HORMON SEBAGAI ALAT MONITORING LATIHAN
Pendahuluan
Setiap hormone memiliki fungsi tertentu dalam mengontrol metabolic.
Fungsi hormone tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh level atau kadarnya
melainkan dipengaruhi oleh banyak factor antara lain: kondisi reseptor hormone
tersebut, hormone lain dan regulator metabolic lainnya. Setiap hormone dalam
melaksanakan fungsinya memiliki pola tertentu sehingga untuk mengetahui secara
detail suatu hormone tidak cukup hanya dengan mengenali efeknya tetapi juga
pola kerjanya, khususnya dalam merespon latihan. Akibatnya diperlukan
sikronisasi informasi untuk mendapatkan informasi yang lengkap. Kajian ini akan
mengulas tentang penggunaan hormone sebagai alat untuk memonitor latihan. Tentu
saja yang diulas adalah hormone-hormon yang terlibat selama latihan.
Sistem Sympathoadrenal
Sistem ini merupakan bagian dari system saraf otonom, pusatnya terletak
pada hipotalamus yang mengatur aktivitas struktur saraf symphatetic yang lebih
rendah dengan mengirim muatan saraf ke berbagai jaringan termasuk adrenal
medulla. Respon adrenal medulla adalah pembebasan epinefrin dan norepinefrin
dari granul endoplasmic sel-sel edrenomedula. Karena kedua katekolamin tersebut
disimpan dalam granule dalam jumlah yang cukup maka sekresinya cepat sehingga
kadarnya dalam darah cepat meningkat pada saat latihan dimulai. Di lain pihak
ujung saraf symphatetik yang tersambung ke pembulu darah juga menghasilkan
norepinefrin yang berperan sebagai neurotransmitter (mediator) dalam synapsis.
Akibatnya, jumlah norepinefrin lebih besar daripada dari adrenal medulla
sehingga level norepinefrin lebih besar daripada epinefrin.
Dalam otak norepinefrin
berperan sebagai neurotransmitter neuron-neuron adrenergic. Latihan
dapat menyebabkan perubahan kadar norepinefrin otak. Kedua hormone tersebut
diproduksi melalui jalur yang sama melibatkan beberapa senyawa intermedit.
Sebagian dari norepinefrin yang dihasilkan dari adrenal medulla dilepas ke
dalam darah dan sebagian lainnay dimetilasi menjadi epinefrin.
Katekolamin Pada Kontrol Metabolik
Efek metabolic dan fungsional epinefrin dan norepinefrin serupa tapi
tidak sama. Sebagai control metabolic, epinefrin lebih kuat, namun pada aksi
vasomotor, norepinefrin lebih dominan. Penyebabnya adalah reseptor-reseptor
kedua hormone sebagai mediasi efek. Norepinefrin menggiatkan terutama reseptor-a tapi
juga menggiatkan reseptor-b. Epinefrin menggiatkan kedua reseptor secara seimbang.
Akibatnya efek relative kedua hormone tersebut terhadap organ tergantung pada
distribusi reseptor-reseptor dalam membrane sel jaringan. Epinefrin yang lebih
besar efeknya terhadap reseptor-b maka dampaknya lebih besar untuk memacu jantung
daripada norepinefrin, namun pada saat yang sama epinefrin lemah efeknya pada
konstriksi pembulu darah pada otot dibandingkan dengan norepinefrin yang
pengaruhnya melalui reseptor-a lebih kuat mempengaruhi konstriksi pembulu darah. Itulah
sebabnya norepinefrin lebih besar meningkatkan tekanan darah arterial daripada
epinefrin tapi dapat memacu jantung. Pada kebanyakan metabolic, efek epinefrin
lebih besar efeknya 5-10 kali daripada norepinefrin.
Dalam control metabolic prosesnya relative lebih kompleks. Mekanisme
inhibitor adrenergic-a2 memodulasi lipolisis pada saat istrahat
sebaliknya maknisme stimulasi adrenergik-b1 lebih
dominant selama latihan. Dengan memblok reseptor-b akan menghambat aksi
epinefrin terhadap glikogenolisis otot sedangkan blockade reseptor-a mengurangi
pengambilan oksigen sehingga menggurangi efek epinefrin untuk meningkatkan
glikogenolisis.
Sistem Simpatoadrenal Selama Latihan
Keterlibatan otot-otot skeletal pada awal latihan dipengaruhi oleh
perintah pusat motorik kepada spinal neuron motorik (spinal cord) melalui jalur
pyramid dan melibatkan dengan cepat mengaktifkan system simpatoadrenal. Colateral dari jalur perintah
pusat motorik mengaktifkan pusat system syaraf otonom dalam hipotalamus.
Keterlibatan system syaraf otonom tersebut sudah banyak dibuktikan dengan
studi, seperti: Scheurink et. al. (1990) yang menyimpulkan bahwa hipotalamus a- dan
b-adrenoreseptor
terlibat dalam mengontrol peningkatan konsentrasi epinefrin dan
norepinefrin darah dan DiCarlo et. al. (1996) yang mendemonstrasikan peningkatan
yang signifikan aktivitas syaraf simpatik lumbar. Studi lain dilakukan oleh
Macdonald dan Coauthors (1983) yang menemukan peningkatan konsetrasi
katekolamin pada tes ergometer anaerobik latihan pemanasan.
1. Intensitas Latihan
Jika durasi latihan
sekurang-kurangnya 2 menit, respon katekolamin sangat tergantung pada
intensitas latihan. Hal ini ditunjukkan oleh peningkatan konsentrasi
norepinefrin dalam jumlah sedang setelah intensitas latihan meningkat dari 60%
menjadi 79% VO2 maksimum. Sedangkan epinefrin kurang signifikan
bahkan tidak tampak peningkatannya. Namun jika intensitas latihan melebih
ambang nilai tersebut maka kedua katekolamin tersebut meningkat tajam sesuai
dengan peningkatan intensitas latihan, seperti tampak latihan supramaksimal
Respon norepinefrin relatif
sedang sedangkan epinefrin tidak signifikan ketika intensitas latihan kurang
dari atau sama dengan intensitas pada ambang anaerobik individual. Pada kondisi
tersebut konsentrasi laktat ”steady state”. Tapi jika intensitas latihan
melebihi nilai ambang anaeorbik maka konsentrasi laktat, norepinefrin dan
epinefrin meningkat terus sampai latihan berakhir.
2. Durasi Latihan
Selama latihan aerobik
berdurasi panjang terjadi peningkatan konsentrasi norepinefrin dan epinefrin
secara bertahap. Namun pada latihan dengan durasi 3 jam, peningkatan level
katekolamin tampak pada satu jam terakhir terutama epinefrin. Dengan kata lain peningkatan ketekolamin
terjadi pada titik tercapainya kelelahan.
3. Kekuatan (Strength)
Latihan
Latihan strentgh menyebabkan
respon katekolamin meskipun jumlah otot dan unit-unit motorik yang terlibat
sedikit. Pada handgrip dengan 30%
maximal voluntary strength sudah tampa pada menit pertama.
4. Efek Latihan Terhadap
Respon Katekolamin Selama Latihan
Pada latihan submaksimal
diketahui, respon katekolamin kurang signifikan. Namun pada latihan
supramaksimal terjadi peningkatan konsentrasi ketekolamin dalam darah yang
signifikan. Pada latihan yang menginduksi peningkatan konsentrasi katekolamin
sudah banyak dipelajari. Pada lari jarak menengah, konsentrasi epinefrin dan
norepinefrin menjadi lebih besar setelah lari melelahkan.
Faktor-faktor Modulasi
1) Strain emosional
merupakan faktor yang sangat efektif mengaktifkan respon sympathoadereal. Konsentrasi katekolamin sudah meningkat
sebelum sebuah tes latihan atau sebelum lomba lari maraton. Konsentrasi
epinefrin dan norepinefrin sangat tinggi pada individu yang gampang cemas.
2) Level glukosa,
pemberian glukosa mengurangi respon epinefrin dan norepinefrin. Jika
konsentrasi glukosa tinggi maka kadar katekolamin tersebut menurun.
3) Hypoksia akut (14% O2
udara yang terhirup), konsetrasi norepinefrin meningkat signifikan pada saat workload namun tidak pada yang normoxia.
Namun pada ambilan 100% O2 konsentrasi katekolamin lebih rendah
selama latihan dibandingkan pada normoxia.
4) Selama berenang dalam
air panas (33o C) ditemukan konsetrasi epinefrin dan norepinefrin
lebih tinggi daripada dengan berenang pada air dengan suhu netral (27 oC).
5) Posisi upright
meningkatakan konsentrasi norepinefrin darah daripada jika pada posisi supine.
Sistem Pituitari-Adrenokortikal
Sistem
pituitari-adrenokortikal terdiri dari kortikotropes yang berlokasi di lobe
anterior kelenjar pituitary (adenohipofisis) dan mensekresi kortikotropin atau
ACTH dan sel-sel zona fasikulat adrenal korteks yang menghasilkan
glukokortikoid (kortisol dan kortikosteron). Dalam jumlah kecil, glukokortikoit
juga diproduksi oleh zona retikularis lapisan dalam sel-sel glukokortikal.
Kortikotropin mengontrol perkembangan korteks adrenal terutama zona fasikulate
dan menstimulasi produksi glukokortikoit. Glukokotikoid tidak disimpan dalam
kelenjar adrenal dan laju sekresinya berkaitan dengan laju biosintesis
stimulasinya dikontrol dengan bantuan penghambatan feedback dari kadarnya dalam
darah.
Sekresi kortikotropin
distimulasi oleh kortikoliberin atau corticotropin-releasing factor (CRF).
Namun hasil studi juga menemukan bahwa kortikotropin juga distimulasi oleh
vasopresin atau pengaruh langsung saraf-saraf simpatik.
Dalam darah kortikotropin
terikat pada protein plasma terutama cortisol-binding globulin dan sedikit pada
albumin. Hormon glukokortikoid yang paling aktif adalah kortisol, yaitu sekitar
95% dari keseluruhan aktivitas glukokortikoid. Sedangkan kortikosteron kurang
aktif dan hanya berperan sekitar 4 - 5%.
Glukokortikoids
Kortisol memiliki spektrum
yang luas sehingga mempengaruhi kontrol beberapa jalur metabolik. Kortisol
sering disebut hormon stress atau hormon adaptasi karena levelnya dalam darah
meningkat tajam pada berbagai jenis situasi stress, seperti: pengaruh
lingkungan, strain emosi, latihan, trauma, infeksi, racun, intoksikasi, hampir
semua penyakit yang membuat lemah.
Kortisol memberikan efek
setelah terikat pada reseptor spesifik sitoplasma, yaitu kompleks
steroid-reseptor. Efek metabolik utama kortisol adalah menginduksi sintesis
protein enzim, dan lainnya sebagai berikut:
1) Menstimulasi
glukoneogenesis di hati dengan cara menginduksi enzim yang terlibat dalam
proses tersebut dan mobilisasi asam amino dari jaringan ekstrahepatik terutama
otot.
2) Menstimulasi siklus
glukosa-alanin, kortisol merupakan induktor alanin-aminotransferase yang
mengkatalisis formasi alanin dalam otot skeletal dan deaminasi alanin dalam
hati.
3) Menurunkan penggunaan
glukosa sel. Kortisol menurunkan laju
penggunaan glukosa oleh sel dengan mengatur masuknya glukosa ke dalam
sel dan degradasinya.
4) Mereduksi simpanan
protein sel, kecuali protein hati. Penurunan tersebut terjadi karena reduksi
sintesis protein dan meningkatnya degradasi protein
5) Meningkatkan pool
asam amino bebas, kortisol menekan transportasi asam amino ke dalam sel dan
jaringan ekstrahepatik lain. Tapi, kortisol katabolisme protein berlanjut
sehingga transportasi asam amino dari jaringan nonhepatik meningkat.
6) Menstimulasi
erythropoiesis, laju sekresi yang tinggi dikaitkan dengan meningkatnya jumlah
sel-sel darah merah.
7) Mempengaruhi perilaku,
mengubah mood, mengubah stimulus sensory dalam mendeteksi dan mengenali,
mengubah kebiasaan tidur, dan lainnya.
8) Memberi efek
anti-enflamasi, Kortisol menghambat proses inflamasi dan menghindari kerusakan
akibat inflamasi, menyebabkan involution
membran lisosomaln, menurunkan permeabiltias kapiler dan mengurangi
migrasi leukosit ke dalam area inflamasi.
9) Mempengaruhi imun,
kortisol menyebabkan involusi jaringan
lymphoid termasuk nodes dan tymusnya terkait dengan penghambatan transportasi
glukosa.
Sistem Pituitari-Adrenokortikal Selama Latihan
Sistem pituitari-adrenokortikal cepat
diaktivasi pada saat latihan dimulai. Respons kortikotropin dipicu oleh muatan
saraf colateral dari perintah motorik yang dikirim melalui jalur piramid dari
korteks motorik menuju motoneuron spinal. Pada level hipotalamus, muatan
kolateral mengaktivasi sel-sel neurosecretory menghasilkan kortikoliberin yang
kemudian mencapai sistem portal pembulu darah menuju kelenjar pituitari yang
menstimulasi produksi dan pembebasan kortikotropin. Kortikotropin mencapai
korteks adrenal melalui jalur sirkulasi dan meningkatkan laju sintesis
glukokortikoid.
Peningkatan level kortisol
darah menyusul meningkatnya onset kortikotropin dengan interval waktu kurang
dari 1 menit. Pada intensitas latihan prolonged mendekati ambang anaerobik,
konsentrasi kortisol menurun karena menurunnya level kortikotropin. Meskipun
demikian selama 1 jam kedua latihan, level kortikotropin dan kortisol meningkat
dan bersifat stabil dan tampak lebih jelas pada atlet yang latihan endurans
daripada mereka yang tidak terlatih atau atlet nonendurans, seperti pada lari
maraton.
Determinan Respon Kortikotrpin dan Kortisol
1) Respon kortikotropin
dan kortisol tergantung pada intensitas yang mendekati ambang anaerobik, namun
ada kemungkinan bahwa pada intensitas tinggi latihan anaerobik respon kortisol
ditekan karena tingginya kadar hidrogen yang menghambat fungsi adrenokortikal.
Pada latihan short-term, latihan berintensitas tinggi respon kortisol darah
meningkat sesuai durasi latihan. Kejadian serupa juga ditemukan pada latihan
strength dan latihan power short-term
2) Pada latihan
submaksimal, efek-efek latihan tertentu dikurangi respon kortikotropin dan
kortisol karena meningkatnya ambang intensitas yang diukur pada output power.
3) Latihan meningkatkan
kapasitas korteks adrenal untuk memproduksi glukokortikoid melalui induksi adrenal
hipertropi dan tambahan dari struktur selular yang memproduksi glukokortikoid.
Faktor Modulator
Efek determinan utama respon
hormon (intensitas latihan, durasi dan adaptasi terhadap latihan) dimodulasi
oleh beberapa kondisi atau disebut modulator.
- Emosi,
efek strain emosi terhadap aktivitas adrenokortikal selama latihan
ditandai dari perubahan antisipator dalam sekresi 17-hidroksikortikoid
sebelum kompetisi dan meningkatnya level glukokortikoid darah. Pengaruh
emosi, latihan di bawah ambang dapat menyebabkan aktivasi adrenokortikal.
2. Ketersediaan karbohidrat, Mekanisme
glukostatis juga mengontrol aktivitas mekanisme pituitary-adrenokortikal. Penambahan
glukosa mencegah respon glukokortikoid selama latihan. Hiperglikemia sebelum
latihan dikaitkan dengan penurunan konsentrasi kortisol pada saar 15 menit
latihan namun selanjutnya konsentrasi kortisol meningkat. Pemecahan glikogen
sebelumnya meningkatkan konsentrasi kortisol darah pada latihan endurans 80% VO2
maks. Demikian dengan puasa meningkatkan level kortisol. Tapi pada latihan
prolonged, efek hambatan dari pemberian glukosa tidak tampak.
3. Kondisi lingkungan, kondisi hipoksi latihan
dibawah ambang dapat meningkatkan level kortisol darah. Selama latihan renang
pada suhu yang berbeda, konsetrasi kortisol meningkat hanya pada 33 oC.
Latihan dengan intensitas moderat prolonged pada suhu panas, lingkungan lembab
dikaitkan dengan peningkatan temperatur tubuh level kortisol darah. Setelah
minum suatu cairan, peningkatan temperatur rektal menurun dan respon kortisol
ditemukan tidak signifikan.
4. Massa otot, Latihan selama 30 menit
peningkatan level kortisol plasma dan laktat darah dan denyut jantung berkurang
sangat signifikan ketika menggunakan kedua kaki daripada ketika menggunakan 1
kaki. Pada latihan 1 kaki, output power per satuan volume otot-otot kaki lebih
besar daripada latihan dengan 2 kaki.
5. fatig, faktor fatig sebagai modulator respon
hormonal selama latihan masih kontrovesial. Dari beberapa studi baik yang
dilakukan pada tahun 1950an, 1960an dan 1970an masih ditemukan bahwa kondisi
fatig dikaitkan dengan rendahnya level kortisol selama latihan meskipun
sebagian studi menemukan kenaikan level kortisol darah, seperti pada akhir atau
finis lomba lari maraton.. Namun pada penelitian tahun 1990an ditemukan
peningkatan level kortisol darah pada lomba ski yang dikaitkan dengan level
kortikotropin, tetapi dari 3 hari pengambilan sampel setelah ski tidak
ditemukan peningkatan respon kortisol.
6. Ritme biologi, Perbedaan respon hormonal
ditemukan pada 70% VO2 maks. Yang dilakukan oleh perempuan selama
periode fellicular (hari 3 sampai 9), siklus tengah (hari 10 sampai 16) dan
periode luteal (hari 18 sampai 26) dari siklus mensturasi ovarian. Respon
kortisol serupa antara fase fellicular dan fase luteal selama 30 menit latihan.
Peerbedaan terjadi pada setengah dari latihan 90 menit pada sebuah ergometer
sepeda pada 63% VO2 maks. selama fase midluteal (hari 20 sampai 23),
level kortisol darah lebih besar dengan signifikan daripada fase midfollicular
(hari 6 sampai 9).
Kortisol dan Kontrol Metabolik Selama Latihan
Perubahan
metabolik selama latihan berubah tidak hanya karena kurangnya respon hormonal
tapi juga level disorder metabolik yang sudah ada sebelumnya. Selama lari yang
melelahkan, pemecahan glikogen ditemukan dalam tubuh dan otot-otot anterior
tibialis tikus ditekan oleh adrenalectomis. Signifikansi glukokortikoid untuk
penggunaan glikogen dalam otot-otot kerangka dapat dijelaskan melalui aksi
permisif glukokortikoid terhadap efek glikogenolitik epinefrin.
Kontrol
mobilisasi lipid, kontribusi glukokortikoid melalui pengaruh permisifnya
terhadap aksi lipolitik epinefrin dan hormon pertumbuhan (GH). Adrenalectomy
secara signifikan menurun dengan meningkatnya level asam lemak bebas plasma
selama latihan. Kortisol dikenal melalui aksi kataboliknya. Selama latihan efek
glukokortikoid (menekan sintesis protein, menambah pembebasan asam amino,
meningkatkan laju degradasi protein otot, lymphoid, dan jaringan penghubung,
meningkatkan aktivitas protease myofibrillar otot, dan membebaskan
3-metihistidin ke jaringan otot) merupakan hal pokok, yang tampak pada kontrol
polifaktor. Perlu dipertimbangkan bahwa aktivitas otot menekan efek protektif
melawan aksi katabolik glukokortikoid pada jaringan otot.
Peningkatan
level glukokortikoid darah menghasilkan stimulus untuk peningkatan produksi
alanin. Efek ini dan pengaruh kortisol terhadap glukoneogenesis membuat hormon
ini penting untuk menentuan laju siklus glukosa-alanin. Aksi kortisol terhadap
matabolisme alanin diaktualisasi melalu induksi alanin aminotransferase.
Jadi
hormon-hormon aderenal memiliki sebuah peran penting untuk sintesis urea selama
latihan. Glukokortikoid juga penting untuk eliminasi urea pada periode recovery
setelah latihan.
Selama
latihan, glukokortikoid tampak berkontribusi terhadap kontrol fungsi pompa Na+
K+ terhadap membran plasma jantung dan serat-serat otot. Ada 2
kemungkinan untuk interpretasi aksi glukokortikoid terhadap pompa Na+
K+, Pertama, glukokortikoid memberikan efek permisif terhadap
aktivasi fungsi pompa Na+ K+ melalui epinefrin.
Kemungkinan kedua adalah terdiri dari sintesis Na+ K+
ATPase oleh glukokortikoid yang kemudian bertanggung jawab terhadap perubahan
aktivitas enzim selama latihan prolonged.
Kesalahpahaman Fungsi Kortisol
Fungsi
kortisol hanya dipahami dalam menstimulasi proses metabolik sehingga kortisol
dievaluasi dengan tidak benar. Kesalahpahaman berikutnya adalah latihan
mengurangi respon kortisol untuk menghindari disadaptasi induksi kortisol.
Kesalahpamahaman tersebut kontradiksi dengan hasil studi-studi fisiologi dan
biokimia sebelumnya. Kortisol berkontribusi terhadap kontrol metabolik sehingga
hormon esensial untuk kapasitas kerja dan performan yang baik.
Hormon-hormon Pankreas
Pulau
langerhans pangkreas mensekresi dua hormon utama, yaitu insulin dan glukagon
disamping beberapa hormon gastroenteropankreatik. Insulin dan glukagon
merupakan regulator metabolisme yang penting baik pada saat latihan maupun
sesudah latihan. Itulah sebabnya latihan yang menimbulkan perubahan terhadap
level insulin dan glukagon memberikan informasi kontrol metabolisme
karbohidrat, lipid dan protein.
Insulin
Fungsi utama
insulin untuk menyimpan kelebihan substansi energi. Pada kondisi dimana tubuh
memerlukan banyak energi, sekresi insulin ditekan, seperti pada saat puasa dan
latihan. Sebaliknya kelebihan karbohidrat dalam makanan menstimulasi pembebasan
insulin. Waktu paruh insulin dalam darah sekitar 6 menit dan masa tinggalnya
dalam darah sekitar 10 hingga 15 menit setelah sekresinya. Insulin terikat pada
jaringan target dengan reseptor protein pada membran sel. Sisanya akan
didegradasi di hati dan dibuang melalui ginjal.
Membran sel-sel
otot, jaringan adiposa dan sel lainnya menjadi lebih permeabel terhadap glukosa
setelah insulin terikat pada reseptor protein membran. Insulin mempengaruhi
aktivitas beberapa enzim intraselular terutama untuk enzim-enzim yang terlibat
dalam fosforilasi selama 10 – 15 menit.
1. Efek Metabolik
Insulin
Efek kontrol
metabolik insulin dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Meningkatkan permeabilitas membran otot
sehingga glukosa lebih cepat masuk ke dalam serat otot dan jaringan otot .
Selama latihan glukosa tetap masuk ke dalam serat otot meskipun leve insulin
rendah karena pembebasan sejumlah protein khusus selama otot berkontraksi,
yaitu: GLUT1, GLUT2, GLUT3, GLUT4, dan GLUT5 yang mempromosikan transportasi
glukosa ke dalam serat otot.
b. Menyimpan glikogen dalam otot. Setelah makan
insulin mempromosikan transportasi banyak glukosa ke dalam sel-sel otot. Hal
yang sama juga terjadi pada periode recovery setelah latihan meskipun tanpa
pasokan glukosa dari luar. Insulin menstimualsi pembentukan glikogen otot dari glukosa.
c. Mempromosikan hati mengambil, menyimpan dan
menggunakan glukosa. Setelah makan, glukosa terabsorbsi disimpan langsung ke
dalam hati dalam bentuk glikogen. Ketika makanan sudah tidak tersedia dan
glukosa darah mulai menurun, glikgen hati didegradasi kembali menjadi glukosa.
d. Mengubah karbohidrat menjadi lipid. Ketika
jumlah glukosa yang masuk ke dalam sel hati melebihi daya tampung hati maka
insulin mempromosikan konversi kelebihan glukosa menjadi asam lemak bebas dalam
hati. Demikian pula halnya yang terjadi di jaringan adiposa.
e. Menghambat lipolisis. Insulin menghambat
aktivitas hormon-sensitif lipase meskipun insulin pada level normal. Pada level
insulin yang rendah, hormon-sensitif lipase menjadi sangat kuat diaktifkan.
Akibatnya, terjadi pembebasan asam lemak bebas dan gliserol dalam darah
menyusul meningkatnya hidrolisis triasil gliserol.
f. Mempromosikan sintesis protein dan menghambat
degradasinya. Insulin menstimulasi transport aktif banyak asam amino (valin, leusin, isoleusin,
tirosin, dan fenilalanin) masuk ke dalam sel. Insulin memiliki efek langsung
terhadap ribosom, meningkatkan laju translasi mRNA dan laju transkripsi gen DNA terpilih dalam inti meningkatkan jumlah RNA.
Insulin menghambat katabolisme protein sehingga menurunkan pembebasan asam
amino dari sel terutama dari sel otot. Selama latihan, level insulin yang
rendah memungkinkan terjadinya siklus glukosa-alanin meningkatkan laju
pembebasan alanin dari otot dan keluarnya glukosa dari hati.
g. Insulin penting untuk pertumbuhan. Pertama,
insulin penting untuk pertumbuhan karena menstimulasi dan mendukung
transportasi asam amino ke dalam sel dan mempromosikan proses translasi
sintesis protein. Kedua, penting karena meningkatnya karbohidrat dan penggunaan
insulin memberikan efek sparing protein.
Level
glukosa darah merupakan faktor yang sangat penting mengontrolo sekresi insulin.
Konsentrasi insulin plasma meningkat hingga 10 kali lipat dalam 3 hingga 5
menit sesudah kenaikan akut level glukosa darah. Beberapa asam amino, terutama arginin
dan lisin menstimulasi sekresi insulin. Asam amino memiliki efek moderat dan
waktunya singkat jika kosentrasi glukosa darah konstan. Beberapa hormon seperti
glukagon, GH, kortisol dan progesteron dan estrogen juga mampu menstimulasi
sekresi insulin secara langsung atau memberikan potensi pada pemicu sekresi
insulin.
Sekresi
insulin dikontrol oleh pengaruh antagonis sistem syaraf otonom, stimulasi saraf
parasimpatik, dan saraf simpatetik yang menghambat sekresi.
2. Insulin Selama
Latihan
Sekresi insulin
berkurang ketika merespon latihan kecuali pada latihan supramaksimal dalam
waktu pendek yang menyebabkan peningkatan transient hiperglikemia. Latihan
mengurangi atau mengeliminasi insulin pada latihan submaksimal. Latihan
menghambat tambahan sekresi insulin setelah pemberian glukosa. Meskipun
demikian, pemberian glukosa selama latihan menghindari menurunkan konsentrasi
insulin darah atau bahkan menggantinya dengan menaikkan level insulin. Makanan yang kaya lemak atau puasa
meningkatkan reduksi level insulin selama latihan.
Hipoksia
meningkatkan respon insulin darah terhadap latihan. Insulin memegan peran
penting dalam mengontrol metabolik selama latihan. Efek insulin penting adalah
menjaga euglikemia dan mengatur output glukosa hati dan lipolisis di jaringan
adiposa. Menjaga euglikemia dilakukan seimbang dengan glukagon dan
hormon-hormon lain. Latihan endurans dapat meningkatan sensitivitas terhadap
insulin.
Glukagon
Sel-sel a pulau langerhans mensekresi glukagon. Aktivasi adenil siklase dalam
membran sel hati menyebabkan formasi cAMP dan penguatan efek cAMP oleh glukagon
juga dimungkinkan. Namun glukagon gagal mengaktivasi adenil siklase jaringan
otot. Akibatnya, glukagon tidak dapat mengontrol glikogenolisis dalam sel-sel
otot. Pada jaringan adiposa, glukagon menstimulasi hormon-sensitif lipase.
1. Efek Metabolik
Efek
metabolik glukagon dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Menstimulasi glikogenolisis hati sehingga
dapat meningkatkan sekresi insulin dan konsetrasi glukosa darah.
b. Menstimulasi glukoneogenesis dalam hati
dengan meningkatkan ekstraksi asam-asam amino dari darah melalui hati. Glukagon
memberikan peningkatan ketersediaan asam-asam amino untuk dikonversi menjadi
glukosa.
c. Menstimulasi lipolisis pada jaringan adiposa
dengan cara menghambat penyimpanan trigliserida dalam hati, mencegah ekstraksi
asam-asam lemak dari darah melalui hati.
Level glukosa darah merupakan faktor
paling utama dalam mengontrol sekresi glukagon. Jika level glukosa darah rendah
hingga mencapai level hipoglikemia konsentrasi glukagon meningkat beberapa kali
lipat. Hiperglikemia menurunkan level glukagon plasma. Setelah konsumsi makanan
berprotein tinggi, kosentrasi asam amino terutama alanin dan arginin
menstimulasi pembebasan glukagon dari pankreas menuju sirkulasi. Saraf simpatetik
juga menstimulasi fungsi sel-sel a pulau langerhans yang dapat menstimulasi
sekresi glukagon.
2. Glukagon Selama
Latihan
Latihan
prolonged dapat meningkatkan kadar glukagon darah hingga 4 kali lipat. Sekresi
glukagon tampaknya tidak dipicu oleh hipogikemik melainkan karena peningkatan
konsentrasi asam amino darah dan stimulasi saraf simpatetik. Latihan prolonged
respon glukagon tampak setelah periode panjang, yaitu sekitar jam kedua latihan
pada intensitas 30% hingga 50% VO2 maks. Pada latihan short-term
respon glukagon hanya pada intensitas tinggi. Makanan yang kaya lemak atau
berpuasa meningkatkan respon glukagon darah selama latihan daripada makanan
yang kaya karbohidrat. Peningkatan glukagon mungkin dimodulasi oleh suhu
lingkungan atau tekanan atmosfir meskipun hasil-hasil studi belum menunjukkan
hasil yang konsisten.
Aktualisasi 3
efek metabolik utama glukagon (output glukosa hati tambahan, kenaikan laju
gelikogenolisis dan kenaikan laju lipolisis) dan menjaga euglikemia selama
latihan. Semua efek tersebut tidak hanya tergantung pada glukagon melainkan
pada perbandingan glukagon dan insulin.
Somatostatin
Hormon
peptida ini diproduksi oleh sel-sel δ pulau langerhans dan juga diproduksi oleh
sel-sel neurosekretory hipotalamik. Sel-sel ini mencapai kelenjar pituitari melalui portal pembulu darah dan
menghambat pembebasan GH. Sekresi somatostatin distimulasi oleh meningkatnya
glukosa darah, asam-asam amino dan asam-asam lemak dalam darah. Meningkatnya konsentrasi hormon
gastrointestinal dari jalur gastrointestinal untuk merespon pengambilan makanan
meningkatkan pembebasan somatostatin. Jadi konsumsi makanan merupakan faktor
yang menstimulasi sekresi somatostatin pankreas.
Somatostatin
menghambat sekresi insulin dan glukagon, menurunkan motilitas lambung, usus dan
gallbladder. Fungsi utama somatostatin adalah untuk memberikan waktu lebih
ketika makanan diasimilasi dalam darah. Dengan menekan sekresi insulin dan
glukagon, somatostatin juga menurunkan penggunaan nutrien terserap oleh
jaringan. Akibatnya, makanan tersedia lebih lama dalam darah. Selama latihan
somatostatin meningkat secara bertahap namun cukup signifikan menekan sekresi
insulin selama latihan.
Hormon Pertumbuhan dan faktor-faktor Pertumbuhan
Jaringan
tubuh memproduksi faktor-faktor pertumbuhan disamping sebagai bagian dari aksi
GH, GH juga penting untuk adaptasi aktivitas otot. Namun dapat tidaknya Gh
sebagai alat monitoring latihan masih harus didiskusikan.
Hormon Pertumbuhan (GH)
Disekresi
dari lobe anterior kelenjar pituitary. GH menstimulasi pembebasan somatoliberin
yang diproduksi oleh sel-sel neurosekretory hipotalamus. Somatostatin
hipotalamus menghambat sekresi GH melalui kelenjar pituitari. Fungsi utama GH
untuk pertumbuhan hampir semua jaringan tubuh sehingga dapat berkembang. GH
mempromosikan peningkatan ukuran sel, menambah mitosis dengan meningkatkan
jumlah sel dan membedakan sel-sel pertumbuhan tulang dan sel-sel otot.
Kontrol Metabolik GH
a. Meningkatkan
transportasi asam amino melalui membran sel
b.Meningkatkan
translasi mRNA untuk mempromosikan sintensis protein oleh ribosom
c. Meningkatkan
transkripsi inti DNA membentuk
RNA.
d. Mengurangi degradasi
protein dan asam amino. Dengan cara ini GH bertindak sebagai sebuah poten
“sparer protein”.
Efek GH dalam mempromosikan pertumbuhan
memerlukan insulin karena tanpa insulin GH gagal memicu pertumbuhan. Namun
kontribusi GH dalam mengontrol metabolisme protein hanya menjadi bagian efek
metabolik GH sebagai berikut: (1) menstimulasi lipolisis, (2) menurunkan
penggunaan glukosa untuk oksidasi dengan memblokir pemecahan glikolitik glukosa
dan glikogen, (3) meningkatkan deposisi glikogen dalam sel, (4) meningkatkan
konsentrasi glukosa darah, dan (5) meningkatkan sekresi insulin akibat
meningkatnya glukosa darah.
Banyak efek
GH diaktualisasi oleh somatomedin yang diproduksi terutama dalam hati,
memberikan efek terhadap pertumbuhan tulang. Somatomedin sering disebut faktor GH jaringan.
Somatomedin yang paling penting adalah somatomedin-C yang mempromosikan
transportasi glukosa melalui membran sel sehingga sering disebut ”insulin-like
growth factor” (IGF-I).
Sekresi GH dipicu oleh puasa,
hipoglikemia, level rendah asam lemak bebas darah, latihan, strain emosi, dan
trauma. Sekresi GH juga meningkat selama 2 jam pertama tidur nyenyak. Sekresi GH dikontrol oleh hipotalamik
somatoliberin dan somatostatin.
GH Selama Latihan
GH merespon latihan yang dilakukan dalam waktu lama. Respon GH ditandai
oleh peningkatan level GH darah yang terus menerus selama latihan namun pada
sejumlah kasus terjadi penurunan level GH pada jam ke-2 latihan. Pada latihan
submaksimal juga terjadi peningkatan level GH namun pada latihan intensif
short-term tidak terjadi peningkatan level GH.
Pada latihan submaksimal, peningkatan level GH tegantung pada intensitas
latihan. Ambang intensitas untuk respon GH adalah 60% dan 80% VO2
maks. Semua ambang mendekati ambang anaerobic ditentukan oleh peningkatan asam
laktat darah. Jika latihan anaerobic supramaksimal dan latihan anaerobic
submaksimal prolonged dibandingkan maka durasi latihan merupakan factor penentu
besaran respon GH daripada intensitas. Meskipun demikian intensitas latihan
intensif anaerobic seperti pada latihan interval atau latihan supramaksimal
yang diulang sangat kuat menstimulasi pembebasan GH. Latihan strength dan
latihan power ditemukan meningkatkan level GH.
Pengambilan glukosa atau karbohidrat tinggi dalam diet menekan respon GH.
Sebaliknya, dengan karbohidrat yang rendah, diet kaya lemak atau berpuasa
meningkatkan respon GH. Faktor hipoksia juga diketahui dapat meningkatkan
respon GH. Suhu rendah menekan respon GH dan suhu tinggi memicu respon GH.
Selama periode recovery GH memberikan efek yang penting termasuk mengontrol penggunaan
glukosa dan lipolisis.
Somatomedin
Selama Latihan
GH menyebabkan pembetukan hormone somatomedin (factor GH) di hati
terutama somatomedin-C yang disebut juga insulin-like growth factor I.
Somatomedin-C mempromosikan transport glukosa
memlalui membrane sel. Pada adaptasi terhadap otot, somatomedin-C
berkontribusi dalam pembentukan hipertrophi otot. Latihan dengan beban berat
dapat menstimulasi pembentukan somatomedin-C dalam jumlah yang cukup yang
ditandai dengan kenaikan levelnya dalam darah. Latihan intensif short-term
tidak mengubah level somatomedin-C darah.
Leptin
Meski menjadi perdebatan statusnya sebagai hormone atau bukan karena
tidka diproduksi dalam kelenjar endokrin tapi karena lokasi aksinya tidak di
jaringan melainkan di otak maka memungkinkan disebut “hormone.” Level leptin
sebanding dengan jumlah lemak tubuh. Leptin berperan sebagai sinyal ke otak
yang mengakibatkan respons hormomal maupun neuronal untuk mengurangi asupan
makanan. Berkurangnya level leptin menstimulasi pengambilan makanan dan
meningkatkan penyimpanan makanan tubuh. Kemungkinan leptin turun levelnya
setelah latihan namun pengukuran leptin sebagai monitoring latihan dikaitkan
dengan pengambilan makanan.
Hormon-hormon Tyroid
Fungsi kelenjar tiroid dikontrol oleh tirotropin pituitary melalui system
pituitary-tiroid yang distimulasi oleh tyroliberin (thyrotropin releasing
hormone) yang disekresi oleh sel-sel neurosekretory hipotalamus. Tyroid
melepaskan 3 jenis hormone, yaitu: (1) tiroksin, (2) triiodotironin, dan (3) kalsitonin.
Kecuali kalsitonin, biosintesis tiroid terdiri dari iodinasi tirosin. Jadi
kekuarang iodine pada makanan atau minuman menganggu sintesis hormone tersebut.
Efek metabolic utama hormone-hormon tiroid diinduksi oleh triiodotironin.
Kalsitonin berperan penting dalam mengontrol metabolisme kalsium. Karena
afinitasnya yang tinggi terhadap protein plasma, maka tiroksin lambat mencapai
sel, sehingga waktu tinggal tiroksin sekitar 6 hari sedangkan triiodotironin 1
hari. Itulah sebabnya efek metabolic tiroksin penting pada periode recovery
setelah latihan. Jadi tidak mungkin berperan selama latihan. Namun
hormone-hormon tiroid penting untuk adaptasi jangka panjang dari pompa ionic
dalam membrane sel.
Hormon-Hormon Pengatur Ketimbangan Air dan Elektrolit
Vasopresin berperan untuk
mempertahankan jumlah normal air dalam tubuh dan volume darah. Aldosteron dan
faktor natriuretik atrial mengontrol konsetrasi normal natrium dan kalium pada
cairan ekstraselular. Level kalsium plasma darah dipertahankan oleh pengaruh yang
berlawanan dari paratohormon dan kalsitonin.
Epinefrin mengaktifkan pompoa
ionik Na+, K+ sebaliknya hormon tiroid berkontribusi pada adaptasi
long-term pompa ionik tersebut. Kekurangan glukokortikoid dikaitkan dengan
peningkatan natrium dan air intraselular .
Vasopresin
Inti-inti supraoptik sel-sel
tubuh merupakan tempat sintesis vasopresin. Vasopresin berperan memberikan efek
antidiuretik dan efek vasokonstriktor. Efek pertama adalah menstimulasi
reabsorbsi air renal tubules sehingga kehilangan air melalui urin dapat
dikurangi. Vasokonstrictor mempertahankan tekanan darah meskipun volume darah
menurun. Sekresi vasopresin dikontrol oleh osmoreseptor melalui tekanan osmotik
plasma darah. Jumlah tekanan osmotik sebanding dengan konsentrasi zat terlarut molekul
atau ion.
Selama latihan, terutama pada
latihan prolonged, level vasopresin dalam darah meningkat dan sebanding dengan
intensitas latihan. Respon vasopresin berkaitan dengan dehidrasi dan perubahan
osmolalitas. Intensitas latihan mempengaruhi vasopresin tidak langsung dari
neural pada inti-inti supraoptik tapi melalui perubahan osmolalitas yang
berkaitan dengan peningkatan laju perspirasi sesuai intensitas latihan.
Sistem Aldosteron dan Renin-Angiotensin
Fungsi utama aldosteron untuk mengontrol reabsorbsi natrium tubular
dan sekresi kalium ginjal. Aldosteron menstimulasi reabsorbsi natrium ginjal
sehingga levelnya dalam plasma darah relatif stabil. Retensi natrium tersebut
menimbulkan absorpsi osmotik yang hampir ekivalen dengan dengan jumlah air dari
renal tubules ke dalam plasma. Jadi aldosteron meningkatkan volume cairan
ekstraselular yang pada akhirnya meningkatkan tekana arterial darah.
Secara bersamaan, retensi
natrium aldosteron meningkatkan eskresi kalium melalui urin sehingga mencegah
peningkatan konsentrasi kalium ekstraselular. Tingginya level aldosteron dalam
jangka yang panjang menyebabkan kehilangan berlebih ion-ion kalium dari bagian
ekstraselular . Ketika konsentrasi ion kalium turun di bawal level setengah
dari normal, beberapa kelelahan otot berkembang karena gangguan transmisi
potensial aksi dalam memberan-membran serat otot.
Aldosteron menyebabkan sekresi
hidrogen dalam pertukaran dengan reabsorbsi natrium dalam renal tubules. Karena
sekresi hidrogen di renal jauh lebih kecil maka aldosteron tidak banyak
berperan dalam mencegah asidosis pada latihan anaerobik. Efek aldosteron hampir
sama dengan efek kelenjar keringat terhadap renal tubules sehingga keringat
hipotonik dibandingkan dengan plasma darah.
Sekresi aldosteron dikontrol
oleh konsentrasi ion-ion kalium dan natrium di ekstraselular, sistem
renin-angiotensin dan kortikotropin. Yang paling dominan adalah konsetrasi
kalium dan sistem renin-angiotensin.
Latihan menghasilkan
peningkatan level aldosteron darah. Latihan prolonged menunjukkan respon
aldosteron. Latihan anaerobik short-term dapat menyebabkan tingginya
konsentrasi aldosteron. Latihan yang menginduksi aldosteron menyebabkan
meningkatnya aldosteron dalam darah diikuti oleh naiknya aktivitas renin plasma
dan level angiotensin II. Ketika latihan dalam kondisi hipksia, aktivitas
plasma renin meningkat dengan meningkatnya beban kerja tapi tidak pada
normoksia. Aktivitas renin plasma meningkat secara bersamaan dengan konsetrasi
norepinefrin dan epinefrin serta laktat yang semuanya merupakan respon terhadap
intensitas latihan. Beberapa pengaruh lain berperan mengontrol sistem
renin-angiotensin selama latihan.
Peptida Natriuretik Atrial
Peptida natriuretik
atrial adalah sebuah peptida regulator
yang disimpan dalam granul sitoplasmik dalam atria hati. Gagal hati dikaitkan
dengan peningkatan berlebih tekanan atrial yang disertai dengan peningkatan 5 –
10 kali lipat ANP. ANP dapat meningkatkan natriuresis yang pada akhirnya
meningkatkan sekresi air renal. ANP berkontribusi terhadap pengaturan tekanan
darah dan relaksasi vascular otot-otot halus. Peptida menghambat biosintesis
aldosteron dan membebaskan renin. Jadi peptida berlawanan dengan sistem
angiotensin-aldosteron.
Selama latihan level ANP dalam
darah meningkat hingga lebih dari 3 kali lipat level basal. Natrium
meningkatkan respon ANP tapi menekan renin plasma dan respon aldosteron
terhadap latihan.
Pada suhu panas respon
ANPterhadap latihan tidak signifikan walaupun level aldosteron, kortisol dan
renin darah meningkat. Hidrasi kembali mengembalikan volume plasma, menurunkan
respon ANP terhadap latihan seperti halnya vasopresin, kortikotropin dan
kortisol.
Latihan yang ditingkatkan
secara bertahap menyebabkan peningkatan level ANP dan aldosteron serta
aktivitas renin plasma. Pada kondisi normal level ANP dan aldosteron meningkat
selama latihan meskipun aksi-aksi mereka terhadap natrium dan ekskresi air
berawanan.
Kalsitonin dan Parathormon
Level kalsium dalam cairan
ekstraselular dikotnrol oleh aksi yang saling berlawanan kalsitonin dan
parathormon. Ketika konsentrasi kalsium dalam cairan ekstraselular turun,
sekresi hormon parathormon meningkat dan sekresi kalsitonin menurun sebagai
efek langsung dari level kalsium terhadap kelenjar parathyroid dan terhadap
sel-sel tiroid yang menghasilkan kalsitonin.
Sebaliknya ketika konsentrasi kalsium meningkat dalam plasma darah
langsung menghambat sekresi parathormon dan menstimulasi pembebasan kalsitonin.
Parathoromon
menstimulasi pembebasan kalsium dari tulang ke dalam cairan ekstraselular. Sebaliknya
kalsitonin memicu deposisi kalsium dalam tulang dan menurunkan konsetrasi
kalsium dalam cairan ekstraselular.
Latihan meningkatkan
level ion kalsium yang dikaitkan dengan meningkatnya level kalsitonin dan
menurunnya level parathormon. Perubahan konsetrasi hormon-hormon tersebut yang
teramati mengekspresikan respon homeostatis terhadap meningkatnya level
kalsium. Efek latihan terhadap level parathormon sudah banyak dipelajari namun
hasilnya masih kontroversial.
Hormon-hormon Seks
Penggunaan testosteron
untuk memonitor latihan tidak cukup untuk meyakini signifikansi positif
testosteron untuk kekuatan otot karena masih harus mengetahui keseluruhan
fungsi testosteron dalam kontrol metabolik, parameter waktu aksi testosteron
dan pola testosteron selama latihan. Pada hormon seks perempuan kurang
diperhatikan meskipun levelnya berubah secara signifikan selama siklus
mensturasi.
Sistem Pituitari-Testicular
Sistem ini terdiri
dari hormon-hormon gonadotropik (gonadotropin), lutotropin (luteinizing hormone/LH)
dan follilotropin (FSH) yang disekresi oleh lobe anterior kelenjar pituitari
dan testosteron oleh testes.
Disamping fungsinya
dalam perilaku seksual dan pengembangan karakteristik seks pria, testosteron
berkontribusi dalam mengontrol metabolik. Hampir semua efek metabolik hormon
ini dihasilkan dari peningkatan laju sintesis protein sel-sel target. Berikut
aksi-aksi testosteron:
1. Aksi
anabolik, karena dianggap menstimulasi sintesis protein terutama dalam otot dan
jaringan yang merupakan lebih dari separuh massa tubuh. Efek testosteron
menjamin perkembangan tubuh pria dari fase akhir puber dan ditandai dengan
peningkatan musculatur melebihi wanita. Jadi pria remaja memamerkan sebuah perkembangan kekuatan otot dan output
power otot secara intensif.
2. Efek terhadap
pertumbuhan tulang dan retensi kalsium. Testosteron meningkatkan jumlah total
matriks tulang dan menyebabkan retensi kalsium yang diyakini sebagai akibat
fungsi anabolik protein dari testosteron yang berkombinasi dengan deposisi
garam-garam kalsium. Jadi setelah masa puber, tulang berkembang dari ketebalan
dan deposit garam-garam kalsium. Selain itu, testosteron berefek terhadap
pelfis yang menyempitkan oulet pelfis, memanjangkannya dan menyebabkan bentuk
sebuah funnellike dan meningkatkan kekuatan pelfis dalam.
3. Efek lain, Selama
masa remaja dan awal dewasa, testosteron meningkatkan metabolisme basal sekitar
5% hingga 10%. Testosteron mampu meningkatkan laju eritropoiesis.
Diduga bahwa testosteron mempengaruhi fungsi
saraf. Ekspresi tersebut merupakan perilaku agresif yang mekanismenya masih
sedikit diketahui.
Efek Latihan Dari Hormon Seks Pria
Latihan dengan
intensitas 100% VO2 maks meningkatkan konsentrasi testosteron.
Peningkatan tersebut bervariasi antara satu individu dengan individu lainnya, yaitu
dari 1% hingga 24% namun rata-rata naik 13%. Lutropin ditemukan tidak mengalami perubahan.
Peningkatan level testosteron tersebut disebabkan oleh berkurangnya volume
plasma. Setelah latihan baik testosteron maupun lutropin levelnya turun dengan
nilai nadir antara 60 dan 180 menit sesudah latihan. Karena latihan menginduksi
peningkatan konsentrasi corticoliberin
plasma yang menekan sekresi lutropin. Tidak ada perubahan konsentrasi
follitropin.
Latihan anaerobik yang kuat
seperti lari 3 x 300 m menghasilkan peningkatan konsentrasi testosteron dan
lutropin. Latihan strenuous jumping short-term meningkatkan konsentrasi
testosteron sekitar 12%. Tapi latihan prolonged konsentrasi testosteron justru
menurun. Penurunan level testosteron juga ditemukan setelah sebuah lomba
maraton dalam kombinasi dengan perubahan level lutropin.
Latihan dengan beban berat
(heavy-resistance) meningkatkan respon testosteron. Konsentrasi testosteron
yang tinggi ditemukan setelah sesi latihan heavy-resistance pada mereka yang
terlatih kekuatannya.
Respon testosteron tergantung
pada faktor psikologi. Pada bersepeda dengan intensitas 80% VO2
maks. peningkatan testosteron berkurang pada orang yang sangat cemas daripada
orang kurang kecemasannya meskipun level lutropinnya lebih tinggi pada
laki-laki yang mudah cemas.
Latihan endurans menghasilkan
penurunan basal testosteron, meskipun demikian pada atlet yang terlatih yang
melakukan latihan treadmill tambahan ditemukan mengalami peningkatan.
Efek metabolik testosteron
dimediasi oleh reseptor sitoplasma yang efeknya timbul setelah 1 jam atau
lebih. Jadi tidak mungkin meyakini bahwa testosteron memiliki efek terhadap
performan selama latihan intensif short-term power acyclic atau latihan
kekuatan. Diduga bahwa testosteron berperan terhadap pergerakan kalsium seperti
halnya aksi permisif glukokortikoid. Jadi saran terbaik adalah aksi prakondisi
level awal testosteron terhadap
performan neuromuscular apparatus. Praondisi long-term testosteron dapat mempengaruhi
perkembangan pembentukan serat
fast-twitch fibers. Jadi respon testosteron selama sesi latihan dan pola
testosteron pada akhir latihan atau recovery sangat penting untuk efek latihan
heavy-resistance terhadap otot skeletal.
Sistem Pituitari-Ovarian
Sistem ovarian terdiri dari
hormon-hormon 2 pituitari (lutropin dan follitropin) dan 2 ovarian (estrogen
dan progestin). Dalam darah, estrogen terdapat dalam 3 fraksi, yaitu: b-estradiol, estrone dan estriol. Potensi estrogenik b-estradiol 12 kali lebih besar daripada
estrone da 80 kali lebih besar daripada estriol sehingga mayoritas estrogen
adalah b-estradiol. Progestin yang penting adalah
progesteron sedangkan lainnya, seperti: 17a-hidroksiprogesteron dalam jumlah kecil.
Dalam jumlah kecil hormon estrogen dan progesteron disekresi dari adrenal
korteks ke dalam sirkulasi darah dari biosintesis adrenokortikal steroid.
Itulah sebabnya pada laki-laki juga memiliki hormon-hormon tersebut namun dalam
jumlah yang kecil. Karena progesteron disekresi terutama pada fase luteal, maka
dalam fase follicular progesteron dalam darah berasal dari adrenal korteks.
Selama kehamilan dalam jumlah besar progesteron disekresi oleh plasenta.
Estrogen dihasilkan oleh
sel-sel dinding follicle. Fungsi bersama dari follitropin dan lutropin
menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan folikel dan sekresi estrogen ke dalam
folikel. Pada wanita dengan kondisi normal, siklusnya 28 hari, 14 hari sesudah
onset mensturasi, ovulasi terjadi. Sebelum ovulasi level lutropin meningkat
mencapai puncaknya menjelang 16 jam lebih awal. Demikian pula halnya level
follitropin.
Estrogen dan Progesteron
Fungsi utama estrogen untuk
proliferasi selular dan pertumbuhan jaringan daro organ seksual dan organ
reproduksi lain. Estrogen bertanggungjawab
untuk inisiasi pengembangan kelenjar payudara dan deposisi lemak ke
dalam payudara. Estrogen dihasilkan dari peningkatan aktivitas osteblastik.
Defisiensi estrogen setelah menopause mengurangi aktivitas osteoblastik pada
tulang, berkurangnya matriks tulang dan menurunnya deposisi kalsium tulang dan
fosfat. Estrogen meningkatkan laju metabolisme basal 3 kali lipat lebih rendah
dari testosteron. Efek metaboliknya juga mendeposisi lemak ke dalam jaringan
subkutan.
Fungsi yang terpenting dari
progesteron adalah untuk memicu perubahan sekresi endometrium uterin sesudah
ovulasi untuk persiapan uterus pada implantasi ovum yang difertilisasi.
Progesteron dan prolaktin juga menyebabkan penentu pertumbuhan dan pengatur
fungsi kelenjar payudara.
Hormon-hormon Seks Wanita Selama Latihan
Latihan yang menginduksi perubahan b-estradiol dan progesteron seperti lutropin dan follitropin berubah-ubah
karena level mula-mula hormon-hormon tersebut tergantung pada fase-fase siklus
mensturasi. Jadi perubahan yang ditimbulkan oleh latihan juga melibatkan
fase-fase siklus mensturasi.
Konsentrasi b-estradiol dan progesteron darah meningkat pada fase luteal pada wanita
yang berlari selama 20 menit pada 60% hingga 65% atau 80% hingga 95% VO2
maks. Namun pada fase follicular tidak terjadi perubahan yang signifikan. b-estradiol diketahui merespon hanya pada intensitas latihan yang paling
tinggi dalam fase folliular. Diketahui pula bahwa respon b-estradiol, progesteron dan lutropin
meningkat dengan durasi latihan lebih dari 40 menit. Respon b-estradiol dan progesteron lebih tampak pada fase luteal sedangkan respon
lutropin lebih tampak pada fase follicular. Meskipun demikian peningkatan level
lutropin, b-estradiol, kortisol dan androstenedione dan
dehidroepiandrosteron ditemukan pada wanita terlatih dan tidak terlatih pada
awal fase follicular.
Interpretasi hasil-hasil
studi, Pertama, perbedaan intensitas dan
durasi latihan mungkin bervariasi selama fase follicular dan fase luteal.
Kedua, pada fase follicular respon estrogen tergantung pada tingkat pertumbuhan
dan perkembangan folikel, respon progesteron mungkin hanya terjadi pada
progesteron yang dibebaskan dari adrenal korteks.
Selama latihan kenaikan level
prolaktin sudah sering diamati pada pria dan wanita meskipun tampak masih
berubah-ubah responnya. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa selama latihan
perubahan hormon-hormon seks wanita merupakan kebutuhan untuk mempertahankan
homeostatik pada aktivitas reproduksi dimana banyak energi digunakan karena
aktivitas otot. Pada atlet wanita, signifikan testosteron untuk adaptasi otot
terjadi. Dehidroepiandrosteron yang dihasilkan oleh adrenal konteks dapat
diubah menjadi testosteron sehingga testosteron masih dijumpai pada darah
wanita. Rendahnya jumlah testosteron pada wanita tersebut dikopensasi dengan
estrogen-dependen meningkatkan sensitivitas otot-jaringan terhadap aksi
testosteron.
Peptida-peptida Opioid Endogen (EOPs)
EOPs merupakan senyawa mirip
morfin tapi diproduksi dalam tubuh. Mereka merupakan hasil penguraian tiga
molekul protein besar, yaitu: pro-opiomelanocortin, proenkephalin, dan
prodynorphin. pro-opiomelanocortin
merupakan precursor untuk kortikotropin, melanocyte-stimulating hormone, b-lipotropin, dan b-endorphin. b-endorphin merupakan EOPs yang paling
penting ditemukan dalam CNS (central nervous system). Kontribusi b-endorphin pada regulasi tekanan darah, persepsi sakit dan termoregulasi
melalui neuron-neuron dalam medial eminence hipotalamus, midbrain dan bagian
rostal medula oblongata.
Produk-produk penting hasil
penguraian proenkephalins adalah leu-enkephalin dan met-enkephalin yang banyak
ditemukan dalam hipotalamus, struktur sistem limbic otak, basal ganglions,
sensori korteks otak dan struktur sistem analgesia otak termasuk dorsal horn
spinal cord. Enkephalin
tampak pada terminal saraf di sekitar tractus solitarius nukleus, nukleus
dorsal vagal, dan ambiguous nukleus. Daerah
ini dilibatkan dalam kontrol sirkulasi otonom. Opioids terlibat dalam
mengurangi sensitivitas sakit, perilaku emosional, pengambilan makanan,
regulasi glikstatik, termoregulasi, kontrol cardiovascular dan fungsi
respirasi, dan regulasi aktivitas imun. Kebanyakan EOPs berfungsi sebagai
neurotransmiter pada ujung saraf neuron opioidergik yang berlokasi baik pada
terminal presynaptik axon atau pada soma neuron dan dendrites.
Situasi stres otak dan
periferal EOPs sangat aktif. Jelasnya, efek
modulasi otak dan sirkulasi EOPs adalah penting untuk adaptasi yang
efektif. Efek sentral dari EOPs terhadap struktur otak membantu seseorang
bertahan terhadap kesulitan/kesedihan.
Efek-efek Latihan Terhadap Subsistem EOP
Periferal
Dari beberapa hasil
studi yang telah dilakukan dapat dikatakan bahwa latihan dapat meningkatkan
level EOPs. Lari pada treadmill dengan laju yang ditingkatkan sampai dengan
level VO2 maks menyebabkan peningkatan level b-endorphin plasma yang bersamaan
dengan meningkatnya level kortikotropin plasma. Demikian pula halnya pada
latihan heavy-resistance dan lari sprint.
b-endorphin dimetabolisme menjadi g- dan a-endorphin. Pada orang terlatih, 2
jam bersepeda menyebabkan b-endorphin meningkat levelnya
bersamaan dengan meningkatnya level g- dan a-endorphin. Perubahan ini tidak
ditemukan pada orang yang tidak terlatih. Level g- dan a-endorphin secara signifikan lebih
tinggi daripada orang yang terlatih baik sebelum maupun selama latihan.
Singkatnya, latihan mempengaruhi metabolisme endorphin.
Efek-efek latihan Terhadap
Subsistem EOP Otak
EOPs memodulasi
transmisi impuls-impuls sakit, mempengaruhi perilaku dan respon mood, dan
berkontribusi terhadap pengaturan berbagai fungsi. Penelitian terhadap respon
EOPs otak banyak dilakukan pada tikus.
Penutup
Latihan intensif dan
prolonged cukup dapat menimbulkan perubahan fungsi-fungsi sistem endokrin.
Banyak hormon yang sudah dicatat mengalami perubahan level dan pada umumnya
mengekspresikan aktivasi mekanisme adaptasi umum untuk memobilisasi bahan-bahan
energi tubuh dan mengatur aktivitas imun dan pertahanan lainnya. Meningkatnya
aktivitas sistem simpatho-adrenal merupakan alat utama untuk mobilisasi
bahan-bahan energi yang didukung dan dikontrol oleh keseimbangan aksi kortisol insulin, glukagon dan GH. Peran
utama kortisol diseimbangkan oleh testosteron dan insulin. Aktivasi EOPs
endogen disinkronisasi dengan peningkatan aktivitas sistem pituitari-adrenocortikal
memberikan kemungkinan modulasi neuronal dan respon hormonal tapi utamanya
untuk perubahan mood yang memicu performan dari berbagai upaya dan menolong
untuk menahan berbagai hal yang tidak menyenangkan. Fungsi lain dari respon
hormonal adala untuk menjaga regulasi homeostatik. Beberapa hormon berfungsi
pada masa recovery. Respon-respon homonal terhadap latihan memberikan peluang
secara komprehensif untuk digunakan dalam memonitor latihan, terutaa untuk
analisis perubaha metabolik tubuh atlet.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar