METABOLIC ADAPTATION IN TRAINING
(Adaptasi Metabolisme Selama Latihan)
Pendahuluan
Adaptasi pada dasarnya
bertujuan untuk meningkatkan level performan dan meningkatkan kemampuan motorik
(motor abilities) untuk mencapai tujuan latihan secara efektif. Oleh karena itu
untuk memahami bagaimana tubuh beradaptasi maka harus masuk ke dalam tubuh
atlet (interior) itu sendiri agar dapat memahami secara detail proses adaptasi
yang terjadi meskipun dalam kebanyakan indeks performan jarang membahas proses
adaptasi. Sebagai ilustrasi, andaikan seorang atlet dengan performan tertentu
memasuki sebuah kotak hitam yang isinya latihan (training/exercise) yang
outcomenya peningkatan kapasitas performan atlet, baik kapasitas motorik maupun
skillnya. Namun kotak hitam itu tidak diketahui bagaimana proses latihan
tersebut sehingga dapat meningkatkan performan, bahkan terkesan proses adaptasi
masih berupa rahasia.
Kajian ini akan berusaha
mengungkap apa yang terjadi dalam kotak hitam tersebut selama latihan melalui
proses-proses metabolik. Fokus utamanya pada adaptasi sintesis protein sebagai
dasar peningkatan morfofungsional sel. Sebuah sistem kontrol yang disebut kontrol
metabolik mengatur proses metabolisme selama latihan. Sistem inilah yang
menjamin efektivitas penggunaan kapasitas sel dan tubuh secara keseluruhan. Peningkatan
kontrol sendiri juga merupakan akibat dari latihan.
Peran Adaptasi Selama Training-Induced
Changes
Proses
adaptasi tubuh melibatkan beberapa system organ dan mekanisme kontrolnya.
Itulah sebabnya latihan endurance (daya tahan) meningkatkan kapasitas
fungsional jantung sehingga dapat meningkatkan suplai darah ke otot-otot yang
sedang bekerja. Sebetulnya hampir semua jenis latihan cenderung meningkatkan
perubahan pada otot-otot (skeletal muscle). Perubahan tersebut adalah:
1.
Volume otot meningkat. Peningkatan ini biasanya
tampak pada latihan dengan beban berat (heavy resistance training). Namun pada
latihan endurance tidak tampak jelas perubahannya. Perubahan volume otot
tersebut menunjukkan bahwa terjadi perubahan volume pada berbagai jenis serat
otot. Latihan beban menyebabkan hypertrophy pada semua jenis serat otot
terutama pada fast-twitch fiber (tipe II) yang ditandai oleh peningkatan area
yang ditempati serat otot tersebut sebesar 90% (Dones et. al., 1978; Costill
et. al., 1979) meskipun komposisinya masih dalam rentang normal (tesch &
Karlsson, 1985.
2.
Peningkatan kecepatan atau power
sebagai hasil latihan, hypertrophy terjadi secara selektif, yaitu hanya pada
serat fast-twitch glikolitik (tipe IIb) atau serat fast-twitch
oxidative-glikolitik (tipe IIa). Namun latihan power dan sebagian pada latihan
kecepatan, perubahan tampak pada
myofibril ketika otot berkontraksi. Peningkatan ukuran myofibril tersebut
terjadi karena tambahan protein-protein myofibril yang berhubungan dengan
aktivitas kontraksi (Yakovlev, 1978). Perubahan-perubahan tersebut dibutuhkan
untuk peningkatan kekuatan otot dan power.
3.
Peningkatan jumlah dan volume
mitokondria serat-serat otot terutama pada serat tipe I merupakan hasil latihan
endurance. Mitokondria merupakan tempat penting karena produksi energi secara
oksidatif, yaitu ATP berlangsung dalam mitokondria. Peningkatan ini kemudian
dikaitkan dengan peningkatan kapasitas endurance.
Dampak peningkatan struktur sel memungkinkan terjadinya
peningkatan performan baik untuk sel maupun organ dan pada akhirnya untuk tubuh
secara keseluruhan. Namun kemungkinan tersebut masih tergantung pada
ketersediaan energi dan kondisi lainnya untuk kontraksi otot dan manivestasi
fungsional lainnya, seperti enzim yang mengkatalisis proses-proses biokimia untuk
produksi energi dan menyisintesis senyawa kaya energi (ATP). Peningkatan
aktivitas enzim tersebut merupakan respon latihan.
4.
Latihan dapat meningkatkan jumlah
pompa ionic yang berperan menginisiasi dan menghentikan fungsi sel.
Peningkatan intensitas atau durasi kerja sel menyebabkan
meningkatnya kebutuhan sel dari luar, seperti oksigen dan substrat lainnya
untuk segera diangkut masuk ke dalam sel untuk mendukung proses dalam sel.
Demikian pula halnya dengan pengangkutan metabolit atau sisa metabolit yang
tidak dibutuhkan diangkut ke organ tertentu untuk diubah atau dieliminasi dari
tubuh.
Peningkatan performan atlet ditemukan
pada perubahan struktur dan kapasitas metabolik serat-serat otot skeletal yang
memerlukan kolaborasi beberapa organ yang didukung oleh koordinasi terpadu dari
aktivitas tubuh dan kontrolnya dari system organ, jaringan dan sel. Jadi, training-induced adaptasi sel melibatkan
myocardial, hepatic, renal, neuronal, endokrin dan sel-sel lainnya.
Adaptasi Sintesis Protein
Mekanisme intraselular menghubungkan
fungsi selular dengan aktivitas badan (apparatus) genetic selular. Melalui
mekanisme struktur selular yang secara intensif berkerja dapat meningkatkan
sintesis protein sesuai dengan manifestasinya, seperti: kontraksi otot, sintesis
dan sekresi hormon. Protein-protein tersebut adalah (1) Material pembangun
untuk memperbaharui dan meningkatkan struktur protein, (2) protein enzim untuk
katalis proses metabolisme. Akibatnya,
(1) struktur sel diperbesar dan (2) aktivitas enzim ditingkatkan karena jumlah
molekul enzim meningkat.
Diduga
bahwa latihan menyebabkan akumulasi metabolit yang menginduksi adaptasi
sintesis struktur dan protein enzim aktifnya banyak struktur sel dan jalur-jalur
metabolisme. Banyak hormon dipengaruhi oleh training session akibat dari
induksi metabolit-metabolit. Pengaruh hormon diperlukan untuk meningkatkan laju
sintesis protein baik untuk memperbaiki struktur maupun untuk protein enzim.
Banyak
hasil studi membuktikan bahwa peningkatan laju sintesis protein dalam otot
terjadi selama hypertrophy (Hamosh et. al., 1967; Goldberg, 1968; Poortmans,
1975). Laju sintesis protein didapatkan baik pada latihan strentgh maupun
endurance. Hasil utama dari meningkatnya aktivitas gen produksi mRNA setelah
latihan khusus untuk merespon aksi induktor (DNA -dependent
polymerase) yang disebut fase transkripsi dari sintesis protein).
Kontrol
peningkatan aktivitas induksi dalam sistensis protein tidak hanya terjadi pada
fase transkripsi tapi juga pada fase translasi dan postranslasi. Kontrol pada
tahap transkripsi ditunjukkan oleh peningkatan a-aktin RNA dan kontrol pada tahap
translasi ditandai dengan peningkatan total RNA sedangkan pada posttranslasi
ditandai dengan peningkatan isi protein jika dibandingkan dengan peningkatan
mRNA. Kontribusi kontrol postranslasi mengindikasikan degradasi protein secara
signifikan selama adaptasi training-induced. Hal ini menunjukkan bahwa laju
pertumbuhan otot skeletal sesuai dengan laju pemecahan protein. Hasil
perhitungan menunjukkan bahwa hanya 20% peningkatan laju sintesis protein untuk
pertumbuhan otot sedang sisanya 80% untuk peningkatan pergantian protein. Jadi
sintesis protein baru banyak digunakan untuk memperbaharui atau degradasi struktur
protein sel oleh kontrol postranslasi.
Metabolit
dan hormon berkontribusi terhadap kontrol sintesis protein pada ketiga tahap
tersebut. Pengaturan aktivitas tahap transkripsi dilakukan oleh ”housekeeping”
gen untuk memenuhi permintaan sel. Gen-gen tersebut diaktivasi oleh protein
dengan berat molekul kecil hasil degradasi protein, seperti: asam-asam amino,
khususnya leusin, kreatin dan metabolit protein lainnya yang merupakan induktor.
Efek kreatin ditunjukkan dalam preparasi otot skeletal dan otot jantung
meskipun secara in vivo tidak tampak ada peningkatan laju sintesis protein
sarkoplasmik dan myofibrillar dalam berbagai jenis serat otot. Aksi leusin
terhadap sintesis protein terdiri dari stimulasi transkripsi. Namun pemberian leusin secara in vivo
gagal menunjukkan aksi tersebut. Tetapi jika leusin, valin dan isoleusin
diberikan dalam suatu kombinasi secara in vivo menghasilkan stimulasi sintesis
protein pada myocardium, diafragma dan otot soleus. Jadi pada intinya latihan dapat meningkatkan jumlah
induktor-induktor sintesis protein.
Sesi Latihan
Latihan
Volume dan intensitas latihan
Induktor metabolik
khusus mengubah produksi
Adaptif sintesis
protein
hormon
Induktor hormonal
Memperkuat
adaptif sintesis protein
A
d a p
t i f s i n t e s i s P r o t e i n
Penambahan sintesis sturktur protein Penambahan sintesis protein enzim
Stretching juga dapat
meningkatkan sintesis protein baik secara kultur maupun otot secara
keseluruhan. Tiga kemungkinan penyebabnya, yaitu: (1) fungsi pompa Na+
dan K+ , (2) perpindahan Ca dan (3) sintesis prostaglandin akibat
dari bebasnya asam arakidonat yang merupakan tanda sintesis protein. Namun prostaglandin gagal menstimulasi
sintesis protein pada calsium-deprived perparasi otot.
Kontrol
perubahan metabolik sangat spesifik dan menentukan pilihan protein mana yang
disintesis secara adaptif. Jadi metabolit terakumulasi sebagai respon terhadap
latihan menjadi faktor utama untuk memilih protein untuk disintesis. Mekanisme
kontrol hormonal mungkn tidak terlalu spesifik dan sangat tergantung pada
pengaruh sesi latihan terhadap fungsi endokrin.
Dua
hormon utama yang berperan dalam induksi sintesis protein adaptif pada periode
postexercise, yaitu testosteron dan tyroksin/triiodothyronine. Induksi
testosteron berperan pada training-induced hypertrophy yang dibuktikan oleh
berkurang hypertrophy setelah blokade reseptor androgen. Fakta tersebut
mengindikasikan penambahan sintesis protein dalam otot jika disertai dengan
pemberian sebuah androgen untuk aksi anabolik.
Hormon-hormon
tyroid dikenal menstimulasi biogenesis mitokondria. Peran hormon tyroid dalam sintesis
adaptif mitokondria protein didukung fakta meningkatnya sintesis protein
mitokondria total sintesis protein oksidatif glikolitik serat otot setelah
latihan endurance tidak tampak pada hyperthyroid tikus.
Pada
kontrol translasi terjadi pemuatan tRNA oleh asam amino spesifik. Pemberian
muatan membebaskan sistem sintesis protein dari penghambatan obat yang dapat
dimodulasi oleh potensial redoks sitoplasma. Sedangkan glukokortikoid berperan
dalam mobilisasi bahan untuk sintesis protein sehingga perannya dalam kontrol
posttranslasi masuk akal. Glukokortikoid mungkin berkontribusi dalam menentukan
besaran optimal perubahan struktur sel-sel myocardial. Dosis tinggi yang tidak
fisiologis dari glukokortikoid dapat menginduksi atrophy otot sehingga dapat
menjadi terapetik. Eksperimen tikus menunjukkan bahwa latihan dapat mencegah
atau mengurangi bahaya pemberian dosis tinggi glukokortikoid yang berarti bahwa
aktivitas otot mungkin mengubah efek glukokortikoid terhadap metabolisme protein.
Training
Testosteron
Reseptor sitoplasma serat otot Reseptor sitoplasma serat otot
Otot hypertrophy tidak
hyperthrophy
Gambar. Signifikan
Testosteron dalam Otot Skeletal Hypertrophy
Faktor lain yang dihasilkan
dari latihan adalah kontrol posttranlasional. Testosteron dan analognya dapat
mengurangi penurunan
aktivitas myosin Mg2+ ATP ase pada otot-otot slow-twitch akibat
latihan pada tikus. Jadi kontrol adaptif sintesis protein sesungguhnya dibantu
oleh hormon dan metabolit.
Kontrol Metabolik
Kontrol metabolik mengatur
proses metabolisme dalam berbagai jaringan untuk memenuhi kebutuhan aktivitas
tubuh. Kontrol metabolik dipengaruhi oleh enzim sehingga menghasilkan arah
reaksi biokimia dalam proses metabolisme dan perubahan siklus metabolik.
Latihan dapat berlangsung jika proses metabolik yang diatur untuk memenuhi
peningkatan kebutuhan penggunaan energi. Kontrol metabolik terdiri dari 3
level, yaitu: outoregulasi selular, regulasi hormon, dan regulasi nervous.
1.
Autoregulasi Selular
Prinsip utama kontrol
metabolik adalah rasio substrat/produk menentukan aktivitas enzim, apakah
konversi substrat menjadi produk atau sebaliknya. Peningkatan substrat dan
penurunan produk menstimulasi aktivitas enzim e1 dan menghambat
enzim e2 lihat gambar reaksi. Contoh: perubahan asam laktat menjadi
piruvat dan sebaliknya.
e1
S P
e2
Dalam serat otot, ion Ca2+
dan fosfat memiliki peran esensial untuk autoregulasi selular. Ion kalsium
berperan dalam koordinasi kontraksi otot dan aktivasi glikolisis dan beberapa
enzim mitokondria. Akumulasi
fosfat anorganik meningkat dari ATP yang penting dalam hidrolisis fosfokreatine
selama kontraksi otot. Pada waktu yang sama, laju penggantian ATP dipengaruhi
oleh laju oksidasi dalam mitokondria.
2.
Kontrol metabolik Hormonal
Tujuan utama regulasi hormonal
adalah untuk mengatur proses metabolik sesuai dengan kebutuhan tubuh. Tujuan
tersebut dicapai melalui aksi hormon pada aktivitas enzim. Aktivitas hormon
pada enzim tersebut melalui 2 cara, yaitu pengubahan struktur molekul enzim
(umumnya melalui fosforilasi atau defosforilasi) sehingga aktivitas enzim
meningkat atau menurun sesuai kebutuhan. Sejumlah hormon dapat menginduksi atau
menghambat sintesis protein enzim.
Regulasi hormonal
diperlukan juga untuk regulasi
homeostatic selama aktivitas latihan. Konsentrasi konstan ion dan air dalam intraselular
dan ekstraselular selalu dipertahankan. Demikian pula halnya dengan kadar
glukosa darah dipertahankan dengan bantuan hormon.
3.
Kontrol Metabolik Nervous
(Syaraf)
Produksi hormon oleh kelenjar
endokrin diatur terutama dengan bantuan sistem feedback: hormon pada level yang
tinggi menekan level yang rendah untuk menstimulasi aktivitas sistem endokrin.
Fungsi sistem syaraf mengatur sekresi hormon dari kelenjar endokrin. Contoh: adrenal
medula mensekresi epinefrin pada awal latihan.
Aktivitas kelenjar endokrin
lain diubah melalui 2 tahap sistem, yaitu: (1) sel-sel hipotalamus
neurosekretory menghasilkan neurohormon (liberin atau statin) yang menstimulasi
atau menghambat pembebasan hormon pituitari tropic dan (2) pituitari tropik
hormon menstimulasi aktivitas kelenjar-kelanjar periferal endokrin.
Adaptasi Akut dan Long-Term
Latihan yang dilakukan seorang atlet selama masa latihan atau persiapan
konpetisi akan memiliki proses adaptasi akut, seperti regulatori homeostatic
dan aktifnya transport oksigen serta penggunaan energi. Setiap latihan
menghasilkan peningkatan kebutuhan oksigen dan kebutuhan untuk mengeliminasi
produk CO2 yang berawal dari peningkatan system kardiovaskuler dan
respirasi. Peningkatan homeostatic artinya peningkatan kemampuan untuk
menghindari peningkatan konsentrasi ion H+ yang dihasilkan pada
kondisi anaerobic. Tambahan kebutuhan energi akan meningkatkan produksi panas
yang disertai dengan peningkatan termoregulasi yang kemudian mengubah
keseimbangan air dan elektrolit. Respon homeostatic tersebut diperlukan untuk
mempertahankan euglikemia.
Pengaruh beraksi pada parameter konstan
dari lingkungan internal
Reseptor sensitif terhadap pergeseran
parameter konstan
CNS
Perubahan terkoordinasi aneka fungsi:
sekresi hormon dan proses metabolik untuk kompensasi pengaruh dan atau
mempertahankan level konstan temperatur, pH, kadar ionik, tekanan osmotik,
tekanan oksigen, kadar air dan level glukosa
Untuk menjamin aktivitas optimal enzim dan
untuk menghindari gangguan
Gambar . Regulasi Homeostatic
Ketika
intensitas dan durasi latihan ditingkatkan hingga melewati ambang batas maka
akan terjadi mobilisasi semua energi dan bahan-bahan protein. Kondisi ini akan
menghasilkan transisi dari akut ke long-term adaptation. Dalam hal ini
akumulasi inductor sintesis protein dan meningkatnya asam-asam amino bebas
selama latihan sangat penting. Dampak latihan dengan periode panjang (prolong
periode) berupa long-term adaptation.
Sintesis protein adaptif memerlukan:
(1) inductor yang bekerja pada badan genetic sel, suplai bahan untuk membangun,
seperti asam amino dan precursor sintesis asam ribonukleat, destruksi
bahan-bahan sel, dan suplai energi untuk sintesis.
Selama periode recoveri setelah sesi
latihan atau kompetisi, energi dan protein secara ekstensif digunakan untuk
sintesis enzim adaptif dan struktur protein untuk menyimpan struktur selular dan
kapasitas fungsionalnya. Peningkatan struktur selular aktif dan juga kapasitasnya
merupakan hasil proses sintetik pasca latihan.
Efek Training terhadap Metabolik Resources
Pembentukan ATP dipertahankan selama
proses degradasi fosfokreatin dan degradasi glikogen yang berlangsung lambat.
Sintesis kembali ATP yang paling besar tetapi dengan laju lambat terjadi pada
produksi energi fosforilasi bersifat oksidatif
Tikus dilatih secara intensif dan berulangkali meningkatkan isi
fosfokreatinnya tapi kandungan ATP nya tetap dalam otot skeletalnya. Pengaruh
latihan berkelanjutan (continous exercise) terhadap fosfokreatin hanya pada
level sedang (modest) tapi studi biopsy membuktikan peningkatan simpanan
fosfokreatin dan peningkatan kandungan ATP minimal pada otot tungkai setelah
short-term endurance training atau heavy resistance training. Efek latihan
terhadap kandungan fosfokreatin diharapkan terjadi pada latihan sprint. Setelah
8 minggu latihan dengan 30 detik bersepeda, konsentrasi fosfokreatin meningkat
hanya 9% dan tidak ada perubahan jumlah ATP. Delapan minggu latihan dengan 30
detik lari tidak mengubah kandungan fosfokreatin dan tidak signifikan
meningkatkan jumlah ATP. Sebuah perbandingan cross-sectional dari 68 pria dan
11 wanita tidak menunjukkan perbedaan jumlah ATP signifikan dan fosfokreatin
dalam kuadrisep otot paha (femoris) pesepeda, angkat berat, sprinter, pelari
marathon, sukarelawan.
Simpanan glikogen otot lebih besar
pada atlet terlatih daripada pria tidak terlatih (sedentary) dan dikonfirmasi
oleh studi longitudinal dan cross-sectional bahwa efek latihan tampak pada mereka
yang mengikuti program latihan kekuatan, sprint, dan endurance. Namun pada
tikus, latihan tidak mengubah simpanan glikogen pada serat otot slow-twitch
atau fast-twitch. Latihan aerobic dengan berlari atau berenang secara terus
menerus sangat efektif . Pada serat slow-twitch latihan aerobic endurance lebih
nyata daripada respon latihan interval anaerobic atau latihan kekuatan. Namun
latihan aerobic endurance, anaerobik interval dan latihan strength hampir sama
perubahan yang ditimbulkannya pada serta fast-twitch.
Eksperimen dengan tikus
mengindikasikan bahwa latihan endurance meningkatkan simpanan glikogen pada myocardium tapi tidak
berubah pada kandungan fosfokreatin dan ATP. Demikian pula halnya dengan
triasilgliserol tidak berubah. Latihan endurance juga meningkatkan kandungan
glikogen liver tikus sekitar 50%. Jadi efek
latihan terhadap penyimpanan energi tubuh terdiri dari peningkatan jumlah
glikogen skeletal dan otot jantung serta liver. Sedangkan peningkatan
fosfokreatin dan jumlah ATP masih dipertanyakan.
Efek Latihan Terhadap Aktivitas Enzim
Peningkatan dan penurunan kinerja
enzim secara adaptif sebagai katalitik proses biokimia terjadi melalui
peningkatan jumlah/konsentrasi enzim aktif dan peningkatan sensitivitas enzim
untuk menstimulasi atau untuk menghambat reaksi. Adaptasi secara signifikan
terjadi pada enzim-enzim glikolisis anaerobic. Pada proses ini aliran substrat
dikontrol oleh glikogen fosforilase dan fosfofruktokinase. Konsentrasi kedua
enzim tersebut sangat tinggi dalam otot-otot skeletal. Telah diperkirakan bahwa
aktivasi 5% fosforilase dapat memaksimal produksi asam laktat dalam otot
skeletal dari glikogenolisis tergantung pada fosforilase. Efek dari enzim
tambahan selanjutnya tidak berguna. Jadi peningkatan jumlah enzim secara total
tidak akan meningkatkan ketepatan untuk mengatur aliran substrat melalui jalur
metabolic.
Penurunan aktivitas
fosfofruktokinase pada tikus terjadi setelah 10 minggu anaerobic interval
latihan aerobic kontinu baik pada serat slow-twitch maupun fast-twitch.
Sedangkan latihan sprint hanya terjadi pada serat slow-twitch. Molekul
fosfofruktokinase dan enzim-enzim glikolitik lainnya memiliki waktu hidup
pendek (short-term life span) sehingga 2 atau 3 hari setelah latihan sudah
tidak tampak aktivitasnya.
Satu yang besar peluangnnya untuk
terjadi adalah efek latihan terhadap enzim, yaitu latihan mengubah spectrum
isozymes. Otot sprinter dan jumpers mengandung lactate dehidrogenase isozymes
LDH4-5 dengan persentase relative tinggi sebaliknya otot atlet
endurance memiliki LDH1-2 yang tinggi persentasenya. Latihan
marathon meningkatkan aktivitas LDH1-2 dan menurunkan aktivitas LDH3-5.
Latihan juga mungkin selektif mempengaruhi kandungan kreatin kinase MB isozym
serat otot. Dengan cara ini adaptasi spesifik untuk latihan anaerobic mengkin
terjadi karena pembentukan isozym yang kurang sensitive dengan pH rendah. Latihan
interval meningkatkan konsentrasi laktat darah dan menurunkan pH darah dari
6,99 menjadi 6,90 akibat meningkatnya aktivitas heksokinase pada range pH 8,0 –
6,5. Perubahan ini ditemukan baik pada serat-serat slow-twitch maupun fast
twitch pada jaringan otak. Jadi
peningkatan isozym heksokinase otot terjadi pada otot dan jaringan otak.
Meningkatkan Kontrol Metabolik
Tiga
dampak utama dari latihan-induksi setelah meningkatkan kontrol metabolik,
yaitu:
1. Laju dan kestabilan
mobilisasi resources tubuh
2. Penggunaan resources
tubuh secara lebih ekonomis, dan
3. Meningkatkan
kemampuan kontrol metabolik
Ekspresi dampak 1 terjadi pada
pemahasan efek katekolamin terhadap glikogenolisis anaerobik sehingga juga pada
kapasitas kerja anaerobik. Ekspresi lain pada pengaturan VO2 selama
latihan dan pengaturan level glukokortikoid darah untuk long-lasting exercise.
Latihan-induksi
meningkatkan efisiensi mekanisme kerja otot dicerminkan pada menurunnya
pengambilan oksigen ketika endurance-trained athlete dibandingkan dengan
sedentary persons selama latihan pada laju output power yang sama. Atlet
terlatih mengoksidasi sedikit karbohidrat dan membakar banyak lemak selama
latihan.
Interaksi
insulin dan level hormon lipolitik sangat signifikan untuk porsi penggunaan
lemak selama latihan. Insulin memblok efek hormon lypolitik pada jaringan
adiposa dan menghambat pembebasan asam lemak bebas dan gliserol. Lipolisis
menjadi efektif setelah level insulin darah berkurang (sekitar 10 – 15 menit
dari onset latihan). Sebaliknya epinefrin dan hormon lipolitik lainnya menjadi
efektif sehingga otot mendapat suplai asam-asam lemak bebas.
Penggunaan secara ekonomi
resources tubuh juga tampak pada organisme terlatih berkaitan dengan respon
hormonal pada saat latihan. Intensitas
latihan harus melewati ambang untuk mengaktifkan fungsi endokrin secara
signifikan. Hasilnya adalah ambang intensitas bergeser ke latihan yang lebih
berat.
Atlet yang mampu melakukan
latihan dengan power yang tinggi tanpa perubahan signifikan dalam level hormon
darahnya. Akibatnya mereka dapat menyediakan kembali respon hormonalnya untuk
kontrol metabolik pada latihan intensitas tinggi.
Peningkatan respon katekolamin
terhadap latihan supramaksimal mungkin merupakan cara penting untuk
meningkatkan output anaeorobik pada atlet terlatih. Latihan juga mempengaruhi
reseptor hormon jaringan termasuk otot sehingga mobilisasi untuk memenuhi
kebutuhan tubuh dan penggunaannya secara ekonomi kelenjar endokrin.
Pemberian aderenalin pada
tikus terlatih menyebabkan peningkatan aktivitas adenilat siklase otot dan
jaringan adiposa. Hal ini menekankan bahwa peningkatan sensitivitas katekolamin
pada tikus terlatih berkaitan dengan proses yang menginisiasi interaksi
adrenalin dan b-adrenoreseptor. Konsekuensinya latihan
membuat kontrol metabolik lebih labil sehingga peningkatan laju produksi cAMP
dan degradasi intesif senyawa mediator dimungkinkan.
Penutup
Adaptasi selular dalam latihan
ditunjukkan dengan meningkatnya struktur serat otot sesuai dengan jenis latihan
yang dilakukan. Perubahan tersebut biasanya disertai dengan perubahan aktivitas
enzim dan meningkatnya simpanan energi dalam serat otot terutama glikogen.
Selain itu juga terjadi peningkatan suplai oksigen dan energi sumber energi
pada ekstramuscular. Sintesis protein adaptif diinduksi oleh perubahan
metabolik dan hormonal selama dan sesudah latihan dan diaktualisasikan pada
periode recovery yang intinya untuk meningkatkan morfofungsional selular. Keseluruhan peningkatan tersebut menjadi
jaminan untuk peningkatan kapasitas tubuh secara keseluruhan.
Kontrol metabolik menjadi
lebih efektif dalam hal mobilisasi metabolik dan kapasitas fungsional dan
menjadi lebih efisien dalam hal penggunaan resources metabolik. Peningkatan
tersebut disebabkan oleh peningkatan aktivitas enzim dan sensitivitas otot dan
jaringan lainnya untuk memepengaruhi agen-agen pengontrol dan meningkatkan
kemungkinan kelenjar endokrin menambah responnya dan stabilitasnya selama
latihan yang membutuhkan mobilisasi maksimum fungsi-fungsi tubuh. Refleksinya
yang utama adalah mobilisasi yang lebih cepat dan stabil resources, lebih
ekonomi menggunakan body reserves dan meningkatnya kelabilan kontrol metabolik.
Pada akhirnya latihan induksi metabolik meningkatkan performans.
Konsekuensinya, metode yang digunakan untuk mengevaluasi efektivitas latihan
juga harus melibatkan indeks-indeks yang menyediakan informasi adaptasi
selular.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar