METABOLIT DAN SUBSTRAT
Untuk memonitor kemajuan latihan diperlukan evaluasi keadaan metabolik tubuh
melalui asesmen terhadap beberapa metabolit dan substrat yang terkandung dalam
darah, urin, saliva atau keringat. Hasil investigasi metabolisme otot, setiap
metode yang digunakan menghasilkan informasi nilai yang berkurang ketika
metabolit dan substrat ditentukan sesuai dengan urutan berikut:
Biopsy otot perbedaan arterivenus darah venus
Keringat urin dan saliva darah kapiler
Meskipun demikian fisibilitas setiap metode
meningkat dengan urutan yang sama. Oleh karena itu riset yang dilakukan harus
menentukan metode yang terbaik (paling fisibel) agar mendapatkan informasi yang
memadai untuk mengevaluasi fungsi yang diukur. Interpretasi informasi yang
diperoleh tergantung pengetahuan jalur-jalur metabolit, pada pembentukan
metabolit, nasib metabolit selanjutnya dan produksi/penggunaan substrat
tersebut.
Biopsi Otot
Informasi yang sangat bernilai pada penyediaan energi dan proses metabolik
dapat diperoleh dari biopsi otot yang disertai penentuan metabolit/substrat
jaringan otot. Metode ini memberikan hasil yang sangat bernilai untuk memahami karakteristik
metabolisme energi pada otot manusia dan dapat digunakan sebagai petunjuk
eksperimen latihan di laboratorium.
Keterbatasan metode ini
memerlukan jarum untuk sampling biopsi percutaneous jaringan otot sehingga
sulit digunakan di lapangan. Namun metode ini banyak digunakan pada kondisi
klinik, seperti untuk menentukan elektrolit otot pada manusia. Sekarang banyak
digunakan dalam fisiologi latihan dan kesehatan olahraga. Bahkan penggunaannya meluas pada studi-studi
biokimia manusia selama latihan.
Keunggulan teknik Biopsy dapat
ditinjau dari hasil-hasil studi yang telah dilakukan, studi morfologi dan
kombinasinya dengan metode lain, pemisahan serat-serat otot, studi metabolisme
protein dan resptor hormon serta studi pada jaringan lainnya.
Hasil Studi Pendahuluan
Sejak tahun
1966, publikasi-publikasi menampilkan hasil yang dicapai dengan metode biopsi
terhadap perubahan glikogen otot, elektrolit dan senyawa fosfat kaya energi pada
manusia selama latihan. Hasilnya menunjukkan bahwa latihan yang menginduksi
penurunan glikogen otot menstimulasi aktivitas sintesis glikogen. Jadi jelas
bahwa (1) glikogen otot menjadi faktor yang membatasi tampilan kapasitas untuk
jangka waktu latihan yang lama (prolonged), (2) kompensasi glikogen setelah
latihan dapat ditingkatkan dengan kombinasi latihan melelahkan dan pengaturan diet
karbohidrat.
Metode biopsi
juga dapat digunakan untuk studi aktivitas oksidatif dan enzim-enzim lainnya, seperti:
fosforilase, glikogen sintetase, ATP myofibril (ATPase) dan penentuan laktat
dan metabolit lain, termasuk lipid otot dapat dilakukan dengan sampel-sampel
biopsi dan penggunaannya untuk mempelajari efek latihan. Bahkan sampai studi
ekstensif perubahan pH intraselular dan ekstraselular termasuk peningkatan
produksi ATP mitokondria sebagai hasil latihan daya tahan.
Menerapkan Studi-studi Morfologi
Biopsi otot
telah digunakan untuk menentukan distribusi berbagai tipe serat otot dari atlet-atlet
di berbagai cabang olahraga memungkinkan untuk membedakan efek-efek latihan akut
terhadap perubahan metabolik dan transformasinua antara berbagai jenis serat
otot dan efek gender, serta faktor genetik yang menentukan distribusi serat
otot. Dengan teknik biopsi otot, peningkatan suplai kapiler otot dan isi
mitokondria pada manusia sebagai efek latihan daya tahan dapat ditampilkan.
Kombinasi Teknik Biopsi dengan Metode Lain
Teknik biopsi
dapat dikombinasikan dengan metode/teknik lain untuk mendapatkan hasil analisis
yang lebih teliti. Kombinasi yang lebih sering digunakan adalah dengan estimasi
perbedaan arteriovenus pada berbagai lapisan dan pengukuran aliran darah pada
kaki. Contoh: deteksi aliran laktat dan potasium dari otot selama dan sesudah
latihan ekstensor lutut (Juel et. al., 1990) dan produksi energi secara anaerob
(Bangsbo et. al., 1990). Selain itu, informasi proses-proses metabolik bertambah
ketika metode biopsi dikombinasikan dengan studi-studi isotop.
Pemisahan Serat Otot dari Sampel Biopsi
Pemisahan
serat otot dari sampel biopsi memberikan peluang untuk perbandingan yang sangat
spesifik serat tipe I dan tipe II dalam studi metabolik yang memerlukan
prosedur analisis baru, seperti metode luminometrik. Metode luminometrik dapat
digunakan untuk menentukan ATP dan fosfokreatin (PCr) pada serat-serat otot
tunggal (Wibom at. al. 1991) yang menemukan bahwa laju perbaikan ATP anaerobik
hampir tiga kali lebih besar pada serat tipe II daripada pada tipe I.
Kehilangan PCr berlangsung cepat pada serat tipe II. Sintesis kembali ATP tidak
sempurna pada serat tipe II setelah 15 menit recovery oksidatif (Soderlund,
1991). Selama simulasi elektrik, terjadi glikogenolisis yang cepat pada serat
tipe II yang tedeteksi dengan jelas pada serat tipe I. Infus epinefrin
menyebabkan peningkatan 10 kali lipat laju glikogenolisis pada serat tipe I
tapi tidak meningkatkan laju glikogenolisis pada serat tipe II (Greenhalf et.
al., 1991).
Studi Metabolisme Protein
Kombinasi
metode biopsi dengan metode isotop memungkinkan untuk mempelajari metabolisme
protein pada otot yang sedang aktif. Sampling biopsi, analisis darah dan
pemberian isotop dalam bentuk kombinasi digunakan untuk mengakses metabolisme
asam amino, kinetika urea dan sintesis-sintesis pada manusia. Sebagai contoh:
infus intravena asam-asam amino yang dilabel dengan isotop stabil 13C-leusin
dan 15C-glisin dapat mempelajari dinamika sintesis protein dan
perbaikan protein selama dan sesudah latihan (Millward et. al., 1982).
Selain
menggunakan isotop karbon juga digunakan isotop hidrogen yang terikat pada
ouabain. Membran sarcoplasmic pompa Na+, K+ yang merupakan
struktur protein penting sudah diteliti dengan bantuan biopsi otot. Namun kerapatan
membran dapat diestimasi dengan jumlah ouabain yang terikat pada binding sites.
Pada vastus lateralis otot,
kerapatan pompa Na+, K+ lebih besar pada perenang, pelari
dan latihan kekuatan dibandingkan dengan mereka yang tidak terlatih pada umur
mereka relatif sama.
Penggunaan teknik biopsi terbaru adalah biopsi
vastus lateralis otot untuk menentukan efek latihan terhadap heat-shock
proteins (HSP ) yang disebut juga
stress protein. Pada manusia yang dominan adalah HSP 70
dengan Mr 72. Pada hewan latihan dapat menginduksi HSP 70.
Kapasitas endurans menunjukkan isi HSP 70
meningkat pada otot paha beberapa kali lipat sesuai dengan beban latihan.
Signifikansi positif HSP 70 untuk
memproteksi fungsi vital dan mencegah kerusakan dan mempengaruhi sintesis
protein.
Studi Reseptor Hormon
Sampel otot
biopsi untuk meneliti hormon steroid sitoplasma pada manusia diambil dengan
teknik pembedahan. Binding site diketahui spesifik untuk androgen dan
glukokortikoid yang terdeteksi pada manusia. Jumlah sampel jaringan otot yang
digunakan cukup besar, yaitu 2 hingga 4 gram sehingga tidak mungkin untuk
mendapatkan jumlah jaringan tersebut dengan menggunakan teknik jarum biopsi.
Oleh karena itu masih perlu dikembangkan metode khusus untuk studi reseptor
terutama dengan jumlah jaringan 100 kali lebih kecil (sedikit).
Sampling Biopsi Jaringan lain
Terbatas
orang sebagai sampel memunculkan penggunaan jaringan lain selain otot, seperti
sampel hepatik yang diambil sebelum dan sesudah latihan berat. Kadar glikogen
berkurang dari 15 hingga 8 gram (saat istrahat) menjadi level yang rendah,
yaitu 2 g/kg BB. Meskipun demikian sampel biopsi hati hanya dapat diambil pada
kondisi klinik dan secara etik hanya untuk diagnostik dan prognostik.
Selain hati, sampel
subkutan jaringan adiposa dewasa ini banyak digunakan dalam berbagai studi.
Pendekatan ini menunjukkan bahwa latihan endurans meningkatkan efek lipolitik
epinefrin dan efek lipogenetik insulin (Shavart et. al., 1985). Namun pada
atlet, peningkatan sensitivitas aksi lipolitik epinefrin tidak tampak dan
sensitivitas aksi lipogenetik insulin berkurang.
Pertimbangan Metodologi
Selama ini
sudah banyak teknik dan metode yang dikembangkan terutama yang berbasis pada
metode biopsi dalam penelitian fisiologi latihan. Namun terdapat beberapa hal
yang harus dipertimbangkan, yaitu biasanya sampel biopsi hanya diambil dari
satu otot sehingga ketika akan mengevaluasi perubahan metabolik selama latihan
perlu mempertimbangkan fungsi otot tersebut selama latihan. Desain eksperimen
yang benar harus ditata ulang untuk kebanyakan otot-otot yang aktif sebagai
sampling. Problem tambahan adalah terkait dengan perbedaan aktivitas berbagai
jenis otot karena lokasi serat otot memiliki unit-unit motor (syaraf). Ketika
mempelajari latihan perlu untuk memilih otot untuk biopsi sesuai dengan jenis
latihan yang digunakan dan efek-efek spesifik latihan. Pemilihan latihan
menentukan otot mana yang paling aktif. Meskipun demikian tidak selalu bahwa
otot yang paling aktif memiliki adaptasi decisif dalam peningkatan performan.
Disinilah kesulitan utama dalam metode biopsi untuk evaluasi efisiensi latihan.
Kesimpulan
Banyak fakta
yang ditemukan tentang keuntungan biopsi otot skeletal untuk mempelajari
aktivitas otot. Kemudahan sampel biopsi dengan menggunakan teknik jarum dan
ketersediaan metode histokimia dan biokimia yang valid untuk mengestimasi
komposisi serat, area melintang serat, aktivitas enzim dan energi yang
tersimpan dengan pendekatan penggunaan eksperimen. Meskipun demikian sampling
biopsi bukan sebuah metode studi lapangan dalam praktek monitoring biokimia
latihan. Studi biopsi harus dilakukan di laboratorium sesuai dengan kondisi
standar klinik untuk sampling biopsi. Biopsi diperlukan untuk mengevaluasi
komposisi serat otot skeletal sehingga sangat penting untuk memilih atlet pada
berbagai cabang olahraga dan untuk
tujuan lainnya. Lebih jauh bahwa biopsi dapat digunakan untuk memprediksi
keberhasilan atletik namun dengan kombinasi dengan metode lain untuk
mendapatkan informasi tambahan.
Metabolit-metabolit Darah
Penggunaan yang
efektif dari metabolit untuk memonitor latihan memerlukan pengetahuan khusus.
Pertama, pemahaman informasi perubahan metabolit untuk mengetahui posisi
metabolit dalam metabolisme, yaitu pemahaman tentang jalur-jalur metabolisme agar
memahami bagaimana pembentukan metabolit dan nasibnya pada proses selanjutnya,
bagaimana metabolit tersebut digunakan dalam proses sintesis, degradasinya, dan berapa laju eliminasinya
dari tubuh. Pada saat yang sama juga perlu mengetahui tingkat signifikansi
proses-proses metabolit dapat diaplikasikan. Selain itu perlu juga untuk
memahami dampak-dampak fisiologi latihan berkaitan dengan dinamika metabolit
pada saat melakukan berbagai jenis latihan. Tak kalah pentingnya peneliti harus
mempeertimbangkan metodologi untuk menghindari kesalahan asesmen metabolit.
sehingga memerlukan asesmen terhadap metabolit. Bagian ini tidak akan
menyediakan daftar metabolit namun hanya ilmu pengetahuan yang diperlukan untuk
mempelajari metabolit darah.
Tujuan kajian
ini bukan untuk mengurutkan nama-nama metabolit yang dapat digunakan untuk
memonitor latihan tetapi hanya memberikan gambaran jelas tentang ilmu
pengetahuan yang diperlukan untuk studi metabolik dan analisis datanya.
Laktat Darah
Pengukuran
laktat darah sering digunakan untuk menentukan kontribusi energi anaerobik
glikogenolisis dalam produksi energi selama latihan. Laktat merupakan produk
akhir degradasi glikogen atau glukosa secara anaerob. Oleh karena itu level laktat
hanya untuk mengukur metabolisme energi yang merupakan estimasi semikuantitatif
dari kontribusi energi anaerobik glikogenolisis dalam produksi energi.
Laktat
terbentuk dari piruvat yang terbentuk dari hasil degradasi glikogen atau
glukosa. Sebagian piruvat dioksidasi dan sebagian digunakan untuk sintesis
alanin.
Ketika
intensitas latihan rendah atau moderat, laju pembentukan piruvat setimbang
dengan laju oksidasinya. Akibatnya, jumlah asam laktat relatif konstan. Pada
waktu yang sama sejumlah asam amino rantai bercabang juga dioksidasi. Namun
bila intensitasi latihan meningkat mendekati ambang anaerobik maka laju
pembentukan piruvat melebihi laju oksidasi maksimalnya sehingga pembentukan
laktat meningkat. Di sisi lain, sintesis alanin dari piruvat tergantung pada oksidasi
asam amino rantai bercabang. Indikator laktat tidak menunjukkan secara tepat
produksi energi anaerobik glikogenolisis karena sebagian kecil asam laktat
dalam serat otot tidak termasuk. Laju anaerobik glikogenolisis lebih besar pada
serat fast glikolitik (FG) tapi kapasitas oksidasi serat oksidasi lambat (SO)
lebih besar. Akibatnya, serat FG memproduksi lebih banyak laktat dan serat SO
dapat mengoksidasi laktat lebih banyak. Sintesis kembali ATP secara oksidatif
berkontribusi signifikan pada latihan supramaksimal. Dengan kata lain pada awal
latihan intensif, energi ATP disintesis kembali dari degradasi PCr. Resintesis
ATP dari hasil kombinasi dua molekul ADP yang mungkin berkontribusi terhadap
proses energi anaerob. Jadi akumulasi laktat dalam darah hanya menunjukkan
glikolisis anaerobik tapi bukan produksi anaerobik secara keseluruhan.
Kadar laktat
darah sebetulnya mengekspresikan rasio antara inflow laktat dari otot aktif dan
outflow dari darah menuju bagian dimana metabolik akan digunakan dalam proses
oksidasi (terutama pada serat SO otot istrahat dan myocardium), sintesis
kembali glikogen (in resting muscle) atau glukoneogenesis (in liver). Studi
isotop telah menemukan rasio antara kemunculan laktat dan hilangnya laktat
darah yang konstan hingga pada intensitas latihan tertentu. Ketika intensitas
mencapai ambang anaerobik, laktat yang muncul melebihi laktat yang hilang atau
berubah menjadi piruvat. Akibatnya, laktat dapat digunakan untuk menandai
kontribusi produksi energi anaerobik dalam otot yang bekerja.
Pada latihan
yang memecah banyak glikogen karena latihan yang panjang sebelumnya atau karena
rendahnya karbohidrat dalam diet pada submaksimal kerja, konsentrasi laktat
berkurang, namun pada performan yang maksimal, produksi laktat juga menurun.
Hal menunjukkan bahwa estimasi dengan menghitung ambang anaerobik berdasarkan
nilai laktat (4 mmol/L) merupakan overestimasi atau underestimasi terhadap
intensitas latihan selama monitoring latihan.
Laktat Saliva
Penggunaan laktat saliva sebagai sebagai
indikator untuk menentukan kontribusi anaerobik glikogenolisis cukup prospek
(Ohkuwa et. al. 1995). Namun konsentrasi saliva tergantung pada laju sekresi
yang berubah di bawah pengaruh keseimbangan otonomik (rasio antara aksi
simpatetik dan parasimpatetik). Latihan fisik meningkatkan aktivitas syaraf
simpatetik level epinefrin darah menghambat laju sekresi saliva. Jadi evaluasi
respon laktat saliva memerlukan perhitungan laju sekresi saliva.
Pertimbangan Secara Metodologi
Laktat
biasa ditentukan dalam sampel arteri, kapiler arteri dan darah venus. Penentuan
laktat dalam darah venus bukan pilihan yang terbaik karena ada masalah yang berkaitan dengan
pergeseran laktat antara plasma dan eritrosit. Untuk penentuan laktat plasma
yang teliti, distribusi laktat antara plasma dan sel-sel darah dan kinetika
pertukaran antara plasma dan eritrosit harus diperhitungkan (Smith, et. al.,
1997). Lormes et. al. (1998) membuat daftar perhatian untukpenentuan laktat
dalam darah venus, yaitu:
1) Darah yang diambil
langsung didinginkan pada suhu sekitar 4oC.
2) Darah tidak boleh
diberi agen stabilisator
3) Sampek darah harus
langsung disentrigal pada suhu 4oC.
4) Supernatan (plasma)
sentrifugal tersebut digunakan untuk analisis selanjutnya.
Jika
menggunakan catheter venus untuk mendapatkan sampel darah, maka catheter
tersebut harus disimpan dan dijaga agar bebas kontaminan. Perlakuan sampel
darah dengan senyawa kalium fuorida atau heparin menyebabkan pergeseran volume
secara langsung demikian pula halnya dengan konsentrasi laktat (Lormes et. al.,
1998).
Dalam
monitoring latihan, pengambilan sampel laktat darah biasa menggunakan earlobe
atau fingertip dan biasanya hanya sekali pakai untuk mencegah terjadinya
kontaminasi sampel, termasuk dari keringat karena kandungan laktat dalam keringat
lebih tinggi daripada kandungan laktat darah.
Beberapa
prosedur analitik memberikan saran untuk mencampur sampel dengan asam
triklorida untuk mencegah clotting (pembekuan darah) atau berlangsungnya
glikolisis dalam eritrosit, tapi cara ini meningkatkan resiko kesalahan
pengenceran yang merupakan salah satu masalah dalam analizer atomatik. Dengan
demikian belum dibuktikan bahwa laktat plasma lebih menguntungkan daripada
nilai laktat dari hemoliyzed sampel darah.
Dalam
studi latihan, tujuan utama adalah untuk mencapai puncak recovery laktat.
Menurut Bishop & Martino (1993), waktu puncak laktat bervariasi dari 1
hingga 10 menit, namun untuk latihan moderat puncak laktat langsung tercapai
sesudah latihan. Puncak recovery laktat yang biasa terjadi setelah 3 menit
sesudah latihan.
Ammonia
Pada
awal latihan berintensitas tinggi, resintesis ATP berasal dari pemecahan PCr
sehingga level ADP selama otot berkontraksi meningkat dan berdampak pada
meningkatnya formasi AMP seperti reaksi berikut:
Myokinase
2 ADP AMP + ATP
ADP merupakan aktivator efektif adenilat
deaminase yang mengubah AMP menjadi IMP dan ammonia, melalui reaksi:
AMP deaminase
AMP + H2O IMP
+ NH3
Akibatnya, IMP dan amonia menjadi
terakumulasi. Defosforilase IMP meningkatkan formasi inosin yang berubah
menjadi hypoxantin dan asam urat. IMP dan amonia menjadi aktivator anaerobik
glikogenolisis. IMP berperan untuk mengaktifkan fosforilase b sedangkan amonia
aktivator fosfofruktokinase. Kedua enzim tersebut juga diaktifkan oleh AMP.
Selain
itu degradasi adenin nukleotida melalui deaminasi asam-asam amino ikut berperan
dalam akumulasi amonia dalam otot. Hal ini dapat diminimalisis dengan pembentukan
glutamat dan glutamin yang membawa gugus amin ke hati dan ginjal untuk dibuang.
Peningkatan produksi amonia juga berkaitan
dengan serat FG. Jadi pengukuran kadar amonia selama latihan memberikan
petunjuk jenis serat yang dominan. Pada atlet akumulasi amonia dalam plasma
tergantung pada intensitas latihan sprint. Respon amonia lebih besar pada
sprint daripada pelari jarak sedang. Pada latihan sepeda submaksimal tidak
meningkatkan level amonia darah dan jaringan otot. Namun pada latihan dengan intensitas 97% VO2 maks
hingga yang melelahkan, amonia meningkat secara signifikan dalam otot dengan
menurunkan total adenin nukleotida.
Amonia
juga disekresi melalui udara pernapasan yang meningkat secara eksponensial
berdasarkan intensitas kerja. Meskipun demikian peningkatan amonia dalam
pernapasan kurang dikenal daripada peningkatan amonia dalam darah.
Hypoxantin
IMP mungkin
direaminasi menjadi AMP. Jika IMP terakumulasi secara berlebih, IMP mungkin
diubah menjadi inosin. Selama latihan yang lama dengan bersepeda pada 74%
ambilan oksigen maksimal hingga fatig, konsentrasi hypoxantin plasma meningkat
hingga 8 kali lipat paralel dengan menurunnya total adenin nukleotida otot. Sesudah 60 menit latihan, level hypoxantin
plasma berkorelasi dengan konsentrasi amonia plasma dan laktat darah. Waktu
endurance berkorelasi terbalik dengan level hypoxantin plasma tapi tidak dengan
amoni plasma dan laktat darah. Pengukuran hypoxantin plasma untuk mengakses
status latihan cukup menarik tetapi masih memerlukan banyak studi lanjutan.
Asam Urat
Berkaitan
dengan degradasi adenonukleotida, asam urat darah meningkat pada latihan yang
lama (prolonged). Bahkan sekresinya dalam urin juga meningkat. Juga ditemukan
dalam keringat selama latihan. Namun penggunaan asam urat sebagai indikator
status latihan belum ditetapkan.
Urea
Urea
merupakan produk akhir metabolisme protein atau degradasi asam amino. Tempat
sintesis utama urea dalam hati dan kemungkinan terjadi dalam otot dan ginjal
juga sudah diketahui. Latihan yang lama meningkatkan konsentrasi urea darah,
liver, otot, urin dan keringat namun studi dengan isotop stabil C-14 gagal
karena latihan yang digunakan tidak merespon situasi metabolik. Kemungkinan untuk
meningkatkan produksi urea dalam hati dan otot adalah latihan induksi aktivasi
arginase yang berperan dalam sintesis urea.
Akumulasi
urea sering menjadi ukuran katabolisme protein. Laju katabolisme protein selama latihan tergantung
pada level glikogen otot awal. Ada kecenderungan untuk menggunakan urea sebagai
indikator latihan dan untuk proses recovery.
Aktivitas
enzim yang terlibat dalam sintesis urea tergantung pada diet. Pengambilan kreatin dapat meningkatkan
konsentrasi urea darah selama istrahat dan latihan tikus. Hal in berarti
kemungkinan mempertimbangkan nutrisi penting selama latihan terutama ketika
urea dijadikan sebagai indikator latihan. Konsentrasi urea juga dipengaruhi
oleh temperatur karena perubahan respon terhadap urea pada latihan-induksi.
Keterbatasan
penggunaan level urea karena produksi urea selama latihan menginduksi
peningkatan level laktat. Fakta menunjukkan bahwa konsentrasi urea tidak
meningkat ketika konsentrasi laktat naik hingga 10 sampai dengan 17 mmol/L.
Pada atlet juga tidak tampak adanya peningkatan level urea selama latihan
berintensitas tinggi. Diyakini bahwa eliminasi urea selama dan sesudah latihan
mungkin dipengaruhi oleh level urea dalam darah.
Kreatin dan Kreatinin
Kreatin
merupakan penyusun jaringan otot, 95% hingga 98% dari total kreatin ditemukan
dalam otot dengan jumlah sekitar 115 hingga 140 mmol/kg.dm. PCr yang kaya
energi mengandung 60 hingga 65% dari total kreatin terdapat dalam otot skeletal
manusia.
Selain
dalam otot, kreatin juga ditemukan dalam jalur pencernaan yang bersumber dari
bahan makanan atau disintesis di hati dari asam amino: arginin, gliserin, dan
metionin. Produksi kreatin juga terjadi di ginjal. Dari tempat produksi
tersebut, kreatin diangkut menuju otot melalui aliran darah. Kreatin bebas
merupakan bahan untuk sintesis PCr dan produk dari pemecahan PCr.
Sintesis
PCr terdiri dari pembentukan ikatan berenergi tinggi yang berikatan dengan
kreatin dan fosfat. Degradasi PCr menghasilkan energi yang dapat digunakan
untuk refosforilasi ADP menjadi ATP. Selama kontraksi otot, banyak ATP
dihidrolisis dan PCr berperan sebagai donor fosfat yang kaya energi.
Selanjutnya, kreatin bebas akan difosforilasi kembali dalam mitokondria dibawah
pengaruh aksi katalitik mitokondria kreatin kinase dengan menggunakan ATP yang
dihasilkan dari mitokondria. Jadi PCr sangat penting untuk menyediakan ATP pada
olahraga berintensitas tinggi.
Kreatinin
terbentuk dari dehidrasi kreatin. Kreatinin yang terbentuk kemudian disekresi
melalui urin. DI ginjal kreatinin disekresi tanpa reabsorbsi. Itulah sebabnya
kreatinin sering digunakan untuk mengevaluasi proses filtrasi ginjal. Sekresi
kreatinin dipengaruhi oleh diet, latihan, emosional strain, siklus mensturasi,
dan penyakit tertentu. Demikian penting perannya, dapatkah kreatin digunakan
sebagai asesmen efek latihan terhadap massa otot?. Oleh karena banyak faktor
yang mempengaruhi maka untuk menjadi indikator latihan maka harus membuat
faktor lain dalam kondisi tetap, seperti diet, strain emosi, siklus mensturasi selama 24 jam sehingga kandungan kreatin hanya dipengaruhi
oleh latihan. Secara praktek mungkin sulit untuk memenuhi kondisi tersebut.
Pada
tahun 1930an hasil-hasil studi mulai dikumpulkan untuk hasil latihan termasuk
perubahan kreatin dan kreatinin dan sekresinya melalui urin. Namun pada
individu yang terlatih dengan baik gagal menunjukkan bukti respon tersebut.
Tampaknya meskipun banyak asumsi dan dugaan tentang keterkaitan kreatin dalam
latihan namun untuk menjadi asesmen latihan belum jelas. Ditemukan juga bahwa
yang meningkat dalam darah bukan kreatin melainkan kreatinin tetapi mungkin
bukan karena latihan melainkan hasil kombinasi perubahan pada ginjal dan
transformasi kreatin. Ditemukan setelah latihan lomba lari maraton ditemukan
peningkatan kreatinin dalam darah bahkan sesudah 90 km skiing namun sejauh ini
belum ada studi yang memastikan untuk menggunakan kreatinin sebagai indikator
latihan.
Fosfat Anorganik
Fosfat
anorganik dibebaskan ke dalam darah ketika laju pemecahan ATP dan PCr lebih
besar daripada resintesisnya. Namun ketergantungan level fosfat anorganik dalam
darah terhadap pemecahan ATP dan PCr belum ditetapkan. Jadi, penggunaan fosfat
anorganik untuk asesmen rasio degradasi/resintesis dari fosfat yang kaya energi
belum dijastifikasi.
Asam Amino Bebas
Tempat utama
yang membebaskan asam amino adalah otot skeletal yaitu sekitar 50% hingga 80%
dari total jumlah asam amino bebas dalam tubuh. Konsentrasi asam amino bebas
dalam darah hanya 0,2% sampai 6% dari total asam amino tubuh. Efek latihan
terhadap asam amino bebas sangat beragam tergantung pada jenis studi yang dilakukan
dan perubahan konsentrasi asam-asam amino. Banyak hasil studi yang saling
silang pendapat karena meskipun total asam amino darah meningkat akibat
pembebasan asam amino dari otot-otot yang bekerja namun belum menunjukkan efek
konsisten dari latihan. Menurunnya total asam amino bebas dikaitkan dengan
meningkatnya ekskresi di ginjal dan karena meningkatnya katabolisme asam amino
yang menunjukkan korelasi negatif antara peningkatan level urea dan penurunan
kandungan asam amino bebas. Akibatnya, penggunaan asam amino bebas plasma untuk
mengevaluasi keadaan metabolik kurang signifikan. Untuk memonitor latihan
perhatian diarahkan pada beberapa asam amino bebas yang degradasinya
menghasilkan amonia, seperti: alanin, glutamin, leusin dan asam-asam amino
berantai cabang lainnya.
Tirosin
Dalam
percobaan biokimia, pembebasan tirosin digunakan sebagai indeks katabolisme
protein dalam otot. Otot tidak dapat memetabolisme tirosin sehingga selama
latihan yang berdampak pada peningkatan katabolisme protein, menjadi alasan
mengapa tirosin meningkat levelnya. Jadi latihan menginduksi peningkatan level
tirosin bebas dalam serum, urin dan keringat. Sesudah Boston maraton,
konsentrasi tirosin bebas meningkat pada pelari. Namun hingga saat ini belum
ada informasi yang menetapkan tirosin sebagai alat monitor latihan.
3-Metilhistidin
Sekresi
3-metilhistidin merupakan indeks khusus katabolisme protein dalam otot yang
berkontraksi. Pada tahap akhir sintesis molekul aktin dan myosin, histidin
dimetilasi namun ketika aktin dan myosin didegradasi 3-metilhistidin
dibebaskan. Asam amino yang bebas ini tidak dapat digunakan lebih lanjut
sehingga harus dieksresi lewat urin. Jadi ekskresi 3-metilhistidin mengukur
secara kuantitatif degradasi protein-protein kontraktil. Namun keterbatasannya
sebagai monitor latihan adalah efek dari asupan protein diet yang
mengandung molekul tersebut kemudian
dibebaskan melalui urin. Oleh karena itu untuk memperoleh hasil perhitungan
yang tepat maka kandungan molekul tersebut dalam diet harus dihitung sehingga
menjadi kurang praktis.
Banyak studi
menemukan bahwa latihan dapat meningkatkan sekresi 3-metilhistidin namun harus
dikoreksi dengan jumlah konsumsi senyawa tersebut dari luar. Keterbatasan lain
untuk menggunakan ekskresi 3-metilhistidin adalah adanya jaringan lain yang
mengandung aktin dan myosin , seperti kulit, otot-otot halus saluran pencernaan
dan myocardium yang juga ikut berkontribusi dalam pembebasan 3-metilhistidin.
Pengukuran 3-metilhisidin yang diseksresi melalui keringat belum ditemukan.
Asam Amino Rantai Bercabang: Leusin
Kelompok
asam amino leusin, valin dan isoleusin merupakan asam amino yang memiliki
rantai bercabang sehingga dapat dioksidasi dalam otot-otot skeletal. Berawal
dari proses deaminase oksidatif kemudian dilanjutkan dengan katalisis enzim
dehidrogenase yang juga berperan sebagai dekarboksilase membatasi laju
katabolisme asam amino berantai cabang selama latihan dan recovery.
Meskipun
6 asam amino (alanin, aspartat,
glutamin, isoleusin, leusin dan valin) digunakan dalam otot skeletal, asam-asam
amino berantai cabang sangat penting sebagai bahan oksidasi selama latihan.
Oksidasi total 1 mol leusin, isoleusin dan valin masing-msaing menghasilkan 43,
42 dan 32 mol ATP dengan total kontribusi sekitar 3% hingga 18% dari total kebutuhan
energi selama latihan yang lama.
Hasil
eksperimen dengan menggunakan isotop karbon-13 dioksida dan karbon-14 dioksida ditemukan
bahwa asam amino yang paling sering dioksidasi adalah leusin. Itulah sebabnya
oksidasi leusin meningkat selama latihan. Oksidasi asam amino berantai cabang
tergantung pada itensitas dan durasi latihan. Ditemukan hubungan linier antara
intensitas latihan dengan oksidasi leusin pada range 25% hingga 89% VO2
maks.
Sumber
intramuscular dan ekstramuscular menyediakan asam amino rantai cabang untuk
dioksidasi. Aliran asam amino rantai cabang yang tinggi dari darah menuju serat
otot. Asam amino darah bersumber dari degradasi protein pada banyak jaringan
termasuk otot sekeletal dan absorbsi asam amino dari saluran pencernaan.
Banyak
studi menemukan bahwa peningkatan jumlah asam amino rantai cabang terjadi pada
awal latihan namun kemudian menurun setelah beberapa kerja dilakukan oleh
tubuh. Asesmen dinamika leusin penting untuk memahami metabolisme asam amino.
Dalam latihan yang paling signifikan adalah monitoring level leusin plasma
darah untuk membentuk nilai kritik penyediaan asam amino bebas rantai cabang
yang mengindikasi degradasi protein dalam otot. Namun harus diketahui pula
berapa banyak leusin dalam plasma darah harus berkurang untuk meningkatkan
katabolisme protein.
Alanin
Alanin
disintesis dalam jaringan otot dari kombinasi piruvat dengan sebuah gugus
amino. Sintesis alanin meningkat seiring dengan meningkatnya produksi piruvat
hasil degradasi glikogen dan glukosa selama latihan. Alanin merupakan bahan
penting untuk glukoneogenesis dalam hati. Setelah deaminasi, gugus amin diubah
menjadi urea sedangkan rantai karbonnya menjadi bahan untuk sintesis glukosa
melalui proses siklus glukosa-alanin.
Alanin yang terbentuk
dari piruvat dan gugus amino berperan sebagai kendaraan yang mengangkut amonia
ke liver untuk mencegah akumulasi amonia dan sebagai substrat pada sintesis
glukosa.
Latihan
meningkatkan aktivitas alanine aminotransferase dalam otot skeletal. Akibatnya,
otot-otot beradaptasi terhadap latihan endurance dan kapasitasnya meningkat
untuk menghasilkan alanin dari piruvat. Pada atlet-atlet papan atas konsentrasi
alanin drah meningkat secara dramatis setelah kompetisi lari 200m dan 400m.
Masih sangat banyak hasil studi lainnya yang menemukan peningkatan konsentrasi
alanin plasma darah baik dilakukan pada tikus maupun pada manusia. Alanin
memiliki fungsi esensial dalam metabolisme, data tentang pola fungsi alanin
tersebut dipandang penting untuk memahami situasi metabolik selama latihan.
Meskipun demikian masih diperlukan studi yang lebih banyak untuk mendapatkan
informasi lebih detail tapi tidak untuk monitoring rutin latihan.
Glutamin
Deaminasi
atau transaminasi asam-asam amino melalui pembentukan glutamin. Dalam
mitokondria glutamin diubah menjadi a-ketoglutarat dengan katalis glutamat
dehidrogenase, NAD dan NH3. Sintesis glutamin terjadi dari hasil
kombinasi glutamat dengan ion amonium sehingga glutamin mencegah toksisitas
amonia selama latihan. Bahkan glutamin merupakan kendaraan yang lebih penting
daripada alanin untuk mengangkut karbon turunan protein dan nitrogen dari otot
melalui plasme ke tempat proses glukoneogenesis atau metaboisme lebih lanjut.
Glukokortikoid berperan dalam mengontrol effluks glutamin dari otot-otot
skeletal.
Latihan
menghasilkan berbagai perubahan konsentrasi glutamin plasma. Short-term sprint
exercise meningkatkan level glutamin sebaliknya maraton menurunkan level
glutamin. Latihan prolonged penurunan konsentrasi glutamin adalah sudah umum
terjadi. Namun peningkatan glutamin juga ditemukan pada latihan yang tidak
prolonged dan tidak terlalu intensif.
Jadi sangat perlu untuk mempertimbangkan kemungkinan perubahan level glutamin
yang berbeda untuk mengetahui perubahan glutamin yang sesungguhnya.
Ide untuk
menggunakan glutamin plasma untuk monitoring latihan untuk memperoleh informasi
metabolisme protein dan pusat kelalahan. Selama latihan penurunan produksi
glutamin menstimulasi degradasi protein. Selama periode recovery, peningkatan
produksi glutamin memicu sintesis protein dan menghambat degradasi protein.
Pertanyaan
yang masih memerlukan banyak studi adalah apakah rasio glutamin/amonia dalam
plasma darah menyediakan peluang untuk mengevaluasi pusat fatig? Apakah akumulasi amonia berperan dalam
kelelahan atau fatig periferal? .Kedua pertanyaan tersebut masih memerlukan
banyak studi untuk memberikan jawaban yang detail.
Triptofan
Triptofan
termasuk dalam kelompok asam amino esensial. Dalam plasma darah dalam keadaan bebas dan terikat dengan
fraksi albumin dengan konsentrasi yang rendah. Triptofan merupakan bahan untuk
pembentukan sebuah neurotransmiter 5-hidroxy-triptomine (serotonin) yang banyak
terlibat dalam mekanisme pusat fatig yang mengakibatkan triptofan dijustifikasi
sebagai monitoring training.
Sebuah
teori central fatigue berasumsi bahwa
selama latihan prolonged penurunan level asam amino rantai cabang dan
meningkatnya fasilitas triptofan bebas untuk masuk ke dalam otak. Meskipun
jumlahnya kecil namun bersaing dengan asam amino rantai cabang untuk sebagai
pembawa pada blood-brain barrier.
Sintesis
serotonin dikontrol oleh triptofan hidroxilase yang aktivitasnya tergantung
pada konsentrasi triptofan. Pemberian serotonin antagonis menurunkan daya tahan
pada manusia. Serotonin antagonis mempercepat tercapainya kelelahan pada waktu
berlari. Bahkan serotonin yang melimpah ditemukan dapat mengganggu fungsi semua
neuron dalam sistem kontrol motorik.
Interaksi
neurotransmiter otak dengan reseptonya berperan dalam onset fatig selama
latihan prolonged. Dinamika triptofan khususnya peningkatan rasio triptofan
bebas dengan asam-asam amino rantai cabang mungkin digunakan dalam monitoring
training untuk mendeteksi kondisi yang memicu pengembangan fatig pusat.
Meskipun demikian tidak cukup untuk mendiagnosis fatig pusat karena terkait
dengan integrasi dengan beberapa perubahan neuronal dan neurokimia dan
serotonin merupakan salah satu komponen dalam integrasi tersebut.
Substrat-substrat Oksidatif Dalam Darah
Dua substrat oksidatif utama dalam darah yaitu glukosa dan asam lemak bebas
yang keduanya dioksidsi dalam mitokondria. Evaluasi dinamika kedua substrat
tersebut akan memungkinkan untuk mengetahui kondisi oksidasi seperti mendeteksi
gangguan oksidasi pada hipoglikemia dalam sel-sel syaraf, ketersediaan asam
lemak bebas selama latihan endurans untuk membuktikan adanya transfer
karbohidrat ke lipid sebagai substrat oksidasi.
1.
Glukosa
Glukosa darah
termasuk dalam kelompok parameter homeostatik yang harus selalu dipertahankan
pada level konstan. Jika tidak akan terjadi gangguan berbagai jenis aktivitas
sel. Glukosa darah merupakan bahan bakar berbagai jaringan khususnya sel-sel
syaraf. Dibandingkan dengan otot, jumlah glukosa yang disimpan dalam sel syaraf
relatif kecil. Jaringan otot dapat mengganti karbohidrat dengan lipid sebagai
bahan untuk dioksidasi tetapi lipid tidak dapat dioksidasi dalam sel-sel
syaraf.
Glukosa darah
memegang peran penting sebagai kontrol metabolik, yaitu: (1) respon metabolik
ditandai dengan perubahan level glukosa darah untuk regulasi homestatik.
Perubahan level glukosa mempengaruhi respon hormonal yang berkontribusi
terhadap keseluruhan mobilisasi energi. Regulator penting adalah modulasi
insulin dan glukagon. Jika penggunaan glukosa meningkat maka output glukosa
dari hati meningkat sebagai akibat dari sekresi insulin melebihi sekresi
glukagon. Perubahan regulator dapat menurunkan penggunaan glukosa pada berbagai
jaringan tapi tidak pada sel-sel syaraf.
Peran
epinefrin dalam menstimulasi output glukosa hepatik selama latihan belum tampak
tetapi ada fakta tentang peran katekolamin. Glukoneogenesis dibawa kontrol
insulin, glukagon, katekolamin dan glukokortikoid. Disamping memicu pengaruh
terhadap glukoneogenesis dan kontrol pembebasan substrat glukonegenik dari
jaringan periferal, cortisol menghambat transport glukosa ke adiposa dan
jaringan lain. Dengan meningkatnya laju glukoneogenesis dan menghambat
penggunaan glukosa periferal, cortisol meningkatkan level glukosa darah. Sensitivitas
mekanisme homeostatik harus menjamin kestabilan euglikemia selama latihan
meskipun dalam banyak temuan tampak variabilitas dan ketidakstabilan pola
respon glukosa terhadap latihan prolonged.
2.
Asam Lemak Bebas dan
Gliserol
Jaringan
adiposa merupakan cadangan energi terbesar yang disimpan dalam bentuk
trigliserida (TG). Jika TG diurai akan menghasilkan gliserol dan asam lemak
bebas disertai dengan pembebasan sejumlah energi. Pembebasan asam lemak bebas
didukung oleh aksi hormon sensitif lipase. Sebagian dari asam lemak bebas
digunakan kembali untuk resintesis kembali TG. Namun gliserol tidak dapat
digunakan kembali dalam jaringan adiposa karena sangat mudah berdifusi melewati
membran sel adiposa dan masuk ke dalam darah. Oleh karena itu, perubahan
konsentrasi gliserol dalam darah dapat digunakan untuk mengevaluasi secara
tidak langsung laju lipolisis di jaringan adiposa.
Latihan dalam
waktu yang lama menyebakan meningkatnya laju lipolisis di jaringan adiposa
dengan aktivator utama sistem simpatoadrenal. Aktivitas penghambat a-adrenergik
mengatur lipolisis pada saat istrahat dan b-adrenergik sangat penting selama
latihan. Efek b-adrenergik berasal dari stimulasi syaraf simpatik atau
epinefrin. Hormon tersebut merupakan aktivator utama hormon-sensitive lipase.
Meskipun demikin beberapa hormon lain juga terlibat dalam lipolisis, seperti: glukokortikoid,
tirotropin dan hormon pertumbuhan. Aksi glukokortikoid mengubah metabolisme Ca2+
dalam intraselular atau menghambar fosfodiesterase agar terjadi akumulasi cAMP.
Sedangkan aktivasi katekolamin dan hormon lain tergantung pada konsentrasi
insulin. Insulin menghambat aktivitas lipase dan memblokir aksi hormon-hormon
lipolitik. Mobilisasi cadangan lipid memerlukan penurunan level insulin dalam
darah.
Penurunan
level insulin merupakan bentuk manifestasi kontrol metabolik hormonal selama
masa latihan yang panjang. Faktor metabolik yang signifikan menekan lipolisis
adalah glukosa. Glukosa mengatur mobilisasi asam lemak bebas tanpa perubahan
level insulin.
Pada latihan
ringan hingga moderat aliran asam lemak bebas dalam darah didukung oleh
penahanan laju esterifikasi kembali asam lemak bebas. Ketika laju oksidasi asam
lemak bebas melebih laju pada saat istrahat sekitar 10 kali lipat hanya 25%
asam lemak bebas yang diesterifikasi kembali yang jauh lebih kecil dibandingkan
pada saat istrahat sekitar 70%. Sesudah recovery laju esterifikasi kembali
berlangsung cepat. Peningkatan laju asam lemak bebas dalam darah mungkin
disebabkan oleh menurunkan laju reesterifikasi asam lemak bebas.
Pada intensitas
latihan hingga 70% VO2 maks.peningkatan asam lemak bebas berkorelasi
dengan intensitas latihan dan durasi latihan.Selam latihan dengan intesitas
tinggi di atas ambang anaerobik, akumulasi laktat menghambat pembebasan asam
lemak bebas dengan meningkatkan laju reesterifikasi asam lemak bebas tanpa
mempengaruhi lipolisis. Itulah sebabnya mengapa level asam lemak bebas
meningkat pada latihan dengan intensitas moderat dengan durasi yang panjang
tapi tidak pada latihan dengan intensitas tinggi pada waktu yang pendek.
Gliserol
digunakan pada glikogenolisis hati. Latihan selama 4 jam, kontribusi
glukoneogenesis terhadap output glukosa hati meningkat dari 25% menjadi 45%
yang kemudian dikaitkan dengan peningkatan penggunaan gliserol sebesar 9 kali
lipat. Selama latihan peningkatan asam lemak bebas plasma menurunkan penggunaan
glikogen otot sebaliknya penghambatan mobilisasi asam lemak bebas oleh asam
nikotinat meningkatkan penggunaan glikogen. Latihan dengan intensitas di atas
ambang anaerobik berdampak menghambat oksidasi lipid karena gagalnya mobilisasi
asam lemak bebas.
Eksperimen
dengan hewan menunjukkan bahwa hasil latihan untuk meningkatkan daya tahan,
level asam lemak bebas dan oksidasi asam lemak bebas meningkat pada kondisi aerobik
maupun anaerobik meskipun level laktat tinggi. Jadi latihan mengubah kontrol
metabolik level adiposit dan serat-serat otot (oksidasi asam lemak bebas
meningkat pada saat latihan intensitas tinggi) karena peningkatan level enzim
beta oksidasi sehingga unit asetil masuk ke dalam siklus TCA pada orang
terlatih daya tahannya. Pada orang terlatih kontribusi lemak terhadap oksidasi
beta lebih besar daripada mereka yang tidak terlatih. Meskipun demikian
sesegera mungkin ketika glikogen sudah hampis habis atau di bawah nilai kritis,
intensitas latihan harus diturunkan karena laju resintesis ATP menurun.
Asesmen efek
metabolik latihan daya tahan diperlukan untuk menentukan asam lemak bebas dan
asam laktat setelah latihan aerobik dan anaerobik untuk suatu kompetisi.
Informasi tentang asam lemak bebas dan asam laktat menunjukan penggunaan lipid
selama latihan yang panjang sedangkan perubahan level gliserol menunjukkan laju
lipolisis, sedangkan dinamika asam lemak bebas tergantung pada ketersediaan
substrat oksidasi pada otot yang bekerja. Asesmen laktat dan glukosa memberikan
pemahaman mengapa mobilisasi lipid tidak setinggi yang diinginkan.
3.
Lipoprotein
Lipoprotein
terdiri dari protein (apoprotein, yaitu: apo A, apo B, apo C dan apo D serta
beberapa polimorf apo E) dan lipid (trigliserida, fosfolipid, kolesterol tak
teresterifikasi, dan kolesterol tersterifikasi) yang merupakan kendaraan
pengangkut lipid menuju tempat metabolisme di berbagai jaringan. Fungsi sisi
protein tersebut sebagai reseptor membran dan berperan sebagai kofaktor enzim
yang terlibat dalam metabolisme lipoprotein. Dengan ultrasentrigul diketahui
perbedaan kerapatan lipoprotein plasma.
Lipoprotein
merupakan partikel berbentuk sferik dengan intinya mengandung trigliserida dan
ester kolesterol sedangkan permukaannya terdiri dari apoliporotein, fosfolipid
dan kolesterol non ester. Pertukaran lipid dan apoprotein terus berlangsung, seperti enzim
lipoprotein lipase, lipase hepatik, dan lesitin-kolesterol asiltransferase.
Empat jenis lipoprotein utama, yaitu HDL ,
LDL , VLDL dan kilomikron. HDL kemudian dapat dibagi menjadi HDL 1, HDL 2,
dan HDL 3 . Keempat
jenis lipoprotein tersebut memiliki fungsi yang berbeda.
Fungsi VLDL
untuk mengangkut trigliserol dari hati ke jaringan lain. Di bawah pengaruh
katalis lipoprotein lipase, VLDL dan kilomikron diuraikan menghasilkan gliserol
dan asam lemak bebas sebagai substrat energi jaringan periferal. Komponen
permukaan VLDL terdegradasi tersebut (kolesterol, fosfolipid) ditransfer
menjadi HDL sedangkan
apoproteinnya ditahan dalam LDL
(apo B) dan HDL (apo E dan apo C).
Latihan daya
tahan menghasilkan penurunan total kolesterol dan level LDL
dan meningkatkan konsentrasi HDL .
Proses ini menyebabkan peningkatan aktivitas lipoprotein lipase dalam otot dan
jaringan adiposa. Akibatnya, penentuan total kolesterol pada dan atau HDL dan LDL
penting untuk evaluasi efek antisklerotik latihan untuk meningkatkan kesehatan.
Asam lemak
bebas yang dibebaskan dari VLDL dan kilomikron dpat digunakan untuk
menghasilkan energi untuk otot yang sedang bekerja. Lipoprotein lipase berlokasi
di permukaan luminal dinding vaskular. Meskipun demikian pengambilan asam lemak
bebas oleh otot dari VLDL-trigliserida tampak lebih lambat dan hanya dapat
kurang dari 5% asam lemak bebas turunan CO2 selama latihan yang
panjang. Jadi tidak perlu VLDL dan
kilomikron sebagai sumber susbtrat oksidasi selama monitoring latihan.
Mikrodialisis
Mikrodialisis
merupakan teknik yang dianggap cukup menjanjikan untuk studi metabolik pada
manusia termasuk pada saat berolahraga. Serat membran berlubang atau probe
berfungsi sebagai pembuluh darah tiruan yang dapat dimasukkan ke dalam
ekstraselular jaringan adiposa subkutan atau jaringan otot. Sebagai contoh,
keseimbangan antara glukosa dan asam laktat dalam otot dan jaringan adiposa
selama kontraksi isometrik telah dipelajari dengan teknik ini. Hasil-hasil
penting yang diperoleh dengan menggunakan teknik ini adalah studi tentang
regulasi adrenergik lipolisis selama latihan.
Disamping
kelebihan yang dimiliki, teknik mikrodialisis juga memiliki keterbatasan, yaitu
hanya dapat digunakan untuk studi di laboratorium atau studi klinik dan tidak
dapat digunakan di lapangan sehingga tidak digunakan untuk monitoring latihan.
Bahkan mikrodialisis hanya dapat menganalisis molekul berukuran kecil seperti
glukosa dan asam laktat tetapi tidak untuk melekul berukuran besar seperti
TNF-alpha. Pengembangan teknik pengenceran mikro mungkin dapat mengatasi
keterbatasan tersebut.
Penutup
Metode
asesmen terhadap metabolik dewasa ini sudah banyak dilakukan dalam fisiologi
olahraga namun terbatas implementasinya di lapangan. Pada umumnya metode atau
teknik masih sulit diterapkan di lapangan dan hanya untuk dilakukan di
laboratorium atau untuk studi klinik. Hal utama yang membatasi penggunaan
metode atau teknik asesmen tersebut adalah teknik sampling, seperti biopsi
otot. Teknik biopsi otot banyak digunakan namun karena menggunakan jarum maka
kurang praktis untuk digunakan di lapangan olahraga. Pada sampling studi
reseptor hormon, teknik biopsi sulit digunakan karena memerlukan sampel dalam
jumlah yang besar. Studi pada beberapa jaringan lain, seperti hepatik dan
adiposa hanya dapat digunakan di laboratorium untuk studi klinik. Namun
kombinasi teknik tersebut dengan teknik lain, seperti penggunaan isotop
radioaktif memberikan banyak informasi atau data yang dapat diakses sehingga
menjadi lebih akurat. Disamping harus memilih metode atau teknik yang tepat,
peneliti juga harus memilih metabolit dan jaringan yang akan dimonitor.
Penentuan metabolit merujuk pada perubahan yang terjadi akibat dari latihan.
Adapun jaringan akan merujuk pada jaringan yang aktif bekerja untuk mengetahui
apa yang terjadi di jaringan tersebut. Untuk itu diperlukan pengetahuan yang
memadai untuk memahami jalur-jalur metabolik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar