FEEDBACK TRAINING-ENDUCED EFFECTS
Banyak perubahan yang terjadi dalam tubuh selama
berolahraga telah dipelajari yang dapat dibedakan sebagai berikut:
1.
Hipertrophy organ (otot skeletal, myocardium,
kelenjar adrenal dan tulang)
2.
Meningkatnya kapasitas fungsional organ dan
system fungsional
3.
Kestabilan
fungsional (kapasitas untuk mempertahankan fungsi yang diperlukan atau aktivitas metabolic selama latihan)
4.
Penyediaan fungsional (perbedaan level basal
dan kemungkinan fungsi level paling tinggi)
5.
Penyediaan energi
6. Efisiensi fungsi dan
produksi energi
7.
Koordinasi
yang sempurna, regulasi dan control fungsi tubuh dan proses metabolisme
8.
Kemampuan motorik
9.
Power, kapasitas dan efisiensi
mekanisme produksi energi (resintesis ATP)
Dalam
beberapa kasus asesmen dampak-dampak latihan tersebut memerlukan metode
biokimia untuk mendapatkan informasi adaptasi metabolic dan mekanisme
kontrolnya untuk memahami perubahan pada level metabolisme selular.
Energetika Otot dan Klasifikasi Latihan
Dalam
kebanyakan kasus, kebutuhan potensi motorik ditemukan melalui pengembangan
energetika otot. Jadi penting untuk diketahui berapa untuk kempetisi. Untuk itu
sangat berguna untuk mengklasifikasi latihan ditinjau daru energetika otot.
Kemudian selanjutnya kebutuhan fisik untuk kompetisi dianalisis sehingga dapat
memutuskan petunjuk klasifikasi apa yang penting untuk dikembangkan dalam tubuh
dan tes-tes apa yang digunakan untuk mengukur efektivitas latihan.
Berikut
klasifikasi latihan kompetisi dalam olahraga dalam dua kategori, yaitu siklik
dan asiklik namun dapat pula terjadi kombinasi keduanya.
Gambar
1. Klasifikasi Latihan Kompetitif dalam Olahraga
Klasifikasi
ini penting untuk menjelaskan mekanisme pokok dari produksi energi (ATP
resintesis). Hasil akhir dari analisis ini adalah akan menunjukkan
latihan-latihan yang dibutuhkan dalam training untuk meningkatkan performance.
Energetika Anaerobik
Tiga jalur
resintesis ATP anaerobik, yaitu: (1)
mekanisme fosfokreatin, (2) mekanisme myokinase, dan (3) mekanisme
glikogenolisis anaerobik. Untuk bisa mengevaluasi efek latihan terhadap jalur
produksi energi tersebut setiap jalur harus dikarakterisasi melalui power dan
kapasitas resintesis ATP.
1. Mekanisme
Fosfokreatin
Evaluasi
mekanisme fosfokreatin dilakukan dengan cara test output power karena teknik
biopsi tidak praktis di lapangan. Output power maksimal dalam suatu aktivitas
tunggal sering diukur dengan tes vertikal jump dengan menggunakan rumus:
Power
(W) = 21,67 x Massa Tubuh (kg) x
Tinggi lompatan vertikal (m)
Namun kurang tepat jika output power hanya
dalam suatu aktivita tunggal untuk mengestimasi power mekanisme fosfokreatin
untuk menjamin resintesis ATP yang cepat. Oleh karena laju produksi ATP tidak
stabil, yaitu langsung meningkat dan mencapai nilai tertinggi selama 2 detik
pertama latihan pada laju pemakaian energi tertinggi. Pada 3 -5 detik kedua
sudah menurun tapi masih lebih besar daripada laju glikogenolisis anaerobik.
Jadi estimasi power mekanisme fosfokreatin yang benar adalah diukur pada saat
selama 5 detik pertama latihan. Meskipun demikian mengukur power selama 5 detik
pertama jumping konsekutif maksimal pada awal tes Bosco lebih cocok. Juga telah
digunakan tes ergometer dan treadmill sprinting.
Durasi
latihan tes berkisar antara 5 – 15 detik. Fox menggunakan latihan 10 detik
dengan bout repeated dengan interval antara bout ulangan selama 30 detik.
Kapasitas anaerobik-alactatic dievaluasi dengan menghitung jumlah repetisi
hingga penurunan intensitas latihan atau jumlah total kerja pada output power
maksimum. Meskipun demikian yang lebih baik adalah menghitung level aktual
output power selama periode awal tes latihan. Tes Wingate dengan ergometer
sepeda menggunakan rumus:
Power (W) = revolusi roda x 0,98 x [60/durasi tes (s) ] x resistansi (N)
Bosco mengusulkan rumus menghitung power
rata-rata selama tes jumping sebagai berikut:
9,8 x total
waktu flight (s) x durasi (s)
Power = 4 x
jumlah lompat x [durasi
tes – total waktu flight (s)]
Dahulu
berusaha untuk menggunakan kreatin bebas dan fosfat anorganik untun
mengevaluasi fungsi mekanisme fosfokreatin. Namun banyak kritik terhadap cara
tersebut terutama berkaitan dengan kurangnya hasil yang mengkonfirmasi
hubungan kuantitatif antara penggunaan
mekanisme fosfokreatin dan peningkatan level kreatin dan fosfat anorganik darah.
Lebih lanjut, pembebasan kreatin dalam
pemecahan fosfokreatin dengan cepat digunakan kembali untuk resintesis
fosfokreatin dan untuk transport energi dari mitokondria menuju myofibril.
2.
Mekanisme Myokinase
Pendekatan
lain yang masih dapat dipertanyakan adalah penggunaan konsentrasi amonia plasma
untuk mengevaluasi energetika latihan short-term. Selama latihan intensif
short-term, akumulasi amonia dalam plasma mengindikasikan degradasi AMP. Jadi,
akumulasi amonia berkaitan dengan reaksi myokinase (2ADP ---à ATP + AMP), yang diikuti dengan degradasi AMP.
Meskipun tes pengukuran menggunakan amonia belum dikembangkan, metode ini
tampaknya merupakan pendekatan yang cukup menjanjikan. Alasan-alasan penggunaan
amonia sebagai berikut:
a. Produksi amonia
meningkat pada latihan sprint
b. Produksi amonia
selama latihan tergantung pada jumlah serat fast-twitch
c. Latihan sprint
meningkatkan respon amonia plasma terhadap latihan short-term yang
berintensitas tinggi.
Meskipun demikian masih ada pertanyaan,
apakah peningkatan konsentrasi amonia dalam plasma darah menyediakan informasi yang
memadai tentang power reaksi myokinase atau tentang kapasitas mekanisme ini.
Secarfa teoretis sangat mungkin disarankan bahwa power mekanisme resintesis ATP
mungkin dievaluasi oleh laju akumulasi amonia dalam darah, sebaliknya
konsentrasi amonia tertinggi mungkin
menjdi ukuran kapasitas mekanisme myokinase.
Dalam latihan
prolonged juga ditemukan peningkatan konsentrasi amonia bedasarkan durasi
latihan, seperti pada atlet endurans. Meskipun demikian laktat lebih sensitif terhadap
intensitas latihan daripada respon amonia. Selama latihan prolonged terdapat 2
sumber amonia oleh otot-otot yang bekerja. Selain dari hasil degradasi AMP,
amonia juga mungkin dihasilkan dari hasil oksidasi asam amino berantai cabang.
Akumulasi dari asam amino rantai cabang tersebut berbanding terbalik dengan
detoksikasi amonia dengan bantuan sintesis alanin dan glutamin. Jadi amonia mungkin
digunakan untuk reaksi myokinase dan degradasi AMP hanya pada lari sprint.
Pertanyaan
kemudian muncul adalah apakah level asam urat plasma atau hipoxantin lebih
spesifik berkaitan dengan degradasi AMP daripada akumulasi amonia? Asam urat
dan hipxantin seperti halnya amonia terbentuk dari hasil degradasi AMP yang
juga meningkat levelnya selama latihan.
Parameter
kuantitatif degradasi AMP harus menyediakan informasi yang diperlukan karena
reaksi myokinase merupakan satu-satunya jalur resintesis ATP yang menghasilkan
sebuah reduksi cadangan ATP total. Dalam reaksi myokinase, ATP disintesis ulang
sebagai hasil dari kombinasi dua molekul ATP selain fosforilasi setiap molekul
ADP di jalur lain.
3.
Glikogenolisis Anaerobik
Glikogenolisis
anaerob terdiri dari degradasi molekul glikogen atau molekul glukosa darah
sampai dengan pembentukan asam piruvat. Asam piruvat mungkin dioksidasi atau
diubah menjadi laktat atau digunakan untuk sintesis alanin arau resintesis
glikogen. Pada degradasi glikogen, energi membebaskan 3 molekul ATP untuk
sintesis ulang. Degradasi sebuah molekul glukosa memberikan energi resintesis
dua molekul ATP. Glikogenolisis anaerob sangat signifikan pada hampir semua
latihan intensif.
Power
Untuk
mendapatkan banyak informasi uji-uji power glikogenolisis anaerob, satu hal penting
untuk diketahui yaitu dinamika mekanisme glikogenolisis anaerob dalam resintesis
ATP terutama laju prosesnya. Laju glikogenolisis mencapai nilai maksimum antara
40 – 50 detik ketika aktivitas otot dengan intensitas tinggi diinduksi dengan
listrik sehingga menjadi sering berkonstraksi (Hultman & Sjoholm, 1983). Menurut Greenhaff dan Timmons (1998), laju
glikogenolisis yang menghasilkan ATP tertinggi pada 2 sampai dengan 20 detik
konstraksi pada saat laju pemakaian energi yang tinggi. Produksi ATP dari
fosfokreatin yang berlebih dari glikogenolisis selama 10 detik pertama sebuah
konstraksi yang menghasilkan induksi listrik bahkan lebih lambat terjadi pada
glikogenolisis. Meskipun demikian dari separuh berikutnya (kedua) dari menit
pertama, laju glikogenolisis turun secara signifikan. Akibatnya, sebuah tes
berdurasi 30 detik disarankan untuk asesmen power glikogenolisis anaerobik.
Sebuah tes Wingate 30 detik diketahui cukup
informatif bahkan sudah diverifikasi. Penentuan substrat-substrat energi dan
laktat dalam otot perempuan yang sedang bekerja menunjukkan bahwa selama 30
detik tes, ATP menurun 33,5%, fosfokreatin turun sebesar 60%, dan glikogen
turun sebesar 23,2%. Laktat otot meningkat 6,7 kali lipat. Penulis menyimpulkan
bahwa tes Wingate merupakan sebuah tes yang memuaskan untuk power otot maksimal
yang dapat dihasilkan secara anaerobik tapi tes dengan durasi 30 detik latihan
bukan menjadi beban dari kapasitas maksimal produksi energi secara anaerob.
Jadi tes Wingate mungkin banyak digunakan untuk asesmen power mekanisme
produksi energi anaerobik daripada untuk menghitung kapasitas mekanisme
tersebut.
Serresse et
al. (1988) mengestimasi bahwa pada sebuah tes 10 detik ergometer maksimal,
mekanisme ATP berkontribusi 53% dari total pemakaian energi, 44% glikogenolisis
anaerobik dan 3% fosforilasi oksidatif. Nilai untuk sebuah tes 30 detik menjadi
23%, 49% dan 28% sedangkan untuk sebuah tes 90 detik masing-masing akan menjadi
12%, 42% dan 46%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa dalam sebuah tes latihan 30
detik secara all-out, jalur produksi energi yang dominan adalah glikogenolisis
anaerobik. Meskipun demikian kontribusinya hanya 50%. Studi lain menunjukkan
bahwa kontribusi aerobik selama sebuah tes 30 detik sekitar 25% (Thomson &
Garvie, 1981) atau 18,5% (Kavanagh & Jacobs, 1988) dari total pemakaian
energi selama latihan.
Kontribusi
produksi energi aerobik meningkat ketika tes dilakukan dalam waktu yang lama
(prolonged). Konsentrasi laktat mencapai puncaknya setelah 60 detik latihan.
Namun penentuan laktat tidak memberikan informasi yang signifikan. Foster et al. (1995) menunjuk kebutuhan untuk
signifikasi turnover laktat yang terakumulasi dalam otot dan darah selama latihan.
Mereka tidak mempertimbangkan respon laktat darah dalam latihan all-out untuk
menjadi sebuah indeks kontribusi glikogenolisis anaerobik dalam energetik otot.
Pada latihan suprmaksimal,
laju produksi laktat surpases beberapa kali eliminasi laktat. Latihan dengan
intensitas yang lebih besar kesalahan metodologi lebih kecil dari eliminasi
laktat selama latihan.
Kapasitas
Pada
asesmen kapasitas anaerobik, Foster et al, (1995) merekomendasikan kombinasi Quebeck
tes 90 detik atau tes ergometer air-braked yang diusulkan oleh Withers et al.
(1991) dengan pengukuran akumulasi defisit O2 . Ketika defisit O2
digunakan selain level laktat darah, kesalahan metodologi dari pembongkaran
atau eliminasi laktat dapat dihindari. Namun apakah tes 90 detik optimal untuk
menguji kapasitas gelikogenolisis anaerobik.
Akumulasi
defisit oksigen dapat dihitung dengan mengurangi dengan akumulasi pengambilan
oksigen (diukur selama latihan) dari akumulasi kebutuhan oksigen (diukur selama
latihan dan periode recovery). Pengukuran kekurangan oksigen tergantung pada
akurasi asesmen cost energi untuk kerja yang tuntas dilakukan. Nilai defisit
oksigen sebagai ukurang kapasitas anaerobik masih menjadi pertanyaan ketika
cost energi diestimasi dan tidak diukur.
Meskipun
laktat darah merupakan sebuah indikasi glikogenolisis namun tidak dapat
memberikan pengukuran yang tepat hasil energi anaerobik. Respon laktat
tergantung pada intensitas dan durasi latihan. Perpanjangan waktu tes intensif
latihan meningkatkan kontribusi gelikogenolisis anaerobik dan berkurangnya
kontribusi mekanisme fosfokreatin. Meskipun demikian kontribusi fosfosrilasi
oksidatif meningkat.
Sebuah
cara untuk mengakses kapasitas gelikogenolisis anaerobik mendeteksi nilai-nilai
maksimal laktat maksimal atau defisit oksigen oleh penggunaan sebuah set
latihan interval anaerobik. Volkov (1963) menemukan bahwa maksimum aktual
konsentrasi laktat darah dan defisit oksigen muncul setelah berlari 400m 4 kali
pada kecepatan maksimum (waktu istrahat interval 4 – 6 menit, 3 – 4 menit dan 2
menit antara pertama dan kedua, kedua dan ketiga, dan ketiga dan keempat setiap
latihan. Konsentrasi laktat hingga 26 mmol/L telah ditemukan pada pelari jarang
menengah dan pemain es-hokey, hingga 24 mmol/L pada pemain bola basket dan
wrestler. Konsentrasi laktat sangat tinggi dikonfirmasi sesudah latihan
interval dikaitkan dengan nilai pH 6,8 – 7.
Green
(1994) menyimpulkan bahwa kapasitas anaerobik merupakan jumlah maksimal dari
resintesis ATP melalui metabolisme anaerobik (pada semua organisme) selama
sebuah jenis latihan maksimal berdurasi pendek tertentu. Selain itu Green
(1994) juga mendebatkan istilah kapasitas anaerobik maksimal dan kapasitas
anaerobik yang bukan sinonim karena kapasitas anaerobik maksimal berkaitan
dengan nilai maksimal yang tidak terkait dengan jenis dan durasi latihan.
Bahkan dianggap hanya teoretis karena atlet membutuhkan kesempatan untuk
menggunakan kapasitas anaerobik.
Oleh
karena latihan terutama latihan sprint meningkatkan respon epinefrin maka
sangat mungkin untuk menganalisis hubungan antara peningkatan produksi
epinefrin dari sebuah set latihan yang sangat intensif dan mobilisasi kapasitas
kerja anaerobik. Peningkatan respon katekolamin selama latihan sangat penting
untuk kapasitas kerja anaerobik yang tinggi.
Energetika Aerobik
Pembebasan
energi dalam oksidasi menyediakan sebuah peluang untuk resintesis 38 molekul
ATP yang merupakan jalur utama resintesis ATP. Penggunaan peluang ini dibatasi
oleh transport oksigen ke otot yang bekerja dan potensial oksidasi (jumlah
enzim oksidatif dan aktivitasnya). Secara keseluruhan dalam tubuh, transpor
oksigen dicirikan oleh ambilan oksigen maksimal. Pengukuran potensial oksidasi
secara tak langsung dari otot skeletal ambang anaerobik yang dinyatakan dalam
satuan output power. Ambilan oksigen maksimal merupakan indeks power aerobik.
Masalahnya adalah bagaimana asesmen kapasitas aerobik.
Fosforilasi Oksidatif: Power Aerobik
Laju
fosforilasi oksidatif tergantung pada konsentrasi dan aktivitas enzim-enzim
mitokondria. Pada saat yang
sama, potensial oksidasi serat otot skeletal tergantung pada suplai oksigen.
Jadi dalam latihan, efek metabolisme aerobik harus dbedakan dari kejadian dalam
serat otot mitokondria dan dalam transpor oksigen dari paru ke otot.
Sampel biopsi
menyediakan peluang untk membangun sebuah peningkatan massa mitokondria dan
aktivitas enzim-enzim oksidasi dalam mitokondria. Sebuah cara tak langsung
untuk medapatkan informasi adalah asesmen ambang anaerobik. Cara lain yang
paling penting dan banyak digunakan sebagai parameter integral adalah ambilan
oksigen maksimal (VO2 maks.)
Ambilan Oksigen Maksimal
Ambilan
oksigen maksimal mengukur kemampuan tubuh untuk dapat mengambil dan menggunakan
oksigen selama latihan yang intensif. Indeks ini tampak untuk menyatukan
kuantifikasi kejadian-kejadian pada level sistem mitokondria dan transport
oksigen. Ambilan oksigen maksimal tergantung pada laju transpor oksigen. Jadi
peningkatan ambilan oksigen dibatasi oleh aliran darah yang melalaui otot-otot
yang bekerja.
Ketidaksesuaian
antara peningkatan ambilan oksigen maksimal selama latihan dan aktivitas enzim
oksidatif dalam serat otot telah dikonfirmasi melalui fakta bahwa ambilan oksigen maksimal tidak
mencerminkan pola potensial oksidatif otot- otot selama latihan. Namun
ditemukan bahwa ada hubungan yang erat antara ambilan oksigen maksimal dengan
aktivitas suksinat dehidrogenase dan sitokrom oksidase hanya pada otot vastus
lateralis setelah 3 – 4 minggu pertama latihan endurans pada pria. Selama 6
minggu berikutnya sesudah latihan, aktivitas enzim menurun tapi ambilan oksigen
maksimal erlatif bertahan pada level yang ditemukan pada akhir latihan.
Perbandingan cross-sectional menunjukkan bahwa ambilan oksigen maksimal
atlet-atlet endurans dua kali orang tidak terlatih sebaliknya aktivitas enzim
mitokondria otot atlet endurans 3 kali lipat hingga 4 kali lipat lebih besar
daripada pada non atlet.
Suplai darah
otot-otot yang bekerja tergantung pada vasodilatasi lokal. Vasoregulasi lokal berkontribusi
kepada aliran darah meningkat setelah latihan endurans. Jelasnya, dalam hal ini
ambilan oksigen maksimal kebalikan dari resistensi sistem vascular. Ditemukan
bahwa ada korelasi yang lebih besar antara VO2 maks dengan konduktansi vascular selama
latihan pada atlet endurans daripada pada orang tidak terlatih. Fenomena ini
menunjukkan laju total sirkulasi dan juga kapasitas fungsional jantung.
Aktualisasi
lengkap kapasitas fungsional jantung memerlukan kondisi untuk mengefektifkan
pembaharuan udara alveolar dan difusi oksigen dalam paru. Pendapat lain untuk
mengefektifkan transport oksigen adalah jumlah total hemoglobin dalam sirkulasi
darah. Meskipun demikian sebuah peningkatan volume total darah memiliki makna
positif jika konsentrasi hemoglobin tidak turun.
Nilai
pokok dari mengukur VO2 maks tidak hanya memberikan informasi teoretis
tetapi puncak aktual ambilan oksigen selama melakukan latihan intensif
tertentu. Intensitas latihan cukup untuk membangkitkan kemungkinan tertinggi
ambilan oksigen disebut sebagai latihan maksimal. Latihan dengan intensitas
yang lebih rendah disebut submaksimal dan lebih besar disebut supramaksimal. Meskipun demikian istilah maksimal
bersifat nilai historis bukan nilai fisiologis.
Menentukan Ambilan Oksigen Maksimal
Metode
pilihan untuk mengukur langsung ambilan oksigen selama latihan incremental
dapat berupa sepeda ergometer atau treadmill. Beberapa kriteria digunakan untuk
menentukan bahwa pengukuran puncak VO2 sesungguhnya merupakan nilai
maksimum. Kriteria pertama yang paling penting adalah kurangnya peningkatan
lebih lanjut output jantung atau aliran darah pada otot. Namun karena masih ada
komplikasi secara metodologi dan sulit untuk menentukan dengan tes-tes yang ada
maka kriteria kedua dari VO2 maks, yaitu: puncak laju jantung dengan
estimasi menggunakan rumus: 220 – umur (tahun), puncak ratio pertukaran gas
respirasi (respiratory quotient) lebih tinggi daripada 1,10 dan puncak laktat
darah 10 – 12 mmol/L. Secara etik jika subjek yang dites menolak untuk
meneruskan tesnya maka testing harus dihentikan dan kriteria kedua harus
digunakan.
Beberapa
metode asesmen secara tak langsung power aerobik maksimal didesain untuk
menghindari usaha maksimal dengan menggunakan latihan testing submaksimal dan
pengukuran lain, seperti laju denyut jantung, indeks performan endurans. Asumsi
dasar bahwa prediksi VO2 dengan submaksimal adalah (1) ada hubungan antara laju
denyut jantung dan pengambilan oksigen selama latihan, (2) Laju denyut jantung
maksimun diketahui dan (3) efisiensi mekanik performan latihan tes diketahui.
Kesalahan sistematik hingga 10% dan kesalahan random 10% membatasi nilai
informasi yang diperoleh melalui prosedur ini.
Ambang Anaerobik
Istilah
critical metabolic level pertama dikemukakan oleh Owles (1930) namun kemudian
berubah menjadi ambang anaerobik yang digunakan secara luas dan lebih diterima
hingga saat ini. Meskipun demikian masih ditemukan banyak hal yang
membingungkan seperti meningkatnya jumlah laktat darah hanya pada intensitas
yang lebih besar daripada VO2 maks. Intensitas latihan berkaitan
dengan ambang anaerobik yang diketahui dengan signifikan lebih rendah daripada
VO2 maks. Ketidakcocokan tersebut mengindikasikan bahwa besaran
aktual dari respon laktat terkait dengan intensitas latihan tidak terdeteksi.
Pada latihan
incremental, respon laktat darah ditandai dengan sebuah peningkatan kurva
linier yang dapat diukur pada intensitas latihan mendekati 50% VO2
maks. Peningkatan tajam kosentrasi laktat dimulai pada intensitas 70% - 80% VO2
maks yang kemudian diberi istilah lactate break point, lactate thereshold,
onset pf lactate accumulation dan aerobic-anaerobic thereshold. Pada titik ini,
konsentrasi laktat rata-rata sekitar 4 mmol/L.
Gambar
2. Konsentrasi Laktat Selama Berlari Treadmill Incremental
Ambang anaerobic yang dideteksi dengan
cara ini telah disebut ambang laktat 4 mmol/L. Dengan kata lain deteksi power
anaerobik dengan menggunakan analisis kurva laktat telah mengindikasikan ambang
anaerobik individual.
Esensi Fisiologi Ambang Anaerobik
Istilah
ambang anaerobik mengindikasikan bahwa maksudnya untuk menunjukkan transfer
dari proses aerobik menuju proses anaerobik dalam produksi energi (ATP
resintesis) Namun 2 pertanyaan yang muncul, (1) mengapa lakta diproduksi dalam
jumlah kecil selama latihan tampak pada intensitas moderat yang jelas-jelas
memerlukan hanya resintesis ATP aerobik?, (2) apakah alasan untuk ”breaking
point” dalam peningkatan linier konsentrasi laktat dengan peningkatan
intensitas latihan?.
Untuk
menemukan sebuah jawaban terhadap pertanyaan (1) kita harus kembali ke
pemahaman dasar tentang metabolisme. Reaksi-reaksi biokimia dikontrol oleh
aktivitas berbagai enzim. Prinsip pengaturan adalah ”more versus less”
bukan ”yes versus no”. jadi pengaturan
kuantitatif menjamin pemindahan yang lancar dan menghindari ketidakmampuan
menyesuaikan diri yang disebabkan oleh kurangnya switching in dan switching
off. Jadi sebuah peningkatan intensitas latihan memperbesar laju glikogenolisis
dan glikolisis. Dari sebuah level kritis intensitas latihan, laju formasi
piruvat mulai melebihi laju fosforilasi oksidasi meskipun laju fosforilasi
oksidasi sangat dekat dengan maksimum, pembentukan laktat diperbesar pada laju
yang meningkat.
Jumlah kecil produksi laktat oleh otot-otot yang bekerja
selama latihan intensitas rendah direfleksikan oleh laju inflow laktat ke dalam
darah. Meskipun demikian eliminasi laktat dari darah karena diangkut ke bagian
oksidasi setimbang dengan laju inflow laktat ke dalam darah. Disamping
oksidasi, hati menggunakan laktat untu glukoneogenesis. Namun konsentrasi
laktat menjadi stabil pada peningkatan konsentrasinya dan levelnya menjadi
tidak meningkat lagi meskipun inflow laktat terus berlanjut selama latihan
dengan intensitas yang sama dilanjutkan. Pada konsentrasi laktat ini,
kesetimbangan menjadi rusak. Namun penentu utama dari breaking point kesetimbangan
bukan laju inflow laktat melainkan kemungkinan untuk oksidasi laktat dalam otot
yang bekerja. Dalam hal ini, maka ambang anaerobic mengekspresikan potensial
oksidasi otot skeletal seseorang.
Asesmen ambang anaerobic melalui breakpoint kurva laktat
selama latihan incremental merefleksikan sebuah peritiwa kritis dalam
penyesuaian metabolisme menuju sebuah level latihan yang meningkat. Makna
fisiologi dari critical event bahwa laju metabolisme oksidatif tidak dapt
meningkat lagi. Keterlibatan mekanisme anaerobic pada produksi energi tidak
dapat dihindari untuk melakukan latihan dengan output power yang lebih tinggi.
Memahami ambang anaerobic memberikan peluang untuk
menggunakan ambang anaerobic untuk sebuah evaluasi potensial oksidatif
otot-otot skeletal. Meskipun ambang anaerobic tidak dapat diukur secara
kuantitatif dari kemungkinan untuk metabolisme oksidatif dalam otot skeletal,
namun masih dapat menggunakan sebagai karakteristik semikuantitatif.
Level intensitas latihan berkaitan dengan ambang anaerobic
yang telah didefinisikan baik sebagai persentase VO2 maks atau output power. Dalam percobaan
latihan dan monitoring latihan, definsi intensitas latihan pada ambang
anaerobic menjadi tidak bermakna. Latihan mungkin dapat meningkatkan VO2
maks jadi ekspresi ambang anaerobic mengakibatkan nilainya tergantung pada VO2
maks. Meskipun demikian, ide untuk menggunakan ambang anaerobic sebagai sebuah
indeks independent untuk menginformasikan tentang kapasitas oksidatif otot
skeletal tanpa sebuah hubungan timbale balik ke keefektifan transport oksigen.
Jadi disarankan untuk menggunakan nilai output power atau kecepatan berlari
untuk mendefinisikan itensitas latihan pada ambang anaserobik.
Output power atau kecepatan berlari pada ambang
anaerobic berkorelasi tinggi dengan performan dalam long-distance events,
khususnya dalam lomba lari marathon. Ambang lakta dikaitkan dengan breaking
points secara dinamik dari berbagai parameter seperti ambang intensitas untuk
respon katekolamin, abrupt rise dalam aktivitas elektromyograph otot yang
bekerja, kenaikan sodium saliva dan konsentrasi klorida, turunnya penjenuhan
oksigen hemoglobin dan peningkatan konsentrasi amylase saliva. Dilaporkan juga
bajwa ada korelasi yang signifikan antara ambang laktat, ambang potassium, ambang
sodium, ambang kalsium dan ammonia.
Aspek-aspek Metodologi
1. Penentuan ambang
anaerobic individual berdasarkan pada analisis laktat/kurva intensitas laktat
2. Interpolasi
intensitas latihan untuk konsentrasi laktat darah 4 mmol/L
3.
Penentuan laktat maksimal steady
state (MLSS)
Metode
pilihan haruslah MLSS. Pada cara
ini, kemungkinan paling tinggi intensitas latihan selama laktat bertahan pada
level yang stabil. Namun komplikasi metode timbul karena kebutuhan untuk
menggunakan sejumlah latihan kontinu yang dilakukan pada intensitas yang
berbeda tapi masing-masing dilakukan dengan durasi minimal 20 menit.
Suatu metode
yang direkomendasikan oleh Billat et al. (1994) adalah penggunaan intensitas latihan 60% dan 80% VO2 maks
dan untuk istrahat selama 40 menit diantara 2 latihan tes. Hasilnya, level
laktat steady adalah antara 4 dan 6 mmol/L. Stegmann dan Kindermann (1982)
menggunakan 50 menit latihan steady untuk menguji nilai individual ambang
anaerobik dan menemukan level steady
laktat 3,1 hingga 4,5 mmol/L. Pada atlet elit trathletes dan bersepeda, nilai
bervariasi dari 3,2 hingga 12,2 mmol/L. Nilai yang kurang bervariasi ditemukan pada
pendayung, cyclists dan speedskaters. Nilai rata-rata laktat pada MLS S dalam kelompok dalam 3,1 hingga 6,9 mmol/L.
Menggunakan
kurva laktat/intensitas latihan secara keseluruhan mendatangkan sebuah problem
dalam menentukan apakah beaking point yang ditentukan secara visual atau sebuah
program komputer adalah benar karena beberapa perbedaaan individual muncul yang
membuat keputusan menjadi sangat meragukan. Untuk menghindari kesalahan
pengamatan dalam mendeteksi laktat breaking point diusulkan analisis
trigonometri khusus dari kurva lactat/intensitas latihan.Ditemukan pula bahwa
level laktat darah individual pada ambang anaerobik bervariasi dalam
batas-batas yang luas (broad limits) sehingga ditekankan pada kebutuhan asesmen
ambang anaerobik individual.
Ambang 4
mmol/L telah banyak diases secara luas dan beberapa studi memberikan bukti
untuk justifikasinya. Meskipun sudah digunakan luas namun sebuah kritik serius
muncul dari fakta bahwa ambang anaerobik individual tidak fix level laktat pada
4 mmol/L melainkan bervariasi pada ambang anaerobik individual. Problem umum yang terjadi secara metodologi
adalah berkaitan dengan terlambatnya peningkatan konsentrasi laktat plasma
selama latihan incremental dibandingkan dengan peningkatan konsentrasi laktat
otot.
Kapasitas Aerobik
Kapasitas
maksimal fosforilasi oksidatif tergantung pada (1) jumlah dan ketersediaan
substrat untuk oksidasi, (2) penjagan kecukupan level tinggi dari aktivitas
enzim oksidasi untuk waktu yang lama, (3) kestabilan dalam menfungsikan sistem
transport oksigen bertanggungjawab terhadap suplai substrate-substrate oksidasi
dan (4) efisiensi proses energi.
Ketersediaan Substrat Oksidasi
Oksidasi
lipid menghasilkan lebih banyak energi daripada oksidasi karbohidrat dimana 1
gram lemak menghasilkan 9,4 kkal sedangkan karbohidrat hanya 4,2 kkal. Namun
pada saat yang sama, oksidasi lipid memerlukan lebih banyak oksigen, yaitu
untuk 1 liter O2 menghasilkan 4,7 kkal pada oksidasi lemak dan 5,0
kkal pada oksidasi karbohidrat. Akibatnya, transfer karbohidrat-lipid
menguntungkan jika pemakaian energi total besar dan kebutuhan oksigen cukup
tersedia (intensitas latihan moderat). Keuntungan transfer terhadap oksidasi
lipid adalah problematik ketika kebutuhan oksigen lebih besar daripada ambilan
oksigen dan total pengeluaran energi jauh dari kemungkinan maksimalnya.
Ketika
kontribusi produksi energi anaerobik tinggi, simpanan glikogen yang melimpah
menjadi penting untuk menyediakan substrat produksi energi anaerob. Produksi
laktat baik secara langsung atau melalui pembentukan ion hidrogen menghambat
aktivitas fosforilase, fosfofruktokinase, dan ATPase. Hasilnya, penghambatan
feedback glikogenolisis muncul bersamaan dengan penurunan degradasi ATP. Pada
cara ini, konstraksi otot berhenti sebelum cadangan glikogen digunakan.
Gambar 3. Dinamika
Level Glikogen Otot Selama Latihan Prolonged pada
Berbagai Intensitas.
Situasi lain
dalam latihan aerobik-anaerobik terjadi ketika laju produksi energi anaerobik
kurang dari produksi energi aerobik sehingga kontribusi fosforilasi oksidatif
lebih besar daripada dalam latihan anaerobik. Karena konsentrasi laktat
meningkat melebihi sebuah level untuk menghambar lipolisis, glikogen dan
glukosa darah harus memenuhi kebutuhan glikolisis anaerobik dan fosforilasi
oksidatif.
Penggunaan glikogen
otot tergantung pada intensitas latihan. Laju pemecahan glikogen meningkat
dengan cepat di atas intensitas 75% VO2 maks . Konsep crossover
digunakan untuk analisis pola oksidasi karbohidrat dan lipid. Berdasarkan kurva
penggunaan karbohidrat dan lipid, cross terjadi pada intensitas latihan 70% VO2
maks. Jelasnya, titik crossing (silang) dekat dengan ambang anaerobik. Dari
titik ini, tiga jenis latihan bersepeda yang harus dibedakan, yaitu (1) latihan
dengan intensitas tinggi dapat memproduksi output power mendekati maksimal
(latihan anaerobik). Latihan-latihan ini adalah terlalu singkat untuk
mengabiskan cadangan glikogen, (2) latihan (aerobik-anaerobik) dilakukan pada
level output power yang tinggi sehingga dibawa kondisi ambilan oksigen yang
tinggi. Pada latihan ini cadangan glikogen merupakan faktor yang membatasi
performans, dan (3) jenis latihan (latihan aerobik murni) ditemukan dalam
fosforilasi oksidatif, dimana level output power moderat harus dipertahankan
untuk waktu yang panjang. Dalam latihan ini, dari sudut pandang energetika
performan tergantung pada trransfer penggunaan karbohidrat ke lipid untuk
membagi pemakaian glikogen untuk mencegah hipoglikemia akibat kehabisan
glikogen.
Faktor-faktor Lain
Latihan
endurans meningkatkan aktivitas enzim-enzim mitokondria. Percobaanpada tikus
setelah berenang 10 jam, aktivitas suksinat dehidrogenase dan sitokrom oksidase
menurun dikaitkan dengan sangat rendahnya glikogen otot dan hipoglikemia.
Selama latihan prolonged setelah waktu tertentu, laju denyut jantung dan volume
pukulan akan meningkat dan tekanan rata-rata arteri dan tekanan sistolik
menurun. Orang tidak terlatih dapat mempertahankan hingga separuh dari VO2
maks. Level hormon mungkin menurun selama latihan prolonged. Jelasnya bahwa
latihan yang berkualitas akan meningkatkan kestabilan fungsional yang pada
gilirannya meningkatkan kapasitas aerobik. Kemungkinan lain yang terjadi selama
latihan prolonged adalah efisiensi mekanik kerja otot berkurang.
Menilai Kapasitas Aerobik
Kapasitas
aerobik belum pernah dinilai sebagai power aerobik. Alasannya berkaitan dengan
prosedur pengujian yang memerlukan penggunaan latihan prolonged. Problem lain
adalah asesmen kapasitas aerobik mempunyai nilai praktis jika performan yang
dites dan latihan kompetitif ditemukan
pada energetika otot yang sama. Uji-uji untuk menilai kapasitas aerobik dapat
dibagi menjadi 3 kategori, yaitu:
1. kapasitas untuk
performan aerobik-anaerobik
2. kapasitas untuk
performan aerobik-glikolitik
3. Kapasitas untuk
performan aerobik-lipolitik
Untuk pengujian ketiga kategori tersebut
memerlukan energi yang memadai. Problem yang terjadi dalam tes kapasitas
aerobik-lipolitik adalah bagaimana untuk mendapatkan sebuah tes yang informatif
tapi atlet tidak secara total kelelahan.
Oleh karena
intensitas tertinggi untuk performan aerobik murni ditentukan oleh mabang
anaerobik, maka untuk asesmen kapasitas aerobik-glikolitik, latihan disarankan
sampai kelelahan pada ambang anaerobik. Istilah kecepatan aerobik maksimal
telah digunakan untuk kecepatan pada VO2 maks tapi tidak untuk
kecepatan pada ambang anaerobik. Waktu berlari maksimal pada kecepatan menurut
VO2 maks mengindikasikan kapasitas aerobik-anaerobik dan tidak
tergantung pada power aerobik.
Perhatian
harus dipusatkan pada tes treadmill Bruce untuk memprediksi kapasitas aerobik-anaerobik.
Uji tersebut terdiri dari berlari pada treadmill. Setelah setiap 3 menit,
kecepatan dan tingkat treadmill meningkat 0,8 mph dan 2%. Durasi maksimal performan
treadmill merupakan sebuah kriteria tes. Hal ini mungkin tergantung pada power
aerobik dan kapasitas aerobik-anaerobik.
Memonitor Mekanisme Produksi Energi
Memonitor
mekanisme produksi energi masuk akal jika peritiwa yang terjadi spesifik. Jadi
latihan kompetisi harus dianalisis untuk membangun mekanisme yang membatasi
performan dalam kompetisi. Nilai yang diperoleh mungkin menyebar tergantung
pada even.
Diagnostik Laktat Dalam Monitoring Latihan
Dalam
event endurans, diagnostik laktat merupakan alat yang diakui untuk memperoleh
informasi terhadpa perubahan energetika otot yang berkembang karena latihan.
Untuk tujuan ini, uji lapangan even spesifik dielaborasi. Hasil utama tes ini
adalah kurva laktat/kecepatan yang memberikan kemungkinan untuk
mengkarakterisasi individu khususnya dari pola laktat selama berlari,
bersepeda, berenang atau mendayung dengan meningkatkan kecepatan.
Titik utama bukan untuk
mengekstrapolasi intensitas latihan pada 2,0;
4,0; atau 8,0 mmol/L laktat. Ide untuk mendeteksi pergeseran kurva
keseluruhan setelah sebuah tahapan latihan, periode atau tahun. Pergeseran ini
secara spesifik berkaitan dengan latihan yang digunakan.
Pada pelari maraton, latihan
aerobik meningkatkan ambang anaerobik dan membuat kurva lebih flat daripada
pelari jarak menengah. Atlet spesialisasi even aerobik-anaerobik ambang
anaerobik lebih rendah daripada pelari maraton tapi kurva timbul di atas ambang
anaerobik yang disarankan. Pada
pelari jarang menengah, perbedaan dari kurva pelari maraton sangat mencolok.
Ambang anaerobik mereka lebih rendah tapi peningkatan laktat selama latihan di
atas ambang anaerobik yan lebih mencolok.
VO2 maks. Dalam Monitoring Latihan
Penentuan reguler power
aerobik bermaksud untuk evaluasi efektivitas latihan endurans, khususnya pada
atlet spesialisasi dalam latihan aerobik-anaerobik. Contoh dinamika VO2
maks selama karir olahraga dua orang atlet ski cross-country terbaik Lituanian ditampilkan
pada gambar 7.12. Atlet ski pria VO2 maks dimonitor pada usia 21
hingga 31 tahun dan perempuan pada usia 20 sampai 29 tahun.
Informasi dari hasil
monitoring VO2 maks selama latihan setahun pada atlet even
aerobik-anaerobik adalah penting. Namun ambilan oksigen maksimal tersebut bukanlah sebuah indikasi universal
dari level performans. Power aerobik meningkat adalah kebutuhan tapi bukan
kondisi utama untuk sebuah level performans yang tinggi dalam event maratron
dan ultramaraton. Signifikansi VO2 maks adalh moderat pada sprinter
dan atlet-atlet power. Jadi penurunan VO2 maks. untuk onset
kompetisi dan selama periode ini adalh fenomena biasa. Meskipun demikan perlu
untuk membedakan apakah penurunan VO2 maks terkait dengan
peningkatan performan tertentu dalam even power dan sprint. Jika performan juga berkurang, satu hal harus
dipikirkan yaitu ketidakmampuan adaptasi tubuh sehingga penurunan VO2
maks harus diperhitungkan. Namun evaluasi reduksi VO2 maks selama
periode kompetisi belum dielaborasi.
Problem khusus dari monitoring
VO2 maks timbul dalam event-event adalah kompetisi berakhir beberapa
jam tapi kejelasan tanggungjawab gerak efektif memerlukan output power,
kecepatan, dan kapasitas anaerobik yang tinggi. Selama menit-menit istrahat
setelah pergeseran, restitusi tergantung pada laju proses oksidasi sehingga
ditentukan oleh suplai oksigen ke otot.
Penting untuk dipertimbangkan
bahwa informasi VO2 maks diimplementasikan terutama untuk latihan
yang melibatkan sistem transportasi oksigen yang tidak berkaitan dengan efek
latihan terhadap potensial oksidasi serat otot. Jadi pada event endurans, kedua
parameter, yaitu VO2 maks dan diagnostik laktat harus dimonitor.
Menilai Efek-efek Latihan Lainnya
Latihan memerlukan banyak
informasi daripad adata tentang peningkatan power dan kapasitas sistem produksi
energi. Dalam beberapa kasus, sejumlah informasi yang memadai tentang efek
latihan telah diperoleh dengan menggunakan tes motor fitnes. Dari adaptasi
metabolik, informasi yang sangat bernilai adalah cadangan energi dan apa yang
terjadi dalam otot terutama pada resistif tinggi dan training power. Namun
informasi valid hanya dapat diperoleh melalui sampling biopsi. Akibatnya,
kemungkinan lain adalah menggunakan tes strength, tes power dan tes
karakteristik kontraksi otot dan pengukuran hipertrophy otot dengan bantuan
scaning ultrasonik.
Untuk even-even prolonged,
penting untuk diketahui hubungan antara proses anaerobik dengan sparing
glikogen dengan bantuan transfer ke penggunaan lemak. Untuk mengecek fenomena
crossover tersebut, level laktat dan asam-asam lemak bebas harus diukur selama
latihan prolonged pada berbagai intensitas.
Respon-respon hormonal
mengandung informasi-informasi penting berkaitan dengan mobilisasi bahan-bahan
sumber energi. Studi hormonal sngat bermanfaat untuk tujuan: (1) menentuikan
level insulin selama latihan prolonged berkaitan dengan lipolisis jaringan, (2)
mengukur besar respon katekolamin pada pelari sprint untuk mengetahui
interferensi epinefrin denan kontrol otomoatik selular untuk meningkatkan
mobilisasi glikogen otot, (3) untuk menentukan stabilitas respon hormon yang
mengontrol mobilisasi bahan untuk energi dengan melakukan pengukuran ulang
konsentrasi hormon, (4) untuk menentukan level basal testosteron untuk menilai
kemungkinan bahwa hormon tersebut mendukung efektivitas upaya fungsi aparatus
neuromuscular untuk performan yang tinggi dalam evan-even strength dan power.
Jadi kesimpulannya, efek latihan terhadap adaptasi metabolik dan fungsi
endokrin mungkin dinilai meskipun hanya untuk analisis ekstensif bukan untuk
monitoring yang luar biasa.
Summary
Power dan
kapasitas mekanisme energi menyatakan kriteria esensial dari kapasitas
performan dalam beberapa even olahraga. Asesmennya merupakan tugas penting
dalam memonitor latihan. Dalam evaluasi power aerobik, pendekatan yang cocok
adalah menentukan ambilan oksigen maksimal yang mencirikan laju transport oksigen
ke otot yang sedang bekerja dan ambang anaerobik yang mencirikan output power
terrtinggi pada fosforilasi oksidatif tanpa tambahan penggunaan energi
anaerobik. Cara langsung untuk mengukur ambang anaerobik terdiri dari menilai laktat maksimal pada
steady state. Asesmen ambang anaerobik melalui dinamika laktat selama latihan
incremental juga bernilai. Hasil yang paling ajeg ditemukan dalam analisis
kurva peningkatan laktat diplit terhadap output power.
Komplikasi
terjadi berkaitan dengan estimasi kapasitas aerobik. Asesmen kapasitas total tubuh
untuk fosforilasi oksidatif secara praktik tidak mungkin dilakukan. Dalam
aplikasinya, asesmen kapasitas latihan aerobik-anaerobik untuk laju tertinggi
dari latihan yang dilakukan pada fosforilasi oksidatif dan untuk latihan yang
dilakukan pada oksidasi lipid lebih penting.
Untuk
evaluasi glikogenolisis anaerobik, perhatian harus tertuju pada tes Wingate,
tes jumping berlanjut Bosco dan tes-tes lain serupa terdiri dari latihan pada
kemungkinan laju tertinggi untuk 30 sampai 90 detik. Penentuan nilai output
power laktat meningkat jika laju akumulasi laktat diestimasi. Pengukuran yang
tepat laju akumulasi laktat menyediakan kemungkinan terbaik untuk asesmen power
glikogenolisis anaerobik. Uji kapasitas gelikogenolisis anaerobik merupakan
kemungkinan konsentrasi laktat paling tinggi dalam darah yang harus ditentukan.
Kemungkinan tersebut disediakan melalui uji degan bantuan latihan intensitas
tinggi berulangkali dengan waktu istrahat pendek (uji interval).
Pendekatan
tak langsung untuk asesmen power mekanisme fosfokreatin adalah penentuan output
power terrtinggi pada lari staircase short-term atau pada vertical jump
maksimal, yang kontinyu selama 5 detik. Metode terbaik untu asesmen mekanisme
kapasitas fosfokreatin adalah menentukan kehilangan fosfokreati dalam otot yang
bekerja keras dengan sampling biopsi. Cara tak langsung adalah merekam dinamika
output power (seperti kecepatan gerak) latihan short-term pada intensitas
maksimal.
Penentuan
konsentrasi amonia, asam urat atau hipoksantin dalam plasma darah menyediakan
kemungkinan terbatas untuk mengkarakterisasi mekanisme myokinase. Penentuan
produk degradasi AMP yang signifikan terdiri dari kemunginan untuk mendapatkan
informasi apakah resintesis ATP setelah degradasi ATP menjadi ADP.
Hal paling
esensial adalah menentukan titik crossover terkait dengan penggunaan lipid
melawan karbohidrat sebagai substrat oskidatif. Informasi penting memberikan
penentuan simultan laktat dan asam lemak bebas (atau gliserol) dalam plasma
darah selama latihan prolonged.
Beberapa
kemungkinan terjadi untuk evaluasi efek-efek latihan terhadap fungsi endokrin
dan kontrol metabolik hormonal. Kemungkinan-kemungkinan tersebut mungkin
penting dalam menjawab pertanyaan terkait dengan adaptasi metabolik dalam
latihan.
Adenylate kinase (EC 2.7.4.3) (also known as ADK or myokinase) is a phosphotransferase enzyme that catalyzes the interconversion of adenine nucleotides, and plays an important role in cellular energy homeostasis. myokinase
BalasHapus