INDEKS HEMATOLOGI DAN IMUNOLOGI DAN KESE TIMBANGAN
AIR-ELEKTROLIT
Darah adalah sebuah bagian
penting internal tubuh. Mempelajari darah sangat fisible untuk mendapatkan
informasi aliran metabolit dari jaringan-jaringan dan substrat-substrat penting
tentang kelelahan. Fungsinya sebagai pengankut oksigen penting untuk adaptasi
aktivitas otot. Mempelajari darah memberikan peluang untuk mengkarakterisasi
efektivitas regulasi homeostatis untuk
menjaga parameter-parameter lingkungan internal tubuh, seperti temperatur,
kadar ion dan air, tekanan osmotik,pH, tekanan parsial oksigen dan level
glukosa. Performan latihan tergantung pada kondisi regulasi homestatis
tersebut. Pada bagian ini akan dibahas peluang menggunakan parameter darah
dalam monitoring latihan, terutama yang berkaitan dengan aktivitas imu melalui
studi imunologi termasuk adaptasinya terhadap aktivitas otot yang dikaitkan
dengan performan dan kesehatan atlet, serta regulasi keseimbangan air dan
elektrolit selama latihan.
Indeks Hematologi
Adaptasi terhadap aktivitas
otot berkaitan dengan perubahan volume total darah dan plasma yang penting
untuk peningkatan performan. Pada saat yang sama perubahan volume plasma
mempengaruhi konsentrasi konstituen darah sehingga efek dari metabolit,
substrat dan hormon mengalami modifikasi. Latihan memicu perubahan sel-sel
darah dan distribusi berbagai tipe sel.
Studi tentang sel darah putih (leukosit) memberikan informasi tentang aktivitas
imun sedangkan studi sel-sel darah (eritrosit) mencirikan peningkatn fungsi transport
oksigen darah. Eritrosit mengandung hemoglobin, yaitu protein pengikat oksigen
yang terdiri atas zat besi dan protein sehingga adaptasi terhadap latihan
endurans berkaitan dengan metabolisme besi.
Pada studi latihan, analisis
indeks hematologi sudah termasuk protein plasma, sistem bufer, antioksidan
darah dan masuknya enzim dari jaringan otot ke dalam plasma darah. Enzim-enzim
otot dalam plasma darah diduga berkaitan dengan gangguan membran serat otot.
Volume Darah
Volume darah pada orang dewasa
normal sekitar 5 L atau sekitar 6% massa tubuh. Rata sekitar 3 L (25 – 45 mL/L. Kg BB) adalah plasma dan 2 L sisanya adalah
sel-sel darah (kebanyakan eritrosit). Nilai-nilai ini bervariasi antara satu
individu dengan lainnya tergantung pada jenis kelamin, berat, efek latihan dan
kondisi lainnya. Rasio antara plasma dengan eristrosit sering disebut nilai
hematokrit.
Pada pembulu-pembulu kapiler,
arteriolis dan pembulu kecil lainnya, nilai hematokrit darah lebih kecil
daripada pada pembulu arteri dan vena yang besar. Hal ini karena eritrosit
tidak dapat mengalir dengan dinding pembulu tipis seperti halnya dalam plasma.
Pengukuran volume darah
ditentukan dengan diluting sel-sel darah merah yang dilabel dengan radioaktif,
seperti Cr51 yang terikat sangat kuat dengan eritrosit dalam
sirkulasinya. Dengan cara ini kita dapat menghitung volume total darah
menggunakan prinsip dilution setelah membiarkan hingga sel-sel berlabel
diinjeksi terdistribusi merata dalam sirkulasi.
Pengukuran volume plasma
dilakukan dengan memberika label protein plasma, seperti 131I-protein
dan mengukur dilution mereka setelah injeks ke dalam darah. Kemungkinan lain
adalah sebuah injeksi sebuah dye vital (biasanya T-1824 yang disebut Evan’s
blue) yang menyerang kuat protein plasma dan berdifusi ke dalam plasma dalam jumlah kecil masuk ke
dalam interstitium. Ketika volume plasma diketahui, volume total darah dapat
dihitung dengan menggunakan rumus:
Volume
plasma x 100
Volume darah = 1 -
hematokrit
Alternatif lain adalah dengan menentukan massa
hemoglobin dan volume darah.
Sel-sel Darah
Bagian tempat pembentukan
sel-sel darah adlaah bone marrow. Dalam sirkulasi darah, semua sel dihasilkan
dari sel-sel stem hemopoietik pluripotential (PHSC) bone marrow. Proses
reproduksi sel ini berlangsung seumur hidup Jalur yang berbeda terjadi pada
produksi eritrosit, leukosit-granulosit (neutrofil, eosinofil, dan basofil) dan
monosit, megakaryosit dan limfosit.
Eritrosit
Fungsi utama eritrosit adalah
untuk mengangkut pembawa oksigen hemoglobin. Dalam kapiler daerah alveoli paru,
hemoglobin mengikat oksigen membentuk oksihemoglobin sebagai bentuk
pengangkutan oksigen dalam darah arteri. Pada kondisi tersebut tekanan O2
dalam jaringan perifer menjadi lebih rendah dan oksigen terdisosiasi atau
dibebaskan untuk digunakan oleh sel-sel. Dalam eritrosit 2,3-difosfogliserat
(terdapat dalam konsentrasi yang tinggi) mengatur pembebasan oksigen dari
oksihemoglobin dengan mengurangi afinitas Hb terhadap O2.
Eritrosit mengandung dalam
jumlah besar kabonik anhidrase yang mengkatalisis reaksi antara CO2
dengan air. Akibatnya, karbondioksida diangkut dari jaringan menuju paru-paru
dalam bentuk bikarbonat. Hb juga berfungsi sebagai bufer asam-basa. Eritrosit
banyak bertanggungjawab terhadap kapasitas bufer dalam darah.
Setiap gram HB dapat mengikat
1,39 ml oksigen sehingga pada pria sedentary sekitar 21 ml oksigen dapat
diangkut dalam setiap ml darah. Dan wanita normal sekitar 19 ml oksigen. Massa
total eritrosit dikontrol dengan cermat dan dijaga pada level konstan dalam
rentang yang sempit pada setiap orang. Oksigenasi jaringan adalah penentu utama
mekanisme homeostatis dengan EPO sebagai alat utama pengontrolnya. Penurunan
kadar oksigen jaringan menstimulasi produksi EPO dalam ginjal (80 – 90%) dan
hati (10 – 20%). Produksi intensif EPO akan terus berlanjut selama stimulus
hipoksi ada.
Sintesis Hb berkaitan dengan
metabolisme besi. Dalam darah, kombinasi besi dengan apotransferrin (b-globulin) membetu transferrin. Proses tersebut merupakan bentuk
pengangkutan zat besi yang berlangsung dalam jaringan yang terhubung dengan
globulin. Dalam sitoplasma hepatosit, besi bergabung apoferritin membentuk
ferritin sebagai tempat penyimpanan besi yang juga ditemukan dalam darah.
Transferrin mencapai bone
marrow dan berikatan dengan reseptor pada membran sel eritrosit yang kemudian
diikuti dengan pembebasan besi. Dalam mitokondria, besi tersebut digunakan
untuk membentuk molekul heme yang selanjutnya, molekul heme berikatan dengan
rantai polipeptida (sebuah globulin yang disintesis oleh ribosom membentuk
subunit hemoglobin. Empat subunit bergabung membentuk sebuah molekul
hemoglobin. Dalam sirkulasi, waktu hidup eritrosit sekitar 120 hari.
Ketika eritrosit pecah, Hb
dibebaskan terikat pada protein pembawa haptoglobin yang beberapa diantaranya
kemudian diurai menghasilkan globin dan heme. Heme kamudian terikat pada
protein pembawa lain hemopeksin. Kompleks hemoglobin-haptoglobin dan
heme-hemopeksin dibersihkan dari sirkulasi oleh hari dan dikatabolisme oleh
sel-sel parensimal hepatik. Besi diangkut ke dalam plasma dan terikat pada
transferrin. Transferrin pembawa besi ke dalam sel-sel bone marrow untuk
sintesis heme dan selanjutnya besi disimpan dalam bentuk heme atau ferritin.
Leukosit
Leukosit tersusun dari sebuah unit mobil sistem
pertahan tubuh yang diangkut ke bagian yang mengalami inflamasi serius dan
melindunginya dari agen-agen infeksi. Sekitar 50-70% leukosit adalah
polymorphonuclear neutrophils, 0-3% polymorphonuclear eosinophils, 0-1%
polymorphonuclear basophils, 1-10% monosits dan 20-40% limfosits. Neutrophil,
eosinofil dan basofil tampak seperti granul sehingga disebut granulosits.
Granulosit dan monosits memakan organisme asing (fagositosis). polymorphonuclearLimfosit
kadang-kadang muncul sebagai sel-sel plasma terkait dengan sistem imun.
Jumlah leukosit darah pada
orang dewasa rata-rata 7000 sel/µl
darah dengan rentang 4000 – 9000 sel/ µ . Megakaryosit juga termasuk dalam kelompok sel-sel darah putih.
Fragmennya dalam darah disebut platelets atau trombosit yang kelimpahannya
sekitar 150.000-300.000 platelets/µl.
Trombosit signifikan dalam formasi clots dalam pembuluh darah.
Efek Latihan terhadap Volume Darah dan Sel
Dalam monitoring latihan, perhatian
dipusatkan pada latihan akut dan efek latihan terhadap volume darah, eritrosit,
leukosit, hemoglobin dan metabolisme besi yang berubah karena perubahan adaptif
esensial, sebuah konsekuensi berbahaya yang mungkin terjadi yang disebut sports
anemia.
1. Volume Plasma
Sejak tahun 1930an telah
diketahui bahwa volume plasma berkurang selama latihan. Latihan 30-60 detik
mungkin efektif untuk mengurangi volume plasma. Latihan anaerobik short-term
dapat mengurangi volume plasma sekitar 15-20%. Sesuai dengan onset latihan,
konsentrasi hemo meningkat akibat ekstravasation plasma. Kondisi ini memicu
naiknya tekanan darah rata-rata yang mengakibatkan peningkatan tekanan kapiler
akibat kenaikan laju aliran filtrasi fluida. Jika tekanan tekana venus pada
akhir kapiler melebihi tekanan osmotik, laju reabsorpsi fluida lebih rendah
daripada laju filtrasinya. Hal ini terjadi karena dampak dari akumulasi
metabolit pada metabolisme anaerob. Di lain pihak, peningkatan tekanan fluida
intramuscular selama aksi kontraksi otot terjadi dalam arah sebaliknya. Pada
latihan prolonged, kehilangan fluida melalui perpirasi juga menjadi sebuah
faktor yang berpengaruh terhadap volume plasma. Meskipun demikian ketika total
air tubuh berkurang selama latihan, level air plasma akan dipertahankan.
Selama latihan prolonged
kehilangan plasma terus berlanjut. Kemungkinan yang terjadi fluida
ekstravasation mengisi ruang ekstraselular yang kosong dan tekanan interstitial
mulai menahan keluarnya fluida lebih lanjut dari pembuluh darah. Jelasnya, kesetimbangan terbentuk antara
tekanan interstitial fluida dan tekanan intrakapiler.
Perubahan hematokrit tidak
sepenuhnya mencerminkan perubahan volume plasma. Perubahan hematokrit selal
lebih kecil daripada perubahan volume darah. Akibatnya, baik nilai hematokrit
maupun konsentrasi protein tidak memberikan informasi yang valid terhadap
latihan yang memicu perubahan volume plasma.
2. Eritrosit
Sejak tahun 1920an dan 1930an
ada sebuah pendapat populer bahwa latihan menyebabkan eritrositosis. Latihan yang keras, konsentrasi eritrosit
yang bersirkulasi meningkat sekitar 25%. Peningkatan sel-sel darah merah selama latihan
mungkin disebabkan oleh pembebasan sel-sel yang disimpan dari bagian-bagian
lain. Pembulu-pembulu dalam organ-organ dan jaringan dengan lajur alir darah
yang rendah pada saat istrahat mungkin menyimpan sel-sel darah yang signifikan.
Sejumlah sel-sel darah mungkin dikeluarkan dari bone marrow karena latihan
meningkatkan laju sirkulasi. Alasan utama peningkatan eritrosit adalah naiknya
konsentrasi protein plasma yaitu hemokonsetrasi selama latihan.
Beberapa studi juga
menunjukkan bahwa massa eritrosit intravascular tidak berubah selama latihan
yang mengindikasikan faktor utama yang menyebabkan meningkatnya konsetrasi
eritrosit adalah berkurangnya volume plasma. Ditinjau dari peran EPO, sulit
dipercaya bahwa produksi intensif sel-sel baru dapat berlangsung selama latihan
yang kurang dari beberapa jam. Peningkatan aktivitas EPO telah ditemukan pada
pemain ski dan pelari setelah even longlasting . Penentuan EPO dengan
radioimmunological menunjukkan bahwa latihan selama 60 menit pada 60% VO2
maks dan sebuah tes latihan tambahan hingga tercapai kelelahan tidak
memiliki efek langsung terhadap level EPO plasma baik dalam normoksia atau
normobarik hipoksia. Namun 3 hari setelah latihan tersebut, peningkatan level
EPO baru tampak pada hipoksia dan 24 jam sesudah latihan pada normoksia namun
secara statistik tidak signifikan. Sesudah lomba maraton konsentrasi eritrosit meningkat langsung karena
peningkatan hemokonsentrasi. Level Epo mulai meningkat 3 hari kemudian. Tiga
puluh satu jam sesudah lari perubahan sangat mencolok. Jadi perubahan level EPO
akibat latihan terjadi setelah beberapa jam sesudah latihan. Lambatnya respon
EPO disebabkan faktor bebasnya immature reticulacytes dari bone marrow ke
dalam darah periferal dalam beberapa
hari sesudah tipe-tipe latihan yang berbeda.
3. Hemoglobin dan
Metabolisme Besi
Langsung setelah perlombaan
ultramaraton 56 – 160 km, sel darah merah dan level hemoglobin menigkat akibat
hemokonsentrasi. Selama periode recovery sesudah perlombaan hemodilution
terjadi yang paling besar pada 48 jam sesudah 160 km perlombaan.
Telah disebutkan bahwa ada
kemungkinan fungsi Hb pengangkut oksigen didukung oleh 2,3-difosfogliserin yang
memicu penguraian oksihemoglobin. Meskipun kemudian tidak dapat dikonfirmasi pada normoksia maupun hipoksia
selama latihan pada 85% VO2 maks. Hingga tercapai kelelahan.
Sesudah perlombaan
ultramaraton, level ferritin serum naik yang tampak pada 6 hari setelah lomba.
Namun setelah 8 hari sesudah lomba, level ferritin menurun. Beberapa studi juga
menemukan bahwa haptoglobin berkurang sesudah sebuah single bout of prolonged
running.
4. Sports Anemia
Beberapa studi menemukan bahwa
berlari mungkin menghasilkan tambahan Hb bebas dalam plasma. Fenomena ini
merupakan tanda sports anemia, yaitu rendahnya level HB dalam total darah. Fenomen ini juga ditemukan sesudah
berenang 10 km bersama dengan peningkatan sedang level haptoglobin. Tugas
haptoglobin adalah mengikat Hb bebas untuk mencegah sekresinya melalui urin.
Peristiwa bahkan ditemukan pada jenis latihan lain.
Studi longitudinal pada pelari
dengan latihan intensif, pelari memiliki hematoglobin, hematokrit dan jumlah
sel-sel darah merah yang lebih rendah. Ferritin tidak berubah selama periode
ini namun setelah 3 minggu dan 4 hari sesudah kejuaraan tampak lebih rendah.
Studi longitudinal lain mengkonfirmasikan bahwa level ferritin menurun hanya
selama 6 bulan pertama pada pelari pria dan tidak berubah pada 12 – 14 bulan
berikutnya. Pada pelari wanita selama tahap pertama latihan, level ferritin
meningkat . Oleh karena penurunan ferritin tidak tampak pada semua pelari
selama tahap-tahap latihan selanjutnya maka sport anemia bukan hal yang biasa
terjadi pada semua pelari.
Studi pada pemain sepak bola
kondang tidak tampak perbedaan level besi serum, kapasitas besi total serum,
persentase transferin jenuh dan ferritin serum dibandingkan dengan orng kontrol
tak terlatih. Namun level haptoglobin pada pemain sepak bola kondang lebih
rendah levelnya daripada orang kontrol yang mengindikasikan adanya gangguan
metabolisme besi pada pemain sepak bola kondang. Studi pada 39 atlet tim
nasiona Polish menunjukkan bahwa konsetrasi hemoglobin, eritrosit, ferritin dan
transferin lebih rendah pada atlet-atlet endurans dan retikulosit lebih tinggi
daripada pada orang kontrol. Tidak adanya perubahan yang signifikan yang
ditemukan pada atlet strength.
5. Dampak Latihan
terhadap Leukosit
Peningkatan leukosit yang
mencolok telah diamati selama latihan sejak tahun 1920an. Fenomen ini sering
disebut myogenik leukositosis. Pada tahap pertama, myogenik leukositosis
ditemukan pada latihan intensif short-term atau latihan intensitas rendah
prolonged. Peningkatan leukosit yang moderat terjadi pada linfosit. Tahap
selanjutnya, ditandai dengan peningkatan total leukosit hingga 20.000 atua
lebih per mililiter darah. Tahap kedua ditandai dengan peningkatan jumlah
neutrofils yang disertai dengan penurunan jumlah limfosit dan eosinofil..
Pada akhir tahun 1930an dan
1940an perhatian fokus pada penignkatan limfopenia dan eosinopenia karena
pemberian ekstrak adrenokortikal atau glukokortikoid sintetik. Jadi, limfopenia
dan eosinopenia digunakan secara taik langsung sebagai indikator peningkatan
aktivitas adrenokortikal selama latihan..
Selama latihan, konsentrasi
platelet meningkat. Perubahan ini (myogenik trombositosis) bukan karena akibat
hemokonsentrasi karena konsentrasi platelet menjadi dua kalinya. Peningkatan
aktivitas fibrolitik darah tampak dalam kaitannya dengan intensitas dan durasi
latihan. Meskipun aktivitas fibrolitik tinggi, hiperkoagulabilitas menyertai
latihan yang keras. Ditunjukkan pula bahwa terjadi kesetimbangan antara
koagulasi dan fibrinolisis selama latihan long-term.
Efek-efek Latihan
Latihan meningkatkan volume
plasma, khususnya pada latihan endurans. Akibatnya, konsentrasi Hb menurun.
Hemodilution yang disebabkan oleh peningkatan volume plasma menghilangkan
peningkatan aktual dari massa darah, sel-sel dan Hb. Jadi tidak benar bahwa
keadaan fungsional atlet memburuj karena turunnya konsentrasi Hb. Bahan-bahan
lain juga dalam plasma menurun konsentrasinya.
Selama latihan endurans lebih
lanjut, konsetrasi sel darah merah meningkat. Namun peningkatan volume darah lebih menonjol
daripada peningkatan volume eritrosit. Efek-fek latihan dapat digambarkan seb
Protein Plasma
Protein plasma
bertanggungjawab terhadap beberapa tugas. Satu kelompok berperan sebagai fungsi
transportasi. Mereka mengikat hormon, lipid dan senyawa mineral dimana
sirkulasi mereka tanpa perubahan metabolisme. Setiap jenis protein memiliki kapasitas pengikatan
tertentu. Protein plasma juga digunakan untuk pertahanan yang disebut
imunoglobulin yang berperan sebagai antibodi bersirkulasi. Protein fibrinogen
plasma adalah esensial untuk pembekuan darah. Protein plasma dan Hb dalam
eritrosit berkontribusi terhadap sistem buffer. Beberapa peptida berkaitan
dengan sistem antioksidan. Meskipun beberapa protein tidak dapat melalui
membran kapiler, beberapa protein enzim diangkut dari liver, otot-otot kerangka
atau sel-sel myocardium dapat ditemukan dalam plasma.
Jumlah total protein plasma
mengandung tekanan osmotik koloid sebagai bagian dari tekanan osmotik plasma
yang tergantung pada molekul protein terlarut dimana tidak larut dalam membran
kapiler. Halangan untuk difusi protein pada kapiler menjadi alasan bahwa
konsetrasi protein plasma sekitar 3 kali lipat yang protein fluida
interstitial. Perbedaan tekanan osmotik menyebabkan fluida kembali ke bagian
intravascular pada vena ujung kapiler. Jadi dibutuhkan sejumlah air untuk
mempertahankan bagian intrasvascular.
Selama latihan hemokonsentrasi
meningkat dalam peningkatan protein plasma. Berbagai jenis protein. Konsentrasi
albumin meningkat hingga 12% di atas level istrahat selama 30 menit pertama
namun pada 30 menit kedua terjadi penurunan. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan
masing-msing protein berbeda-beda tergantung pada fungsinya masing-masing.
Sebuah studi menunjukkan bahwa
(1) orang terlatih secara signifikan lebih tinggi massa protein
intravascularnya daripada yang tidak terlatih, (2) Massa protein intravascular
berkorelasi tinggi dengan volume plasma, dan (3) langsung setelah lari 32 km,
konsentrasi protein plasma meningkat 11,9%, tekanan osmotik koloid naik 25,1% dan
massa protein intravascular naik tapi tidak signifikan. Dari temuan tersebut
disarankan bahwa massa protein intravascular relatif konstan sangat penting
untuk meningkatkan tekanan osmotik koloid dan mendapatkan kembali volume
intravascular sesudah latihan tanpa pengambilan fluida.
Enzim-enzim dan Protein Intraselular Lain dalam Plasma Darah
Dalam berbagai ondisi klinik,
beberapa protein intraselular telah ditemukan dalam plasma darah. Protein
tersebut kebanyakan berasal dari myocardial, hepatik, skeletomuscular dan juga
jaringan otak. Telah diyakini bahwa pembebasan enzim dan protein dari berbagai
jaringan ke dalam darah dikaitkan dengan gangguan membran selular sebagai hasil
kondisi patologis. Protein-protein bebas mencapai linfa dari fluida interstitial. Protein mengalir ke dalam sirkulasi darah
atau sistem limfatik.
Protein dari otot dan jaringan
lain juga ditemukan dalam serum darah selama berbagai jenis latihan, antara
lain kreatin kinase dan isozimnya MM dan MB, laktat dehidrogenase, heksosa
fosfat isomerase, aldolase, alaninaminotransferase, dan
aspartat-aminotrasnferase, alkalin fosfatase, piruvat kinase dan myoglobin.
Perubahan-perubahan enzim tersebut dalam serum tidak paralel. Pada kondisi
tertentu ditemukan jenis protein tertentu dalam serum sedangkan jenis lain
tidak tampak.
Protein yang paling menyita
perhatian adalah kreatin kinase dalam serum selama latihan. Hal ini karena ada
hubungan antara respon kreatin kinase dengan waktu rasa sakitnya otot, otot
yang sakit, otot kaku dan kerusakan otot. Cedera serat-serat otot kerangka
ditunjukkan dengan gangguan struktur myofilamen pada beberapa sarcomeres yang
disertai dengan kehilangan protein intramuscular, seperti kreatin kinase. Ke dalam plasma yang menjadi indikator
kerusakan sacolema, rasa sakit dan penurusan temporer kekuatan otot.
Respon kreatin kinase serum
telah diamati sesudah latihan isometrik dan juga sesudah periode 24 jam speed
driving. Beberapa studi mengkonfirmasi hubungan antara respon enzim-enzim serum
dan penghambatan rasa sakit otot sesudah latihan, khususnya pada kontraksi otot
eksentrik. Dua puluh empat jam sesudah latihan eksentrik, kosentrik dan
isometrik respon kreatin kinase hampir sama. Namun latihan eksentrik
membebaskan kreatin kinase lebih banyak dengan waktu delay yang lebih lama
daripada latihan kosentrik dan isometrik. Sesudah latihan resistansi, kreatin
kinase serum meningkat tapi kurang menonjo pada angkat besi tapi rasa sakit
lebih menonjol daripada orang-orang yang tidak terlatih. Meskipun beban pada
setiap latihan diatur pada 12 RM..
Untuk menjelaskan perbedaan
dinamika aktivitas enzim serum dan rasa nyeri pada otot melalui tahap-tahap
berikut: (1) latihan menginduksi kerusakan otot, (2) pengikatan enzim ke dalam
aliran darah, dan (3) reaksi fisiologis terhadap kerusakan yang terjadi pada
sensasi nyeri otot.
Ketika latihan yang sama
diulang 2 minggi atau beberapa bulan terakhir, rasa nyeri berkurang dan tidak
ada respon kreatin kinase yang tampak. Faktor penghilangan kreatin kinase
sangat berperan sesudah sebuah pengulangan latihan. Ditemukan juga bahwa bed
rest untuk 17 jam sesudah berlari cross country 8 km mengurangi respon kreatin
kinase. Dijelaskan penyebabnya bed rest berpengaruh melalui penurunan transport
limfatik kreatin kinase dan pembebasan enzim dari serat-serta otot.
Sistem Bufer Asam-Basa Darah
Aktivitas enzim tergantung
pada pH kompartemen. Jadi satu tugas homestatis untuk menjaga pH cairan tubuh
pada level yang relatif konstan. Sistem kontrol mencegah asidosis dan alkalosis
melalui 3 mekanisme, yaitu: (1) Semua cairan tubuh disuplai dengan sistem bufer
yang langsung berkombinasi dengan asam atau basa sehingga mencegah perubahan
konsentrasi ion hidrogen secara berlebih, (2) Perubahan konsetrasi ion hidrogen
darah mempengaruhi pusat respirasi yang pada akhirnya mengubah laju pernapasan,
pembuangan CO2 dari cairan tubuh meningkat atau menurun dan
konsentrasi ion hidrogen mulai kembali ke level normal, dan (3) Ginjal
mengeluarkan baik asam atau basa ke dalam urin sehingga membantu menormalisasi
konsentrasi ion hidrogen cairan tubuh.
Buffer utama tubuh adalah
protein sel dan plasma karena konsetrasinya yang tinggi. Beberapa asam amino
poterin memiliki asam-asam radikal bebas yang fapat mengalami disosiasi
membentuk suatu basa ditambah H+ . Histidin adalah esensial untuk
kapasitas bufer protein. Bufer lain yang penting adalah campuran asam karbonat
dan sodium bikarbonat. Sistem bufer bikarbonat kurang kuat karena konsentrasi
CO2 dan HCO3- tidak besar. Ssistem bufer
ketiga adalah bufer fosfat yang terdiri dari H2PO4 dan
HPO4-, H2PO4-, bereaksi
dengan asam kuat menghasilkan NaH2PO4 dan garam.
Asesmen Efek latihan Terhadap Kapasitas Bufer Asam-Basa
Sejak tahun 1922, aparatus Van
Slyke telah digunakan untuk asesmen kapasitas buffer yaitu dengan mengukur
jumlah CO2 yang dibebaskan dari sebuah sampel darah sesudah
menambahkan sebuah asam kuat (asam laktat, asam hidroklorida atau asam sulfat).
Pada kondisi normal, jumlah CO2 yng dibebaskan sekitar 50 – 70 ml/
100 ml plasma atau serum. Jumlah CO2 menyatakan secara kuantitatif
alkali. Latihan intensif yang akut mengurangi jumlah CO2 yang dibebaskan
irespek dengan pengurangan jumlah alkali akibat akumulasi asam laktat
endogen.Efek training dari penyediaan
alkali tergantung pada sifat-sifat latihan yang digunakan.
Pada tahun 1960, sebuah metode
penentuan pH, pCO2, kelebihan basa dan bikarbonat standar dalam
darah kapiler dipublikasi. Aparatus disebut Micro-Astrup (Radiometer
Copenhagen). Dipublikasikan juga monogram yang memungkinkan untuk mengestimasi
beberapa parameter darah berkaitan kontrol pH.
Dengan menggunakan prinsip
Micro-Astrup hubungan antara intensitas latihan dan penurunan bikarbonat
standar (corresponding to 40 mmHg pCO2). Secara simultan terjadi
peningkatan parabolik konsentrasi laktat. Kurang mencoloknya peningkatan pCO2
dalam darah vena yang sesuai dengan hubungan antara latihan yang memicu
perubahan pH darah, laktat dan bikarbonat standar dan pCO2.
Untuk studi kapasitas bufer
otot, sampel biopsi dihomogenasi, deproteinase dan dititer pada pH 6 dengan 0,01
N HCL per pergeseran pH per gram berat sampel basah. Hasilnya menunjukkan bahwa
pelari 800m secara signifikan lebih tinggi kapasitas bufer ototnya daripada
orang yang tidak terlatih atau pelari maraton. Tidak ada perbedaan antara
pelari maraton dan laki-laki yang tak terlatih. Perbandingan sprinter, rowers,
pelari maraton dan orang tidak terlatih dikonfirmasi bahwa kapasitas bufer otot
lateralis vastus lebih tinggi pada atlet-atlet terlatih anaerobik (sprinter dan
rowers) daripada atlet-atlet terlatih secara aerobik dan orang tidak terlatih.
Efek latihan interval
intensitas tinggi dipelajari pada atlet bersepeda yang terlatih menggunakan
metode titrasi pH. Setelah training selama 4 minggi, kapasitas bufer meningkat
16% dalam otot lateralis vastus. Jadi latihan intensif anaerobik meningkatkan
kapasitas bufer otot-otot yang terlibat. Namun kapasitas bufer darah tidak
signifikan berubah. Beberapa alasannya adalah (1) metode yang digunakan tidak
memadai untuk asesmen kapasitas bufer darah, (2) spesifikasi latihan tidak
terlibat dalam uji tersebut. Meskipun demikian bufer bikarbonat mungkin diases
tetapi bufer protein dan fosfat tidak. Perhitungan menunjukkan bahwa protein
bertanggung jawab sekitar 50% membufer otot selama latihan yang melelahkan
sebaliknya kontribusi bikarbonat sekitar 15% - 18% dari total kapasitas
bufer.
Sistem Antioksidan Darah
Pada kondisi tertentu molekuk
oksigen berubah menjadi bentuk yang lebih aktif yang disebut radikal bebas.
Radikal bebas memiliki elektron tak berpasangan pada orbital terluar. Radikal
bebas okdigen yang paling penting adalah superoksida O3-),
hidrogen peroksida (H2O2), oksida nitrit (NO-)
dan radikal hidroksil (HO-). Kontraksi otot telah menunjukkan
menghasilkan radikal-radikal tersebut . Kebanyakan oksidator radikal bebas
dihasilkan dari kontraksi serat-serat otot akibat dari peningkatan laju
oksidasi mitokondria. Selama latihan sumber-sumber potensial oksidan juga
adalah jalur xantin oksidase, metabolisme prostanoid dan produksi radikal yang dimediasi
kalsium.
Peningkatan jumlah radikal
bebas memiliki efek merusak dan bahkan efek letal terhadap sel. Radikal bebas
mengoksidasi asam-asam lemak yang tak jenuh yang sangat penting untuk komponen
membran sel. Radikal bebas juga mengoksidasi beberapa enzim selular sehingga
merusak sistem metabolisme selular. Radikal bebas memodifikasi molekul makro
dalam sel termasuk asam-asam inti, protein dan lipid. Jaringan syaraf mudah
kena karena mengandung banyak struktur lipid.
Efek berbahaya radikal bebas
berlawanan dengan sistem antioksidan. Jaringan yang mengandung enzim-enzim
multiple yang dapat menghilangkan radikal bebas. Antioksidan ini adalah
superoksida dismutase, glutation peroksidase, katalase, dan glutation. Fungsi
utama superoksida dismutase untuk mengubah radikal superoksida menjadi hidrogen
peroksida dan O2. Glutation peroksidase mengurangi H2O2
membentuk glutation teroksidasi dan air dengan glutation sebagai donor
elektron. Katalase mengubah H2O2 menjadi H2O
dan O2. Aktivitas ketiga enzim tersebut lebih besar dalam serat-serat
otot oksidatif daripada dalam serat-serat glikolitik fast-twitch .
Fungsi
antioksidan yang terpenting adalah glutation yang menghilangkan H2O2
dan peroksidase lipid, Glutatione
juga terlibat dalam mengurangi berbagai antioksidan untuk menjadi struktur
aslinya. Glutation mengurangi radikal-radikal vitamin E dan C. Konsentrasi
glutation tinggi dalam hati dan separuh konsentrasinya dalam hati terdapat
dalam paru, ginjal dan jantung. Otot slow oksidatif (SO) mengandung glutation 6
kali lebih besar dariapada serat otot fast glikolitik (FG). Eritrosit
mengandung glutation yang tinggi levelnya sedangkan plasma lebih rendah dari
eritrosit.
Level
glutation intraselular tergantung pada pengambilan glutation dari darah,
sintesis intraselular, penggunaannya dan produksinya. Kebanyakan glutation
disintesis dalam hati. Insulin dan glukokortikoid menstimulasi sintesis
glutation oleh induksi sistein glutamil sintetase. Epinefrin dan glukagon
meningkatkan effluks glutation hati.
Vitamin E
berperan sebagai antioksidan intramembran dan penstabil membran yang dapat
menangkap radikal bebas termasuk superoksida, radikal hidroksil dan lipid
peroksida dengan menggunakan gugus hidroksilnya untuk mendonorkan sebuah proton
atau menenrima sebuah elektron. Hasilnya radikal vitamin E bereaksi dengan
dirinya sendiri atau radikal peroksi lain membentuk produk nonreaktif. Hasilnya vitamin E mungkin hilang dari
jaringan. Pada saat yang sama radikal vitamin E dihasilkan untuk diubah menjadi
vitamin E setelah berinteraksi dengan asam ascorbat atau glutation.
Konsentrasi
glutation dipengaruhi oleh latihan. Pelari jarak jauh memiliki konsentrasi
glutation yang lebih tinggi dalam plasma darahnya daripada yang tidak terlatih.
Perbedaan aktivitas lipid peroksida plasma tidak tampak. Antioksidan yang
ditambahkan dalam sampel menekan ABTS yang berinkubasi dengan sebuah peroksida.
Beberapa studi lain menghasilkan bahwa formasi malondialdehid, sebuah lipid
peroksida atau bahan reaktif asam tiobarbiturat, lipid peroksidasi meningkat
dalam otot skeletal dan otot jantung serta plasma setelah latihan melelahkan.
Beberapa artikel mengkonfirmasi efek training terhadap aktivitas enzim-enzim
antioksidan eritrosit. Namun ada juga studi yang gagal.
Sebuah
penanda oksidasi radikal bebas adalah pentana yang dibuang lewat pernapasan.
Peningkatan jumlah pentana ditemukan selama latihan dengan intensitas 75% VO2
maks. Kesimpulannya latihan keras yang akut menghasilkan radikal bebas
sebaliknya traning menghasilkan kemungkinan untu penghambatan stress oksidatif
dengan meningkatkan kapasitas sistem antioksidan.
Indeks Imunologi
Pertahanan
melawan penetrasi yang menyerang dalam tubuh dan pertahanan protein endogen
tersusun dalam bentuk aksi gabungan dari beberapa proses imun.
Latihan akut
Radikal bebas Stress oksidatif penghambatan stress oksidatif
Terakumulasi
Meningkatkan antioksidan
Training
Gambar 2. Efek Latihan akut dan training
terhadap stress oksidatif
Sifat-sifat Umum Respon Imun
Alat-alat
untuk membawa imunitas adalah (1) fagositosis, (2) enzim-enzim pencernaan yang
merusak mikroorganisme yang masuk ke lambung, (3) resistansi kulit, (4) senyawa
dalam darah (lisozim, polipeptida dasar, kompleks pelengkap) yang menyerang
organisme asing dan toksin dan merusak mereka, dan ((5) limfosit pembunuh alami
yang mengenali dan merusak sel-sel asing, sel-sel tumor dan beberapa sel
infeksi.
Imunitas yang
diperoleh terdiri dari imunitas humoral (imunitas sel-sel b) dan sel mediasi imunitas (imunitas sel
T). Imunitas humoral ditemukan dalam antibodi sirkulasi (molekul globulin) yang
dapat dan menyerang agen-agen asing. Lymfosit banyak terdapat dalam node limf dan juga jaringan limfoid.
Produksi
antibodi disirkulasi ke seluruh tubuh. Antibodi dibagi menjadi 5 kelas, yaitu
IgM, IgG, IgA, IgD dan IgE. IgG terdapat
sekitar 75% antibodi orang normal. Antibodi menyerang invader secara langsung
atau mengaktifkan sebuah sistem komplementnya yang merusak invader. Sel-sel T
dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu helper sel T, sitotoksik sel T dan supresor
sel T. Mayoritas sel T adalah helper sel T yang berperan pada sel lain dari
sistem imun dan bone marrow. Linfokins yang paling penting adalah
interleukin-2, interleukin-3, interleukin-4, interleukin-5, interleukin-6,
granilosit-monosit colony-stimulating factor dan interferon-γ tanpa linfokines
dari helper sel T.
Efek Exercise dan Training Terhadap Aktivitas Imun
Exercise
training menyebabkan semakin mudahnya terkena penyakit. Training moderat
seperti jogging dan aktivitas rekreasi lainnya tidak meningkatkan resiko
infeksi penyakit namun sebaliknya dapat meningkatkan daya tahan tubuh terhadap
agen-agen patogenik. Training keras yang dilakukan oleh atlet top baik
fisikmaupun emosional selama kompetisi menaikkan laju infeksi penyakit terutama
pada bagian upper respiratory illnesses. Efek promosi kesehatan dari latihan
sistematik sangat menonjol menurunkan kematian usia paruh baya termasuk resiko
untuk terkena kanker.
Innate Immunity
Beberapa
studi menghasilkan fakta bahwa latihan akut meningkatkan aktivitas fagositik
yang ditemukan pada pada makrofage jaringan penghubung atlet endurans sesudah
lari 15 km yang melelahkan yang dikaitkan dengan kenaikan isi enzim lisosomal
makrofage. Sesudah 1 jam bersepeda pada 60% VO2 maks, aktivitas neutrofil
oksidatif meningkat selama 6 jam pada orang terlatih dan tidak terlatih. Peningkatan aktivitas neutrofil juga
ditemukan setelah lari 2 km dan 10 km. Sebalikna aktivitas fagositik monosit
darah berkurang setelah berlari maksimal short-term.
Efek latihan
terhadap total titer komplement dan terhadap serum C3 dan C4 ditemukan berbeda
jika mereka semua ada. Level
protein C-reaktif meningkat selama 4 jam
sesudah 2 atau 3 jam berlari. 9 minggu
latihan level protein C-reaktif berkurang pada istrahat dan hilang responnya
hingga 2 jam berlari.
B- dan T-Limfosit
Peningkatan
yang menonjol karena latihan adalah populasi sel-sel B dengan cepat kembali ke
level basal. Respon ini lebih besar pada orang tidak terlatih dibandingkan
dengan orang terlatih.
Latihan
maksimal meningkatkan populasi sel-sel T dalam sirkulasi terutama untuk orang
yang tidak terlatih. Selama latihan prologed, respon bervariasi dengan dominasi
penurunan populasi sel T. Latihan 40 menit dengan intensitas tinggi (80% VO2
maks) menyebabkan peningkatan jumlah sirkulasi T-limfosit, T-helper/induktor
dan T-suppressor. Latihan dengan intensitas moderat dengan durasi yang sama tidak
mengubah jumlah sel-sel tersebut.
Beberapa
limfokines berasal dari sel-sel T. Interleukin 2 dihasilkan selama latihan.
Aktivitas interferon-a telah ditemukan dalam plasma
darah meningkat selama 1 jam bersepeda pada 70% VO2 maks.
Konsentrasi interleukin 6 dalam plasma darah meningkat selama bersepeda 1 jam
pada 75% VO2 maks.
Produksi
interleukin-1 oleh makrofage meningkat selama dan sesudah latihan prolonged.
Level istrahat interleukin-1 lebih besar pada pelari endurans daripada orang
yang tidak terlatih. Subset ketiga sel T mengandung sel-sel pembunuh alami (NK)
yang jumlahnya berubah dramatis setelah melakukan berbagai intensitas latihan.
Aktivitas NK meningkat terutama sesudah latihan intensif yang melelahkan atau
latihan prolonged.
Imunoglobulin
Beberapa
latihan baik maksimal maupun prolonged mengubah level darah IgG, IgA, IgM dan
IgE, meskipun produksi invitro IgG, IgM dan IgE oleh limfosit berkurang ketika
sebuah sampel darah diperoleh setelah 15 menit bersepeda. Sesudah lomba maraton
titer serum imunoglobulin spesifik diinjeksi dengan toksin tetanus langsung
meningkat. Cairan mukosal dengan dominasi imunoglobulin IgA merupakan efektor
penting melawan infeksi penyakit respiratory. Latihan menurunkan level IgA
salivari dan nasal wash pada atlet terlatih endurans.
Hasil-hasil
tesebut menunjukkan bahwa sistem imun merespon latihan akut. Lebih penting lagi untuk monitoring
latihan adalah perubahan aktivitas imun selama latihan dan pada overtraining.
Ketika indeks imunologi dimaksudkan untuk digunakan monitoring training,
perhatian harus fokus pada aliran sitometri. Metode ini memugkinkan kita
menginvestigasi dalam spektrum yang luas parameter-parameter imunologi.
Kesetimbangan Air dan Elektrolit
Kecuali
protein konstituen lain dari plasma darah bebas melewati dinding kapiler. Jadi
konsentrasi mereka dalam plasma darah dan cairan interstitial hampir sama.
Bagaimna pun juga perbedaan signifikan tampak jika kita membandingkan
konsentrasi ion-ion Na+, K+ , Ca++, Mg++,
Cl-, dan HCO3-, dan ion sulfat dalam cairan
interstitial dan kompartemen intraselulas. Hal ini disebabkan oleh
permeabilitas membran sel yang selektif. Akibatnya, konsentrasi ion natrium,
kalsium, klorida dan bikarbonat lebih besar di luar membran plasma dan
konsentrasi ion kalium, magnesium, fosfat dan sulfat lebih besar di bagian
dalam membran plasma. Jadi konsentrasi ion pada intraselular berbeda dengan di
ekstraselular. Dengan kata lain, gradien ionik timbul pada kedua kompartemen
tersebut.
Aktivitas
hidup yang normal, gradien konsentrasi ionik pada kedua kompartemen relatif
konstan. Ini yang mendukung manifestasi aktivitas selular. Peningkatan
permeabilitas memungkinkan sebuah aliran ion natrium masuk ke dalam kompartemen
intraselular yang diukuti dengan aliran keluar ion kalium dari sel ke ekstraselular
kompartemen. Depolarisasi diinisiasi oleh aliran ionik melalui sarkolema juga
pengaruh pembebasan ion Ca2+ dari retikulum endoplasmik. Ketika
depolarisasi terjadi dalam T-tubules dikonduksi terhadap terminal cistarnae, Ca2+
dibebaskan dari lumen dengan
membuka chanel spesial pembebasan kalsium. Banyak fakta bahwa pada berbagai
jenis fatig kegagalan pembebasan kalsium merupakan sebuah faktor penting. Ion
kalsium diperlukan untuk aktualisasi aktivitas sel tertentu dan untuk proses
energi yang menghasikan energi.
Untuk
mengulangi aksi siklik fungsi selular, pergeseran dihentikan dan istrahat. Pergeseran
ionik dengan arah berlawanan terjadi (ion natrium keluar dan ion kalium masuk
ke dalam kompartemen intraselular) reabsorbsi
ion kalsium oleh sarkoplasmik retikulum diperlukan. Pergeseran ini
melawan gradien ionik sehingga memerlukan energi untuk pompa ionik yang harus
bekerja dengan bantuan enzim Na+-K+ ATPase yang
diaktivasi oleh ion kalsium dalam endoplasmik.
Penurunan
kapasitas kerja otot-otot sekeletal juga disebabkan oleh tidak memadainya
fungsi pompa ionik pada sarkolema serat otot ekeletal. Selama kontraksi ulangan
pada laju yang tinggi, pompa ionik baru sesungguhnya bekerja. Aktivias pompa
ionik dilakukan oleh epinefrin yang memberikan efek berlawanan. Hasilnya
membuat hubungan antara fungsi pompa ionik dan kelelahan otot.
Terakumulasinya
ion natrium dalam kompartemen intraselular disebabkan oleh tidak cukupnya laju
fungsi pompa ionik, meningkatnya osmolalitas intraselular dan menyebabkan sebuah
pergeseran air ke dalam serat-serat otot skeletal dan myocardium hingga edema
selular selama latihan prolonged.
Ketidakcukupan
fungsi pompa ionik juga mengurangi gradien ion K+ melalui
peningkatan konsetrasi ion kalium di bagian cairan ekstraselular. Kondisi ini
ditemukan pada atlet dan orang tidak terlatih pada beberapa latihan. Kenaikan
ion K+ berkaitan dengan intensitas latihan. Peningkatan ion kalium
tersebut menunjukkan fenomena fatig. Endurans dan sprint training mempengaruhi
arus keluar masuknya ion-ion. Sesudah training enduran dikurangi, laju
hilangnya ion kalium dari otot-otot yang berkontraksi ditemukan. Latihan sprint
mengurangi respon ion kalium plasma terhadap latihan maksimal. Latihan ini dampaknya tampak memiliki kaitan dengan efek latihan terhadap bagian pompa ionik dan
Na+-K+ ATPase. Sebaliknya akumulasi natrium intraselular
dan air tidak dapat diukur dalam monitoring latihan, peningkatan kalium darah
mungkin dapat digunakan untuk evaluasi fungsi pompa ionik pada atlet selama
latihan yang intensif.
Beberapa
faktor yang mempengaruhi level natrium ekstraselular dan kalium selama latihan
disamping fungsi pompa ionik. Peningkatan konsentrasi kalium dalam plasma
memicu pembebasan ion kalium selama pemecahan glikogen karena kalium disimpan bersama-sama
dengan glikogen. Telah dihitung bahwa 18 gram kalium disimpan dalam setiap gram
glikogen yang dideposit. Protein juga mungkin mengikat kalium. Perubahan
natrium dalam plasma selama latihan adalah sedang jika diperhatikan dengan
detail. Ketika konsetrasi kalium-natrium berubah dikoreksi terhadap
hemokonsentrasi, perubahan signifikan level natrium hilang hanya setelah 1
menit latihan yang melelahkan.
Gradien ionik
ion natrium mungkin dipengaruhi oleh hilangnya natrium melalui keringat. Hal
ini dihambat oleh mekanisme konservasi garam. Akibatnya, konsetrasi natrium
dalam keringat lebih rendah daripada dalam plasma. Pengatur sekresi renal
kalium distimulasi oleh aldosteron untuk menghidari akumulasi kalium dalam
kompartemen ekstraselular sehingga mengurangi gradien kalium. Pada kelenjar
keringat tidak ada mekanisme konservasi ion kalium. Level ion kalium dan magnesium sama baik dalam
keringat maupun plasma. Akibatnya, mekanisme konservasi kelenjar keringat
mengurangi kehilangan natrium tapi tidak kehilangan kalium.
Kehilangan
kalium disebabkan oleh panas namun sebagian hasil studi meragukan kehilangan
kalium dalam jumlah besar karena faktor panas tersebut. Dehidrasi latihan
menyebabkan kehilangan air tubuh sekitar 4,35 L (5,8% massa tubuh) yang menyebabkan
kehilangan ion kalium sekitar 1% (44,6 mmol).
Dehidrasi sekitar 2% massa tubuh sudah menyebabkan penurunan performans.
Terakhir ditemukan hubungan linier antara penurunan massa tubuh dengan
penurunan performan. Jika kehilangan air tubuh sebanyak 4% - 5% massa tubuh
kapasitas untuk kerja keras otot akan turun sekitar 20% hingga 30%.
Beberapa efek
berbahaya dari dehidrasi terjadi selama latihan. Pertama, kemungkinan untuk
termoregulasi berkurang dan temperatur tubuh naik mencapai level tertinggi. Efek
kardiovascular disebabkan oleh aksi gabungan dehidrasi dan hipertermia sehingga
selama latihan 120 menit terjadi penurunan rata-rata tekana arteri, output
jantung dan volume pukulan dan peningkatan laju jantung dan resistansi vascular
sistemik. Untuk mencegah dehidrasi maka hidrasi selama latihan diperlukan untuk
menghindari efek yang berbahaya bagi tubuh.
Kesimpulannya,
kesetimbangan air-elektrolit dikontrol oleh pompa Na+-K+
pada sarkolema, pompa ion Ca2+ pada membran retikulum sarkoplasmik
dan beberapa faktor yang mempengaruhi volume ekstraselular dan komposisinya. Dalam
monitoring biokimia training, informasi tentang fungsi pompa ini sangat
penting. Tidak mungkin kita mendapatkan informasi langsung jika sampel biopsi
tidak digunakan. Meskipun demikian perubahan induksi latihan pada level kalium
plasma agak bernilai meskipun sngat terbatas untuk interpretasi ion kalium
tersebut. Perubahan level natrium plasma kurang bernilai sebagaui informasi
karena hanya dalam level sedang dan berkaitan denga hemokonsetrasi.
Kapasitas
kerja tergantung pada status dehidrasi yang dipengaruhi oleh laju perspirasi
dan rehidrasi voluntar. Informasi umum tentang kehilangan air dapat diperoleh
dengan menghitung penurunan massa tubuh jumlah air yang dikonsumsi. Penurunan
volume plasma kurang informatif karena tergantung pada beberapa faktor lain dan
efek dehidrasi pada volume plasma sangat terbatas. Mengumpulkan keringat tubuh
merupakan metode yang tersedia untuk monitoring kehilangan elektrolit. Prosedur
ini cukup komplikasi sehingga tidak digunakan dalam monitoring harian latihan.
Konsentrasi
elektrolit-air yang setimbang merupakan parameter yang mengontrol homeostatis.
Kurangnya perubahan elektrolit plasma bukan karena perubahan metabolisme
air-elektrolit tetapi karena faktor regulasi homeostatis.
Lipoprotein
terdiri dari protein (apoprotein, yaitu: apo A, apo B, apo C dan apo D serta
beberapa polimorf apo E) dan lipid (trigliserida, fosfolipid, kolesterol tak
teresterifikasi, dan kolesterol tersterifikasi) yang merupakan kendaraan
pengangkut lipid menuju tempat metabolisme di berbagai jaringan. Fungsi sisi
protein tersebut sebagai reseptor membran dan berperan sebagai kofaktor enzim
yang terlibat dalam metabolisme lipoprotein. Dengan ultrasentrigul diketahui
perbedaan kerapatan lipoprotein plasma.
Lipoprotein
merupakan partikel berbentuk sferik dengan intinya mengandung trigliserida dan
ester kolesterol sedangkan permukaannya terdiri dari apoliporotein, fosfolipid
dan kolesterol non ester. Pertukaran lipid dan apoprotein terus berlangsung, seperti enzim
lipoprotein lipase, lipase hepatik, dan lesitin-kolesterol asiltransferase.
Empat jenis lipoprotein utama, yaitu HDL ,
LDL , VLDL dan kilomikron. HDL kemudian dapat dibagi menjadi HDL 1, HDL 2,
dan HDL 3 . Keempat
jenis lipoprotein tersebut memiliki fungsi yang berbeda.
Fungsi VLDL
untuk mengangkut trigliserol dari hati ke jaringan lain. Di bawah pengaruh
katalis lipoprotein lipase, VLDL dan kilomikron diuraikan menghasilkan gliserol
dan asam lemak bebas sebagai substrat energi jaringan periferal. Komponen
permukaan VLDL terdegradasi tersebut (kolesterol, fosfolipid) ditransfer
menjadi HDL sedangkan
apoproteinnya ditahan dalam LDL
(apo B) dan HDL (apo E dan apo C).
Latihan daya
tahan menghasilkan penurunan total kolesterol dan level LDL
dan meningkatkan konsentrasi HDL .
Proses ini menyebabkan peningkatan aktivitas lipoprotein lipase dalam otot dan
jaringan adiposa. Akibatnya, penentuan total kolesterol pada dan atau HDL dan LDL
penting untuk evaluasi efek antisklerotik latihan untuk meningkatkan kesehatan.
Asam lemak
bebas yang dibebaskan dari VLDL dan kilomikron dpat digunakan untuk
menghasilkan energi untuk otot yang sedang bekerja. Lipoprotein lipase berlokasi
di permukaan luminal dinding vaskular. Meskipun demikian pengambilan asam lemak
bebas oleh otot dari VLDL-trigliserida tampak lebih lambat dan hanya dapat
kurang dari 5% asam lemak bebas turunan CO2 selama latihan yang
panjang. Jadi tidak perlu VLDL dan
kilomikron sebagai sumber susbtrat oksidasi selama monitoring latihan.
Mikrodialisis
Mikrodialisis
merupakan teknik yang dianggap cukup menjanjikan untuk studi metabolik pada
manusia termasuk pada saat berolahraga. Serat membran berlubang atau probe
berfungsi sebagai pembuluh darah tiruan yang dapat dimasukkan ke dalam
ekstraselular jaringan adiposa subkutan atau jaringan otot. Sebagai contoh,
keseimbangan antara glukosa dan asam laktat dalam otot dan jaringan adiposa
selama kontraksi isometrik telah dipelajari dengan teknik ini. Hasil-hasil
penting yang diperoleh dengan menggunakan teknik ini adalah studi tentang
regulasi adrenergik lipolisis selama latihan.
Disamping
kelebihan yang dimiliki, teknik mikrodialisis juga memiliki keterbatasan, yaitu
hanya dapat digunakan untuk studi di laboratorium atau studi klinik dan tidak
dapat digunakan di lapangan sehingga tidak digunakan untuk monitoring latihan.
Bahkan mikrodialisis hanya dapat menganalisis molekul berukuran kecil seperti
glukosa dan asam laktat tetapi tidak untuk melekul berukuran besar seperti
TNF-alpha. Pengembangan teknik pengenceran mikro mungkin dapat mengatasi
keterbatasan tersebut.
Penutup
Metode
asesmen terhadap metabolik dewasa ini sudah banyak dilakukan dalam fisiologi
olahraga namun terbatas implementasinya di lapangan. Pada umumnya metode atau
teknik masih sulit diterapkan di lapangan dan hanya untuk dilakukan di
laboratorium atau untuk studi klinik. Hal utama yang membatasi penggunaan
metode atau teknik asesmen tersebut adalah teknik sampling, seperti biopsi
otot. Teknik biopsi otot banyak digunakan namun karena menggunakan jarum maka
kurang praktis untuk digunakan di lapangan olahraga. Pada sampling studi
reseptor hormon, teknik biopsi sulit digunakan karena memerlukan sampel dalam
jumlah yang besar. Studi pada beberapa jaringan lain, seperti hepatik dan
adiposa hanya dapat digunakan di laboratorium untuk studi klinik. Namun
kombinasi teknik tersebut dengan teknik lain, seperti penggunaan isotop
radioaktif memberikan banyak informasi atau data yang dapat diakses sehingga
menjadi lebih akurat. Disamping harus memilih metode atau teknik yang tepat,
peneliti juga harus memilih metabolit dan jaringan yang akan dimonitor.
Penentuan metabolit merujuk pada perubahan yang terjadi akibat dari latihan.
Adapun jaringan akan merujuk pada jaringan yang aktif bekerja untuk mengetahui
apa yang terjadi di jaringan tersebut. Untuk itu diperlukan pengetahuan yang
memadai untuk memahami jalur-jalur metabolik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar