut tidak lebih dari 90o. Ketika pelompat mulai turun, tungkai pendorong lurus dengan ankle fleksi (memperpanjang tuas) dan snap ke bawah untuk melakukan transisi dengan cepat ke fase tiga. Selama fase step, pelompat konsentrasi pada langkah step sejauh mungkin. Hal ini biasanya merupakan fase terlemah dan memerlukan pelatihan yang khusus.

Fase Jump
Fase ketiga dan terakhir dalam lompat jangkit, yaitu lompatan panjang yang diawali dengan lompatan dan bukan lari. Tungkai take off (tungkai  pendorong  pada  fase  sebelumnya)  diluruskan  dengan  kuat selama kontak dengan tanah. Dengan paha tungkai dari tungkai bebas berada pada ketinggian pinggang. Lengan mendorong ke depan dan atas, dan melakukan blok selama beberapa saat ketika tangan berada pada ketinggian muka. Togok harus dipertahankan tegak dan dagu ke atas dengan mata diarahkan ke pit. Ketika berada di udara, tungkai bergerak ke posisi menggantung dengan kedua paha berada di bawah togok, lutut bengkok mendekati 90 derajat. Kedua lengan diluruskan ke atas untuk memperlambat rotasi dengan kedua tangan mengarah ke langit. Posisi ini



dipertahankan sampai mid-flight. Kedua lengan kemudian mendorong ke depan, bawah, belakang pada saat tungkai diayun serentak ke depan dan paha diangkat sejajar dengan tanah. Lutut tetap bengkok untuk memperoleh  keuntungan tuas yang  lebih pendek. Ketika paha berada pada posisi paralel, tungkai diluruskan cepat dan ankle fleksi dan posisi jari  kaki  menghadap  ke  atas.  Pelompat  mempertahankan  posisi  ini sampai tumitnya menyentuh pasir. Ketika lutut benar-benar berada dalam posisi akan menyentuh pasir, maka panggul naik.

Aksi Lengan Pada  Fase Hop, Step, dan Jump
Penggunaan  single  arm action  (speed-oriented) atau  double  arm action  (power-oriented)  pada  saat  take  off  tergantung  pada  pilihan
pelompat.  Untuk  pelompat  pemula,  take  off  single  arm  lebih  mudah
dilakukan karena gerakannya sama dengan gerak lari. Metode  double arm menghasilkan power ketika take off, tetapi pelompat pemula sering menurunkan kecepatan saat mendekati persiapan, dengan demikian menurunkan efek power tambahan. Dalam teknik single arm, lengan sedikit menyilang di depan badan ketika step akhir. Ketika take off step dimulai, kedua lengan diam di samping badan dan tidak dan tidak diayun. Kedua lengan pada saat diturunkan akan mendekati pangggul bertemu dengan lengan yang dibelakang dan kedua lengan bergerak selama lompatan. Ketika kaki take off kontak dengan tanah, kedua lengan mendorong ke depan dan atas tubuh. Sudut kedua lengan di sikut lebih besar dari 90o  untuk menciptakan impuls ke depan yang lebih besar. Tak ada  keperluan  untuk  melakukan  dorongan  ke  atas  pada  tekniini. Seperti pada teknisingle arm, lengan diblok sesaat pada ketinggian muka dan tungkai pendorong di blok ketika paha mendekati ketinggian pinggang. Sekalipun demikian penekanan harus difokuskan pada kecepatan  horisontal,  dan  bukannya  ketinggian  lompatan.  Dorongan kedua lengan dan tungkai memberikan impuls vertikal yang diperlukan, tanpa  melakukan  lompatan  ke  atas.  Setelah  kedua  lengan  diblok, kemudian ditarik ke belakang badan untuk persiapan fase step. Ketika menggunakan  teknik  double  arm,  pelatih  harus  memastikan  atletnya untuk tidak melakukan dorongan ke atas sebelum fase pertama dengan mengayunkan  kedua  lengan  ke  belakang  saat  take  off.  Penambahan



dorongan tersebut hanya  akan menurunkan kecepatan horisontal yang penting.

Dorongan Kaki (Foot Strike) pada Ketiga Fase
Transisi dari hop ke step, dan dari step ke jump,  merupakan faktor penting  dalam  mempertahankan  kecepatan  terbesar  selama  tiap  fase
lompatan.  Active  landing  ini  (pawing)  sama  dengan  dorongan  kaki
menggaruk tanah dan menarik ke arah tubuh. Selamactive landing, tungkai pelompat diluruskan, ankle di fleksikan dan tuas keseluruhan ditarik ke bawah dengan kuat pada bagian  mid-foot yang  menyentuh tanah.    Selama  kontak,  tubuh  bergerak  ke  depan  dengan  ujung  kaki sambil mendorong tanah.  Jika atlet mendarat kaku dengan tumit, maka akan terjadi braking action   yang menurunkan kecepatan dan jarak lompatan serta meningkatkan kemungkinan terjadinya cedera.













 
Gambar 1. Kecepatan rata-rata horisontal titik berat badan, kaki landing ke depan, dan  jarak horisontal dari panggul ke tumit tungkai pendarat. (Sumber: Hay, 1993).

METODE
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dimana data diambil pada saat berlangsungnya pertandingan lompat jangkit, kemudian dianalisis untuk  memberikan  deskripsteknik lompat  jangki Seperti kebanyakan penelitian dalam bidang biomekanika, maka sifat penelitiannya adalah eksplorasi, yaitu peneliti berusaha menemukan beberapa  variabel  kinematika  dan  kinetika  dartampilan  film subjek. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan seperangkat alat-alat yang  terdiri  dari  video  camera  Sony  tipe  ZR  70  MC  yang  dipasang


dengan tripod, dengan kecepatan sekitar 25 frame/second (normal video), dan shutter speed 1/1000 second, yang ditempatkan di samping bak lompat tepat di depan daerah saat atlet melakukan tolakan terakhir (fase jump). Pengambilan data (film) dilakukan terhadap para atlet lompat jangkit yang berjumlah 7 (tujuh) orang atlet nasional yang mengikuti Pekan Olahraga Nasional XVI di Palembang, dan hasil lompatan terbaik ditentukan untuk dianalisis dengan menggunakan software Dartfish 2.5 professional versi 2.4.15.3 (TechSmith Corporation 2003). Untuk memperoleh   pengambilan   dat film   yang   akurat   maka   kamera (camcorder) diatur dalam posisi diam dengan menggunakan tripod, kamera ditempatkan sejauh mungkin (meminimalkan perspective error), bidang  gerak  tegak lurus  (perpendicular) dengan  poros  optikamera (optical axes). Teknik panning (gerakan kamera) juga dilakukan terutama mulai dari saat hop, step, jump, dan sampai landing. Konfigurasi kamera di lapangan tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini :








 
Pit






Track








Kamera

Gambar 2. Konfigurasi kamera di lapangan.

Untuk  setiap  pelompat  ditentukan  beberapa  variabel  kinematika yang dapat diidentifikasi dengan software komputer yang digunakan dan sangat menentukan terhadap hasil lompatan terutama pada fase hop, step,



dan jump. Variabel tersebut antara lain adalah jarak hop, jarak step, dan jarak jump, jarak horisontal (horizontal distance) dari panggul sampai ujung kaki dari tungkai landing saat menyentuh tanah pada tiap awal ketiga fase tersebut, serta waktu take off. Sedangkan sudut take off tidak dapat di identifikasi, karena ditentukan oleh kecepatan vertikal dan kecepatan horisontal pada saat take off yang tidak terfasilitasi oleh alat ini. Prosedur untuk melakukan analisis data terutama untuk memperoleh data kuantitatif menggunakan teknik analisis yang difasilitasi oleh komputer yang meliputi: (1) pengambilan film; (2) proses editing; (3) transfer film dari video ke komputer; (4) analisis film (digitizing). Sedangkan untuk memberikan gambaran secara kualitatif penampilan teknik pelompat jangkit, maka dilakukan analisis tiap gambar sequence- form yang dibandingkan dengan penampilan atlet dunia selama fase hop, step, dan jump.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Untuk  setiap  pelompat  ditentukan  beberapa  variabel  kinematika yang dapat diidentifikasi dengan software komputer yang digunakan dan
kiranya sangat menentukan terhadap hasil lompatan terutama pada fase
hop, step, dan jump. Variabel tersebut antara lain adalah jarak hop, jarak step, dan jarak jump, jarak horisontal (horizontal distance) dari panggul sampai ujung kaki dari tungkai landing saat menyentuh tanah pada tiap awal ketiga fase tersebut, serta waktu take off. Sedangkan sudut take off tidak dapat di identifikasi, karena ditentukan oleh kecepatan vertikal dan kecepatan horisontal pada saat take off yang tidak terfasilitasi oleh alat ini,dan harus menggunakan analisis 3-dimensi. Data-data tersebut dapat dilihat pada tabel sebagai berikut.

Tabel 2. Jarak dan Rasio Fase Lompat Jangkit Pada PON XVI 2004
Palembang

Atlet       Jarak Hop
(m)

Jarak
Step (m)

Jarak
Jump (m)          Rasio            Teknik

Jarak
Total (m)

Moh. Junaedi
(DKI) Sugeng J (Jatim)

4,51      4,90                  6,28        29%:31%:40% Jump - dominated
4,77      4,45                  6,24        31%:29%:40% Jump- dominated

15,69

15,46

Doni S                 5,26      4,19                  5,79        35%:27%:38% Jump-         15,24




Atlet       Jarak Hop
(m)

Jarak
Step (m)

Jarak
Jump (m)          Rasio            Teknik

Jarak
Total (m)

(Jabar)                                                                                                dominated

Made S A (Bali)

4,58      4,49                  5,80        31%:30%:39% Jump- dominated

14,87

Tarmudianto
(Jatim)

5,06      4,75                  4,92        34%:32%:34% Balanced   14,73

Yousan C L (Jabar) Triman (Jateng)

4,10      4,36                  6,20        28%:30%:42% Jump- dominated
4,95      4,46                  4,31        36%:33%:31% Hop- dominated

14,66

13,72

Rata -rata             4,75      4,51                  5,65        32%:30%:38% Jump-

14,91

                                                                                                             dominated                    

Tabel 3. Jarak Horisontal dari Panggul Sampai Ujung Kaki Landing, Jumlah Langkah dan Waktu Take Off Selama Fase Hop, Step, dan Jump.


Atlet               Jml
Langkah

Waktu Total (detik)

Waktu Run-up (detik)

Jarak Horisontal (m)

Waktu Take off (det)


Moh. Junaedi

Hop  Step  Jump Hop     Step      Jump

(DKI)              18         07,06        05,05      0,42  0,52  0,70   0,134   0,150   0,184
Sugeng J
(Jatim)              18         06,18        04,13      0,44  0,49  0,70   0,083   0,150   0,167
Doni S
(Jabar)              20         07,06        05,12      0,65  0,46  0,42   0,117   0,134   0,150
Made S A
(Bali)               13         06,17        04,18      0,39  0,53  0,65   0,150   0,167   0,183
Tarmudianto
(Jatim)              18         06,18        04,29      0,41  0,54  0,68   0,134   0,150   0,183
Yousan C L
(Jabar)              22         07,18        05,18      0,38  0,56  0,62   0,117   0,134   0,133
Triman
       (Jateng)             15         05,10        03,22      0,37  0,38  0,51   0,116   0,150   0,150

Rata-rata             18         06,42        04,43      0,44  0,50  0,61   0,122   0,148     0,16



PEMBAHASAN



Dari tabel 2 di atas dapat diamati bahwa rata-rata pelompat jangkit Indonesia hanya mampu melakukan hop sejauh 4,75 m, step (4,51 m), dan jump (5,65 m) dengan rasio 32%:30%:38%, hal ini menunjukkan bahwa dominasi lompatan terjadi pada fase jump (jump-dominated). Sedangkan rasio antara hop, step, dan jump yang banyak dilakukan oleh para juara dunia menunjukkan 35:30:35 (Ballesteros, 1992). Jadi kesimpulan menunjukkan bahwa para pelompat jangkit Indonesia lebih banyak memberikan tekanan terutama pada fase terakhirnya, yaitu fase jump. Jarak lompatan terbesar pada fase hop dicapai oleh Doni (Jabar)
5,26 m, dan hop terkecil dicapai oleh Yousan (Jabar) 4,10 m. Hal ini menunjukkan terdapatnya perbedaan kekuatan yang mencolok dari otot- otot tungkainya, dan perbedaan teknik yang dilakukan pada saat melakukan hop, serta perbedaan kecepatan horisontal optimum yang dipertahankan pada saat hop. Jarak step terbesar dicapai oleh Junaedi (DKI) 4,90 m, dan jarak step terkecil dicapai oleh Doni (Jabar) 4,19 m. Sedangkan jarak jump terbesar dicapai oleh Junaedi (DKI) 6,28 m, dan jarak jump terkecil dicapai oleh Triman (Jateng) yang hanya 4,31 m.
Sedangkan dari tabel 3 dapat diamati jumlah langkah, waktu total, waktu run-up, jarak horisontal, serta waktu take off dari ketiga fase. Rata- rata jumlah langkah yang dilakukan oleh pelompat jangkit Indonesia adalah 18 langkah, dengan waktu total 06,42 detik dan waktu  run-up
04,43 detik. Langkah terbanyak dilakukan oleh Yousan (Jabar) 22 langkah, dan langkah yang sedikit dilakukan oleh Triman (Jateng) 15 langkah. Hal yang  paling penting adalah bahwa atlet pelompat harus mampu menciptakan kecepatan horisontal optimum yang terkontrol sampai terjadinya take off pertama (hop), kemudian ditransfer menuju fase selanjutnya, yang disertai oleh power otot tungkainya. Sedangkan jarak horisontal, yaitu jarak dari panggul sampai ujung kaki landing pada para pelompat jangkit Indonesia adalah hop (0,44 m), step (0,50 m), dan jump (0,61 m).   Kalau kita bandingkan dengan hasil penelitian dari 16 pelompat jangkit dunia menunjukkan jarak horisontal hop (0,55 m), step (0,53 m), dan jump (0,60 m) (Hay, 1993). Waktu take off, yaitu waktu lamanya kaki menempel di tanah setelah landing untuk tiap fase adalah hop (0,122 det), step (0,148 det), dan jump (0,164 det), dan waktu take off rekor dunia yang dibuat Victor Saneyev (USSR) adalah 0,133 detik,
0,155 detik, dan 0,180 detik. Hal ini berarti bahwa kebanyakan pelompat



Indonesimelakukan  take  off  terlalu  cepat  dan  terlalu  horisontal, sehingga impuls gaya yang dibuatnya terlalu kecil, meskipun harus dihindari adanya peningkatan waktu selama landing akan menurunkan kecepatan horisontal ke depan dan meningkatkan kecepatan yang mengarah vertikal. Mungkin yang terpenting untuk menciptakan waktu take off seperti juara dunia adalah adanya dukungan dari power tungkai yang memadai untuk melakukan active landing, karena kecepatan horisontal yang semakin menurun dan waktu kontak kaki dengan tanah pada saat take off yang semakin lebih lama, maka dapat dilihat bahwa secara keseluruhan waktu take off semakin besar.   Hanya kalau kita perhatikan, salah satu atlet Indonesia yang mempunyai waktu take off seperti pelompat jangkit dunia adalah Moh. Junaedi (DKI) (pemegang medali emas  PON XVI) dengan waktu 0,134 detik, 0,150 detik, dan
0,184 detik.
Dengan analisis menggunakan pendekatan tradisional (traditional approach) dari Hay (1988), dimana atlet pembandingnya adalah world
champion,  maka  dalam  analisis  ini  penulis  menggunakan  seorang
mantan juara lompat jangkit dunia juara olimpiade 3 (tiga) kali (Mexico, Munchen,   dan  Montreal)  dari  USSR   Victor  Saneyev,   yan akan digunakan sebagai pembanding dalam melakukan analisis kualitatifnya, dengan prestasi lompatannya adalah 17,44 m (prestasi yang dicapai Jonathan Edwards sebagai peringkat ketiga, pada kejuaraan Dunia 2003), dengan rasio jarak hop (6,08 m), step (4,93 m), dan jump (6,01 m). Kalau dibandingkan dengan rata-rata lompatan para pelompat jangkit atlet Indonesia,  maka  jarak  hop  terpaut  6,08-4,75=1,33  m step  (4,93-
4,51=0,42 m), dan jarak jump (6,01-5,65=0,36 m. Dari hasil itu dapat disimpulkan bahwa selama pada ketiga fase tersebut, atlet dunia telah menunjukkan dominasinya dengan selisih angka yang hampir mendekati rata-rata 0,5 m. Victor Saneyev mempunyai keunggulan bukan saja dari segi kekuatan kedua tungkainya pada saat take off dan landing, tetapi juga terutama dari segi teknik yang digunakan pada saat take off, flight, dan landing (rangkaian geraknya dapat dilihat pada gambar 3).
Dalam analisis perbandingan tersebut, hanya akan dianalisis fase gerak lompat jangkit yang paling penting yang meliputi fase  hop, step, dan
jump, termasuk juga posisi take off, flight, dan landing.  Sedangkan fase
selama melakukann run-up (termasuk penyesuaian dalam frekuensi dan


panjang langkah) tidak akan dianalisis, karena penulis tidak bisa secara langsung menentukan kecepatan linier yang dibuat oleh para pelompat selama run-up.


















Gambar 3. Sequence form Victor Saneyev

Analisis  perbandingan  ini  dapat  digambarkan  pada  penjelasan berikut ini.
Fase Hop
Posistubuh  para  pelompat  Indonesimenyerupai  posisi  tubuh Victor pada saat take off dan menyerupai posisi take off seorang pelompat jauh, dimana posisi togoknya hampir tegak lurus, ekstensi penuh dari sendi panggul, lutut, dan sendi pergelangan kaki dari tungkai take off (gambar a), yang menunjukkan dorongan ke bawah dan belakang yang kuat terhadap papan, posisi yang tinggi dari lutut depan dan kedua sikut diayun dengan teknik double-arm action, menunjukkan aksi yang kuat dari bagian anggota tubuh yang mengayun (free limbs) dan kontribusinya terhadap kekuatan yang diberikan kepada tungkai take off. Pandangan atlet lebih diarahkan ke depan dari pada yang terjadi pada lompat jauh. Karena sudut take off sebesar yang digunakan pada lompat jauh akan menciptakan hop yang panjang dan tinggi dan kekuatan pada saat menyentuh tanah dimana atlet tidak akan mampu mengontrol secara memadai untuk membuat take off yang efektif menuju fase step, maka



sudut take off Victor  agaknya lebih kecil dari pada besarnya sudut take off yang digunakan oleh para  pelompat jauh.  Kebanyakan dari ketujuh atlet Indonesia juga melakukan gerakan yang hampir sama seperti yang ditampilkan  Victor,  hanya  dua  atlet  saja  yang  menggunakan  teknik ayunan lengan yang berbeda, yaitu Doni (Jabar) dan Tarmudianto (Jatim) yang menggunakan single-arm action (speed oriente). Kalau saja kedua atlet ini terutama Doni (peraih medali perunggu) menggunakan aksi double-arm action (power oriented), maka kemungkinan akan menciptakan hasil yang lebih jauh, atlet ini menggunakan aksi ini karena ternyata merangkap sebagai seorang atlet lompat jauh juga.  Keuntungan double-arm action ini menurut Simonyi (2004) adalah, The advantage of double arm-swing is that it forces the jumping leg to exert greater force at take off. The vigorous arm action acts on the legs much in the way that a force would on a compressed spring coil. The more the coil is compressed the more it will rebound when released. This rebounding effect  demands  strong  muscles.  That  iwhy  the  tripljumper  must possess extremely strong legs. Sayang sekali pada posisi ini besarnya sudut take off tidak dapat diidentifikasi, sehingga tidak terlihat dengan jelas pada saat take off ini gambaran besarnya komponen kecepatan horisontal dan kecepatan vertikal yang dibuat oleh atlet Indonesia. Sehingga tidak dapat dibandingkan dengan besarnya sudut take off yang dibuat oleh atlet lompat jangkit dunia.
Tungkai kiri Victor direndahkan dan bergerak ke bawah, sedangkan tungkai kanannya  difleksikan diangkat ke depan dengan tujuan untuk
mempersiapkan pendaratan berikutnya (gambar b) Karena perbedaan
momen inersia dari kedua bagian anggota tubuhnya, maka sedikit rotasi ke arah belakang terjadi pada togok. Togoknya dalam keadaan posisi tegak   dan   tetap   dipertahankan   selam fase   hop   tidak   membuat kemiringan ke depan atau belakang, karena akan mengganggu kemampuannya  untuk  landing  dan  melakukan  dorongan  ke  atas  dan depan menuju fase berikutnya. Kedua lengannya sekarang bergerak ke arah luar dan belakang secara serentak. Dengan kedua lengan bergerak seperti ini dalam bidang yang sama, maka aksi dari salah satu lengannya berfungsi untuk menyeimbangkan aksi kontra lengan lain, dan tubuhnya tidak akan terpengaruh kecuali karena gerakan sedikit ke depan yang bertujuan untuk mengkompensasikan (menyeimbangkan) berat tubuhnya



yang dipindahkan ke belakang. Tekniknya hampir mirip dengan yang dilakukan oleh Junaedi (DKI), Sugeng (Jatim), Doni (Jabar), dan Tarmudianto  (Jatim),  sedangkan  Made  (Bali),  Yousan  (Jabar),  dan Triman (Jateng) tidak demikian. Bahkan posisi badan Made agak miring ke   depan,   dan   kedua   tanganny tidak   lurus   ke   samping   yang menyebabkan  menurunnya  momen  inersia  di  sekitar  tubuhnya  dan dengan demikian akan memungkinkan terjadinya ketidakseimbangan, yaitu rotasi ke depan yang mempersulit posisi landing. Hilangnya keseimbangan terutama pada saat take off akan mempengaruhi fase berikutnya, akibatnya akan menurunkan jarak lompatan secara signifikan (Master, 2004). Oleh karenanya, gerakan lengan (arms movement) pada saat take off harus membantu memperoleh angkatan (lift) dan keseimbangan yang baik.
Pada  saat  kedua  lengannya  sekarang  mendekati  batas  belakang ruang geraknya dan tungkai kanan diayun ke depan untuk persiapan landing. Pelompat  Indonesia yang  mirimelakukan  gerakan ini pada (gambar c) adalah Sugeng (Jatim), Tarmudianto (Jatim), Triman (Jateng), sedangkan  Junaedi  (DKI)  tidak  memperlihatkan  melakukan  ekstensi kedua lengannya ke belakang lebih jauh, sehingga kemungkinan hal ini yang menyebabkan lompatan step-nya pendek. Karena ayunan kedua lenganny kurang   luas,   maka   momentum   yan dihasilkan   untuk membantu dorongan tungkai take off-nya ke depan atasnya kurang. Sedangkan pelompat Doni (Jabar) dan Yousan (Jabar) menggunakan single arm-action, bahkan terlihat (gambar c) Yousan membuat posisi badan dan kedua lengannya kurang baik, sehingga akan mengakibatkan kesulitan dalam landing.
Kedua lengan telah mencapai batas belakang   dan siap untuk diayunkan ke depan. Kaki kanannya, yang telah mencapai posisi di depan
dengan  baik,  diayunkan  dengan  kuat  ke  bawah  dan  belakang  untuk
memastikan  active landing.  Tujuannya menurut LeBlanc (2004) adalah; (1) menurunkan aksi mengerem selama ground contact, (2) menurunkan hilangnya kecepatan horisontal selama ground contact, (3) berpengaruh terhadap impuls vertikal take off. Meskipun demikian, hasil riset menunjukkan bahwa active landing ini harus digunakan secara minimal selama pertandingan (Knoedel, 2004). Tujuan dari aksinya adalah untuk mencoba   memastikan   bahw kecepatan   kakiny ke   depan   dalam



kaitannya dengan titik beratnya adalah cukup besar dan oleh karenanya gaya horisontal yang memperlambat dan tak dapat dihindarkan yang disebabkan kaki landing akan kecil. Dengan cara ini, aksi tersebut akan memudahkan atlet untuk mempertahankan sebanyak mungkin kecepatan horisontalnya. Pada (gambar d) Sugeng, Tarmudianto, dan Triman memperlihatkan posisi kedua lengan yang sama yaitu lurus jauh di belakang tubuhnya, sedangkan Junaedi pada fase ini menempatkan kedua lengannya tidak lurus ke belakang badannya, mungkin saja hal ini pula yang  menyebabkan  lompatan  step-nya  kurang  jauh.  Dalam  usahanya untuk  memaksimalkan  keuntungan  yang  diperoleh  dari  penggunaan active landing ini, maka beberapa pelompat jangkit terbaik dunia mengayunkan tungkai yang di depan ke posisi yang lebih tinggi dari pada aksi yandilakukan Victor pada gambar contoh.Tungkainya  diangkat sampai  posisi  mendekati  horisontal  sebelum  menginjakkannya  secara kuat ke bawah dan belakang untuk landing. Tungkai lainnya dari para pelompat Indonesia berada pada posisi yang baik di belakang selama fase hop, sehingga setelah menyentuh tanah, maka luas (amplitudo) ayunan kedepannya dan kemudian ke atas akan terjadi sebesar mungkin.
Pada  saat  landing  pada  akhir  hop  (gambar  e),  para  pelompat memperlihatkan fleksi pada sendi panggul, lutut, dan sendi pergelangan
kakinya, yaitu bertujuan untuk menurunkan akibat benturan dengan tanah
(memperkecil gaya impuls dengan memperbesar waktu kontak) dan menempatkan sendi-sendi tersebut pada posisi optimum untuk dorongan tungkai yang mendahului take off menuju step. Ayunan kedua lengan dan tungkai belakang ke depan lebih awal pada posisi ini. Bahu kanannya sedikit lebih rendah dari pada bahu kiri, yaitu untuk menempatkan titik beratnya di atas kaki penumpu.   Posisi badan Doni (Jabar) sebelum landing dan pada saat akan take off agak miring ke depan dengan fleksi tungkai take off yang agak besar, hal ini akan menyebabkan bantuan dorongan ke depan akan berkurang baik itu dari kaki pengayun maupun dari ayunan lenganya, sedangkan Junaedi, Sugeng, Made, dan Tarmudianto memperlihatkan gerakan yang bagus dengan memiringkan sedikit tubuhnya ke arah belakang dengan kaki kontak seluruhnya ( full- footed), dan Triman terlambat mengayunkan lengan ke depan sebelum take  off,  akibatnya  menghasilkan  jarak  lompatan  yang  kurang  jauh. Karena  atlet menyentuh tanah dalam waktu yang cepat, mendekati 0,17



detik, menurut studi    terhadap 12 atlet finalis olimpiade, maka gerakan ke depan dari kedua lengan dan tungkai pengayun harus dimulai lebih awal   (hampi past sebelum   menyentuh   tanah)   dan   cepat   jika diselesaikan tepat pada saat  take off.

Fase Step
Fase step dimulai pada saat kaki take off kembali menginjak tanah. Tungkai take off Victor dalam keadaan lurus penuh dengan paha tungkai
pengayun tepat sejajar dengan tanah. Pada waktu lepas dari tanah, maka
tungkai take off-nya tetap lurus di belakang titik berat dengan betis (calf) hampir paralel dengan tanah sampai flight pertengahan. Pada waktu yang sam pula,   tungka yan berlawanan   mendorong   sampai   setinggi pinggang dimana tetap dipertahankan sampai flight pertengahan dari fase step. Pada saat tubuh mulai turun, maka tungkai pengayun lurus dengan pergelangan kaki yang difleksikan (menciptakan tuas yang panjang) dan melecut ke bawah (pawing) untuk melakukan transisi yang cepat menuju fase ketiga. Selamfase step, maka  Victor berkonsentrasi melakukan langkah step sejauh mungkin.  Pada fase inilah biasanya merupakan fase lompat jangkit yang  paling lemah dan memerlukan kualitas pelatihan terbaik pada para atlet lompat jangkit Indonesia, dapat dilihat pada tabel
1 bahwa lompatan fase step memperlihatkan jarak lompatan yang paling pendek diantara kedua fase lainya. Pengangkatan lutut jelas sekali terlihat
lebih tinggi dari pada posisi sebelumnya, togok dipertahankan hampir
tegak, dan kedua lengan digunakan untuk keseimbangan.Tungkai kanan difleksikan dan diangkat ke depan, dan sebagai reaksi dari gerakan ini, maka  togok  atlet  menjadi  miring  ke  depan.  Kedua  lengan  mulai diayunkan ke belakang untuk kedua kalinya. Pelompat Doni (Jabar) memperlihatkan  jarak step  terendah dengan 4,19 m,  mungkin  hal ini disebabkan   posisi   landing   hop   yan kurang   baik   dan   kurangnya dukungan  power  terhadap  kaki  take  off,  karena  menggunakan  single arm-action. Junaedi, Made, Sugeng, dan Tarmudianto memperlihatkan aksi yang cukup baik, yang paling bagus adalah Junaedi dan Sugeng melakukan  aksi  yang  mirip  dengan  Victor.  Yousan  memperlihatkan teknik single arm-action dan lompatan yang kurang baik, karena terlihat tidak memiliki power tungkai yang memadai dan transfer momentum yang  kurang  dari  fase  hop, dan  transisi  dari  hop  ke  step merupakan



bagian terpenting dalam mempertahankan kecepatan terbesar dan Triman juga memperlihatkan aksi lompatan yang terlalu horisontal dengan sudut lompatan yang terlalu kecil dan tanpa dukungan power tungkai, sehingga jarak lompatannya pendek. Aksi-aksi selama fase step dapat diamati pada gambar f-j.


Gambar 4. Jarak step Moh. Junaedi dan Sugeng Jatmiko.

Fase Jump
Landing pada akhir step dan take off menuju jump nampak hampir sama dengan aksi yang berlangsung pada akhir fase hop (gambar d, e dan f). Tungkai take off (tungkai pengayun pada fase sebelumnya) Victor lurus dengan kuat selama kontak dengan tanah. Dengan paha tungkai yang bebas mengayun sampai setinggi pinggang. Kedua lengannya mengayun ke depan dan atas, dan ditahan seketika itu juga pada saat kedua tangan mencapai pada ketinggian muka. Togoknytetap tegak dengan posisi dagu ke atas dan mata melihat ke arah pit. Pada saat berada di udara, maka tungkainya bergerak menuju posisi menggantung (hang) dengan kedua paha lurus di bawah togok, tungkai bengkok pada lutut. Kedua lengannya diluruskan ke atas kepala untuk memperlambat rotasi ke depan dengan kedua tangan menunjuk ke langit. Posisi ini dipertahankan sampai pertengahan flight. Kedua lengannya kemudian diayunkan ke depan, bawah dan belakang dan kedua tungkai secara bersamaan mengayun kedepan dan paha diangkat sejajar dengan tanah. Kedua lutut tetap dalam keadaan bengkok untuk mengambil keuntungan dari tuas yang lebih pendek. Pada waktu kedua paha sampai pada posisi paralel, maka kedua tungkai diluruskan dengan cepat dengan pergelangan



kaki difleksikan dan ujung kaki diarahkan ke atas. Victor mempertahankan posisi ini sampai tumitnya mengenai tanah.
Beberapa pelompat Indonesia melakukan rotasi ke depan pada saat
take off, karena kaki ketika take off mendorong ke belakang pada papan yang menyebabkan tubuhnya berputar ke arah yang berlawanan. Lebih buruk lagi tubuhnya akan terus berputar ke depan selama flight. Tungkai dan  kakinya  kemudian  mengenai  pasisecara  prematur  dan  jarak lompatan menjadi sangat berkurang. Pelompat yang mempertahankan posisi bunched-up  selama  flight menempatkan  dirinya  dalam masalah besar (seperti Made dan Tarmudianto), karena posisi fleksi yang rapat berarti tubuhnya  berputar dengan cepat, akibatnya tubuh dan kakinya berputar dengan cepat ke bawah ke arah pasir dan dengan jarak yang pendek. Untuk mengcounter rotasi ke depan yang tidak diinginkan, maka para pelompat seperti Junaedi, Doni, dan Sugeng memutar kedua lengan dan tungkainya dengan arah yang sama (ke depan) pada saat di udara. Teknik hitch-kick dapat menghentikan tubuhnya dari rotasi ke depan dan menyebabkan   berotasi   kearah   berlawanan Perubahan   rotasi   ini membantu untuk mendapatkan posisi tubuh yang baik untuk persiapan landing serta menigkatkan jarak lompatan (aksi ini terutama dapat dilihat pada saat melakukan hop). Seberapa besar reaksi perputaran lengan dan tungkainya yang dapat dilakukan, ditentukan oleh seberapa besar momentum  anguler  tubuhnya  yang  dimiliki  pada  saat  take  off  dan seberapa besar aksi yang dilakukan lengan dan tungkainya. Aksi rotasi yang kuat dari kedua lengan dan tungkai yang diluruskan telah menciptakan momentuanguler terbesar. Junaedi, Doni, dan Sugeng meluruskan kedua lengan dan tungkai di depan tubuhnya dan kemudian memutarnya ke belakang dengan posisi lurus, hal ini mempunyai efek maksimum dalam mengatasi dorongan eksentrik (off-centered direction) atau rotasi tubuh ke depan (forward body rotation).

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa: (1) jarak rata-rata yang dapat dicapai selama fase hop, step, dan
jump oleh para pelompat jangkit Indonesia adalah 4,75 m, 4,51 m, dan
5,65 m, dengan rasio 32%:30%:38% ; (2) fase yang menghasilkan jarak



lompatan terbesar dicapai pada fase jump (jump dominated); (3) jumlah langkah rata-rata yang dibuat pelompat jangkit Indonesia adalah 18 langkah; (4) waktu total rata-rata yang digunakan pelompat adalah 06,42 detik; (5) waktu run-up rata-rata adalah 04,43 detik; (6) jarak horisontal rata-rata untuk masing-masing fase hop, step, dan jump adalah 0,44 m,
0,50 m, 0,61 m; (7) waktu take off rata-rata pada fase hop, step, dan jump adalah 0,122 detik, 0,148 detik, 0,164 detik, menunjukkan bahwa kecepatan horisontal semakin kecil dan dengan demikian maka pelompat harus melakukan active landing; dan (8) Junaedi (peraih emas), Sugeng (perak),  dan  Doni  (perunggu),  maasing-masing  menggunakan  double arm-action (power oriented) dan single arm-action (speed oriented).

Saran
Lompat  jangkit  merupakan  power  balletmaka  para  pelompat jangkit Indonesia harus meningkatkan power tungkai, kecepatan run-up, keseimbangan, dan fleksibilitas. Kurangnya power dan keterampilan teknik (pengamatan beberapa pelompat dari film) akan menurunkan jarak dan jumlah kecepatan yang akan ditransfer. Berdasarkan analisis pendekatan   tradisional   dengan   idea form   Victo Saneye (juara olimpiade 3 kali), maka para pelompat Indonesia dianjurkan untuk menggunakan double arm-action.

DAFTAR PUSTAKA
Ballesteros, J.M. 1992. Basic Coaching Manual: IAAF.
Bartlett, R. 1997. Introduction to Sports Biomechanics: E & FN SPON An Imprint of  Chapman & Hall.
Bober, T. 2004. Investigation of the Take-off Technique in the Triple
Jump. Berlin: IAAF New Studies in Athletics. Volume Nineteen
Issue number 4. December 2004.
Carr, G. 1997. Mechanics of Sport: Human Kinetics.
Dyson, G.H.G., et.al. 1962. Dyson’s Mechanics of Athletics: Hodder and
Stoughton.
Dickwach. 2004.  Characteristics of the Target Technique in the Triple
Jump and Conclusions for the Formation of Technique Training . Berlin: IAAF New Studies in Athletics. Volume Nineteen issue number 4. December 2004.



Hay,  J.  1993.  The  Biomechanics  of  Sports  Techniques.  New  Jersey: Prentice Hall Englewood Cliffs.
Knudson,  D.V.  Morrison,  C.S.  1997.  Qualitative  Analysis  of  Human
Movement. Human Kinetics
Knoedel, J. 2004. Active Landing in the Triple Jump. Berlin: IAAF New
Studies in Athletics. Volume Nineteen issue number 4. December
2004.
Lawson, B. 1980.  Triple Jump. Berlin:  IAAF New Studies in Athletics.
Volume Nineteen Issue number 4. December 2004.
LeBlanc, S. 2004. The Role of Active Landing in the Horizontal Jumps.
Berlin:  IAAF  New  Studies  in  Athletics.  Volume  Nineteen  issue number 4. December 2004.
Miladinov. et.al 2004 Individual   Approach   i Improving   The
Technique of Triple Jump for Women. Berlin:  IAAF New Studies in
Athletics. Volume Nineteen Issue Number 4. December 2004. Simonyi, G. 2004. Triple Jumping with A Double-arm Swing. Berlin:
IAAF New Studies in Athletics. Volume Nineteen Issue Number 4.
December 2004.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar